Narasumber: Rismawati, S.H., M.H.
Perekonomian nasional kini tidak hanya bertumpu pada usaha besar, melainkan juga usaha kecil dan menengah. Bahkan, usaha yang memiliki besaran di bawahnya, yaitu usaha mikro. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia (Kemenkopukm RI), perkembangan jumlah usaha besar dibandingkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari tahun 2015 hingga 2019 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Kriteria | Jumlah Unit Usaha (satuan unit) | PDB atas dasar harga berlaku (dalam milyar rupiah) | ||||
Tahun | UB | UMKM | Total | UB | UMKM | Total |
2015 | 4.987 | 59.262.772 | 56.267.759 | 3.913.055,0 | 6.228.285,0 | 10.141.340,0 |
2016 | 5.370 | 61.651.177 | 61.656.547 | 4.703.167,6 | 7.009.283,0 | 11.712.450,6 |
2017 | 5.460 | 62.922.617 | 62.928.077 | 5.136.233,1 | 7.704.635,9 | 12.840.859,0 |
2018 | 5.550 | 64.194.057 | 64.199.606 | 5.776.174,7 | 9.062.581,3 | 14.838.756,0 |
2019 | 5.637 | 65.465.497 | 65.471.134 | 6.251.772,7 | 9.580.762,7 | 15.832.535,4 |
Tabel 1. Perkembangan unit usaha dan PDB nasional 2015-2019[1]
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa unit usaha UMKM jauh lebih banyak dibandingkan dengan UB. Di Tahun 2019, dari total 65.471.134 unit usaha, 65.465.497-nya adalah UMKM. Atau dengan kata lain, 99,99%-nya adalah UMKM, sedangkan UB hanya 0,1% saja.[2] Masih berdasarkan data yang sama, UMKM tidak hanya unggul dalam jumlah unit usaha, tapi juga menyumbang jumlah yang tinggi bagi perekenomian nasional. Jika dilihat dari jumlah Produk Domestik Bruto (PDB), di tahun 2019, UMKM menyumbang 60,51% dari jumlah pendapatan nasional. Jumlah yang melampaui apa yang dapat diberikan oleh usaha besar secara keseluruhan.[3] Melihat pada data yang lain, disebutkan juga bahwa dari 99,99% jumlah UMKM tersebut, ternyata 50%-nya dikelola oleh perempuan.[4] Jumlah yang terbilang besar.
Keterlibatan pelaku UMKM perempuan dalam perekonomian nasional seperti ini memang dimungkinkan. Perlu dipahami bahwa perempuan tidak memiliki batasan baik secara hukum maupun aspek lain, untuk melakukan perbuatan hukum dan berbagai transaksi ekonomi. Dirinya merupakan subjek hukum yang sama seperti subjek hukum lainnya. Subjek hukum yang cakap, yang dapat mengemban hak dan kewajiban. Jika pada awalnya di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan adanya 3 (tiga) golongan yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu orang yang belum dewasa, orang yang berada di bawah pengampuan, dan wanita bersuami, maka hal tersebut kini sudah tidak berlaku lagi. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 jo Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974),[5] maka perempuan bersuami sudah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri. Hal tersebut tentunya memberikan angin segar yang begitu positif bagi semakin terbukanya kesempatan para perempuan untuk terlibat menjadi pelaku UMKM.
Selain itu, jika dilihat dari sisi keragaman atau variasi produk yang ditawarkan oleh UMKM, banyak juga produk yang memang sangat berkaitan dengan perempuan, seperti produk fashion, kuliner, kecantikan, dan kerajinan tangan. Lebih lanjut, berbagai kejadian yang menerpa ekonomi pada masa pandemi Covid-19 seperti yang sekarang terjadi, juga menjadi salah satu momen di mana semakin banyaknya usaha-usaha para pelaku UMKM bermunculan. Tak terkecuali, para pelaku UMKM perempuan. Adanya pengurangan jam kerja yang berimbas juga pada penurunan pembayaran upah, bahkan hingga pemutusan hubungan kerja, membuat para perempuan (yang mungkin awalnya tidak begitu terlibat dalam kegiatan mencari nafkah dan berusaha), menjadi memulai usahanya sendiri. Hal yang baik, entah itu dilihat dari sisi mikro maupun makro ekonomi.
Dengan demikian, segala peranan UMKM ini perlu terus didukung oleh berbagai pihak. Hal tersebut dikarenakan, bahwa salah satu kunci sukses Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ada pada pelaku UMKM.[6] Bahkan, dalam logo resmi yang digunakan untuk Peringatan Hari Nasional UMKM Tahun 2020, disebutkan bahwa “UMKM Kuat Bangsa Berdaulat”.[7] Sebuah pernyataan yang memang sesuai dengan data di lapangan, bahwa sumbangan UMKM untuk perekonomian nasional selalu berkisar di angka 60% dalam tahun 2015-2019.[8]
Untuk mewujudkan dukungan bagi UMKM tersebut, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang disiapkan oleh pemerintah, selain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU 20/2008). Terdapat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), terutama Bab V yang mengatur banyak hal terkait UMKM. Dalam bab yang diberi judul Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah itu diatur berbagai macam hal yang bertujuan untuk terus mendukung UMKM.
Sebelum melihat dukungan apa saja yang diberikan oleh pemerintah, melalui UU 11/2020 ini, kriteria UMKM telah dilakukan perubahan. Awalnya, kriteria UMKM sebagaimana diatur dalam UU 20/2008 adalah sebagai berikut.[9] Usaha Mikro adalah usaha yang memiliki kriteria, kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Kriteria Usaha Kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Sedangkan Usaha Menengah adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Dalam UU 11/2020, kriteria UMKM tidak hanya dilihat dari kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan saja. Akan tetapi, kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.[10] Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 7/2021).[11] Dengan adanya pengaturan baru mengenai kriteria UMKM ini, maka diharapkan pengaturan;[12] pemberian kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan;[13] maupun kepentingan lain, dapat disesuaikan dengan kriteria setiap sektor usaha[14].
Hal lain yang dapat dipahami sehubungan dengan adanya pengaturan mengenai UMKM ini adalah tentang adanya penyederhanaan tata cara dan jenis Perizinan Berusaha dengan menggunakan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP),[15] pembebasan biaya Perizinan Berusaha untuk usaha mikro, dan pemberian keringanan biaya untuk usaha kecil.[16] Aspek perizinan ini diberikan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha, dalam bentuk: (i) nomor induk berusaha (untuk kegiatan usaha risiko rendah; (ii) nomor induk berusaha dan sertifikat standar (untuk kegiatan usaha risiko sedang); dan (iii) nomor induk berusaha dan izin (untuk kegiatan usaha berisiko tinggi).[17]
Dalam kaitannya dengan perizinan ini pun, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan lain, berupa melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi UMKM.[18] Pembinaan dan pendaftaran tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan: (i) identifikasi dan pemetaan usaha mikro dan kecil berdasarkan tingkat risiko; dan (ii) pendaftaran pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan nomor induk berusaha.[19] Setelah mendapatkan nomor induk berusaha, Pemerintah Pusat maupun Daerah dapat memberikan pendampingan bagi UMKM (yang paling sedikit dilaksanakan melalui fasilitasi bimbingan teknis, konsultasi, dan/atau pelatihan) untuk: (i) meningkatkan pengetahuan terhadap penerapan standar nasional Indonesia dan sertifikasi jaminan produk halal; atau (i) memenuhi persyaratan mendapatkan sertifikat standar dan/atau izin.[20] Tambahan lain agar semakin tidak memberatkan UMKM, dalam rangka pendaftaran perizinan tunggal[21], pemenuhan kepemilikan sertifikat standar dan/atau izin, dan perpanjangan sertifikat jaminan produk halal bagi UMKM tidak dikenakan biaya.[22]
Tidak hanya perizinan, dukungan lain yang diberikan pada UMKM adalah berupa: (i) penyediaan pembiayaan dari pemerintah pusat dan daerah; (ii) penyediaan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan dalam bentuk pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya; (iii) pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya dari usaha besar nasional dan asing; serta (iv) pemberian hibah, pengusahaan bantuan luar negeri, dan pengusahaan sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat untuk UMKM dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha.[23]
Berikutnya, dukungan yang lain diberikan dalam bentuk perlindungan bagi UMKM. Perlindungan tersebut diberikan dengan beberapa cara, yaitu: [24]
A. Penyediaan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi usaha mikro dan usaha kecil.
Layanan bantuan dan pendampingan hukum pada pelaku UMKM tidak dipungut biaya dan dilakukan dengan memberikan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, mediasi, penyusunan dokumen hukum, dan/atau pendampingan di luar pengadilan.[25] Selain penyediaan layanan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah dapat memberikan pembiayaan kepada UMKM yang meminta layanan bantuan hukum dan pendampingan yang disediakan pihak lain (yaitu perorangan yang memiliki izin praktik sebagai advokat, lembaga pemberi bantuan hukum, atau perguruan tinggi).[26] Sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk memberikan layanan bantuan dan pendampingan hukum tersebut, minimal pemerintah pusat dan daerah: (i) melakukan identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi usaha mikro dan usaha kecil; (ii) membuka informasi kepada usaha mikro dan kecil terkait bentuk dan cara mengakses layanan bantuan dan pendampingan hukum; (iii) meningkatkan literasi hukum; (iv) mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program dari kegiatan layanan bantuan dan pendampingan hukum; dan (v) melakukan kerjasama dengan instansi terkait (perguruan tinggi dan/atau organisasi profesi hukum).[27]
B. Pemulihan usaha mikro dan usaha kecil.
Pemulihan usaha mikro dan usaha kecil ini adalah upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah, jika terjadi kondisi darurat tertentu, yakni meliputi: (i) restrukturisasi kredit; (ii) rekonstruksi usaha; (iii) bantuan permodalan; dan/atau bantuan bentuk lain. Dimana upaya ini diprioritaskan pada usaha mikro dan usaha kecil yang terdampak untuk pemulihan perekonomian masyarakat.[28]
Hal lain, sebagai bentuk dukungan dari pemerintah pusat dan daerah diwujudkan menjadi pemberdayaan UMKM. Untuk melakukan pemberdayaan UMKM, diantaranya dilakukan dengan: (i) membuat basis data tunggal UMKM; (ii) menyediakan tempat promosi dan pengembangan UMKM pada infrastruktur publik (sebesar minimal 30% dari total luas lahan area komersial, luas tempat perbelanjaan, dan/atau tempat promosi yang strategis pada infrastruktur publik); (iii) pengelolaan terpadu UMKM; (iv) memfasilitasi Hak Kekayaan Intelektual; (v) kegiatan usaha mikro dan usaha kecil dapat dijadikan kredit program; (vi) adanya kewajiban bagi kementrian/lembaga pemerintah nonkementrian dan perangkat daerah untuk menggunakan barang/jasa usaha mikro dan usaha kecil, serta koperasi hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah pusat dan daerah; (vii) memfasilitasi pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem aplikasi pembukuan/ pencatatan keuangan usaha mikro dan usaha kecil; (viii) mengalokasikan usaha bagi usaha mikro dan usaha kecil. [29]
Belum selesai dengan itu semua, masih ada lagi dukungan yang disiapkan bagi UMKM, yaitu insentif kemitraan. Pemerintah pusat dan daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan usaha menengah dan usaha besar dengan koperasi, usaha mikro, dan usaha kecil.[30] Insentif dan kemudahan berusaha ini diberikan kepada kedua belah pihak, baik usaha mikro dan usaha kecil; serta usaha menengah dan usaha besar.[31]
- Insentif yang diberikan bagi
usaha mikro dan usaha kecil berupa: (i) pengurangan atau keringanan pajak
dan/atau retribusi daerah; (ii) pemberian bantuan modal; (iii) bantuan untuk
riset dan pengembangan; (iv) fasilitas pelatihan vokasi; dan/atau subsidi bunga
pinjaman pada kredit program. - Insentif yang diberikan bagi
usaha menengah dan usaha bersar berupa pengurangan atau keringanan pajak daerah
dan/atau retribusi daerah. - Kemudahan berusaha dalam rangka
kemitraan berupa: (i) pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak
diskriminatif; (ii) pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan,
bahan baku, bahan penolong, dan kemasan; (iii) perizinan dan keringanan tarif
sarana dan prasarana; (iv) fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk
memperoleh pembiayaan; dan’atau (v) memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan
kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah.
Dalam melakukan kemitraan tersebut, maka pola kemitraan dapat dilaksanakan melalui pola inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, rantai pasok, dan bentuk kemitraan lain (misalnya berupa bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint benture), dan penyumberluaran (outsourcing).[32] Adapun peran pemerintah pusat dan daerah dalam kemitraan ini, adalah: (i) menyediakan data dan informasi pelaku UMKM yang siap bermitra; (ii) mengembangkan proyek percontohan kemitraan; (iii) memfasilitasi dukungan kebijakan; dan (iv) melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan.[33]
Akhirnya, dengan banyaknya dukungan bagi pelaku UMKM, serta
tidak adanya pembedaan bagi laki-laki dan perempuan dalam menjalankan usaha,
maka potensi pelaku UMKM perempuan dalam perekonomian nasional dapat terus
meningkat dan memberikan hasil yang positif. Semoga.
[1] Seluruh data statistik tersebut diperoleh dari website resmi Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia dengan penyeseuaian seperlunya. Data lengkap, lihat Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB):
Tahun 2018-2019 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1617162002_SANDINGAN_DATA_UMKM_2018-2019.pdf), Tahun 2017-2018 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1580223129_PERKEMBANGAN%20DATA%20USAHA%20MIKRO,%20KECIL,%20MENENGAH%20(UMKM)%20DAN%20USAHA%20BESAR%20(UB)%20TAHUN%202017%20-%202018.pdf),
Tahun 2016-2017 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1584006686_UMKM%202016-2017%20rev.pdf), dan
Tahun 2015-2016 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1580281176_SANDINGAN_DATA_UMKM_2015-2016.pdf).
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Sania Mashabi, Menteri PPPA: 50 Persen Pengusaha UMKM adalah Perempuan. Diakses darihttps://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/19472111/menteri-pppa-50-persen-pengusaha-umkm-adalah-perempuan?page=all pada 18 April 2021.
[5] Dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan disebutkan:
- Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat. - Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Cetak tebal oleh penulis.
[6] Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Pemerintah Kabupaten Bantul, Hari UMKM Nasional 2020, diakses dari https://dpmpt.bantulkab.go.id/web/berita/detail/381-hari-umkm-nasional-2020 pada 21 April 2021.
[7] Ibid.
[8] Lihat data dalam Tabel 1.
[9] Lihat Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) UU 20/2008.
[10] Lihat Pasal 87 nomor 1 UU 11/2020.
[11] Beberapa ketentuan mengenai kriteria UMKM yang terdapat dalam PP 7/2021 ini dapat dilihat dari modal usaha dan hasil penjualan tahunan. Lihat Pasal 35 PP 7/2021.
- Berdasarkan modal usaha, (i) usaha mikro
adalah usaha yang memiliki modal paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah); (ii) usaha kecil adalah usaha yang memiliki modal lebih dari Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), tapi tidak lebih dari Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); serta (iii) usaha kecil memiliki modal
lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Semuanya tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. - Berdasarkan hasil penjualan tahunan,
maka batasan untuk: (i) usaha mikro adalah maksimal Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah); (ii) usaha kecil adalah di atas Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) sampai paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
serta (iii) usaha menengah adalah di atas Rp 15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah) hingga paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
[12] Contoh dari penyesuaian pengaturan dengan kriteria UMKM, diantaranya adalah bahwa kriteria modal usaha dapat digunakan sebagai dasar untuk mendirikan atau mendaftarkan kegiatan usaha. Lihat Pasal 35 ayat (2) dan (3) PP 7/2021.
[13] Untuk hal tersebut, maka kriteria yang digunakan adalah kriteria hasil penjualan tahunan. Lihat Pasal 35 ayat (4) dan (5) PP 7/2021.
[14] Lihat Pasal 36 ayat (1) PP 7/2021. Disebutkan bahwa untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan, dapat juga digunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
[15] Pelaksanaan perizinan ini dilakukan melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik. Lihat Pasal 38 ayat (1) PP 7/2021. Tata cara yang lebih detail dapat dilihat dalam portal OSS melalui tautan https://oss.go.id/portal/informasi/content/panduan_mikro_kecil. UMKM akan mendapatkan informasi dari awal login hingga proses mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan izin usaha, serta proses izin komersial/ operasional.
[16] Pasal 87 nomor 2 UU 11/2020.
[17] Lihat Pasal 37 ayat (1) dan (2) PP 7/2021.
[18] Pasal 39 ayat (1) PP 7/2021.
[19] Pasal 39 ayat (2) PP 7/2021.
[20] Lihat Pasal 41 PP 7/2021.
[21] Perizinan Tunggal ini meliputi Perizinan Berusaha, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. Lihat Pasal 43 ayat (2) PP 7/2021.
[22] Pasal 46 PP 7/2021.
[23] Lihat Pasal 87 no. 3 UU 11/2020.
[24] Bab III Bagian Kedua Paragraf 1 dan 2 PP 7/2021.
[25] Pasal 48 PP 7/2021.
[26] Pasal 50 ayat (1) dan (2) PP 7/2021.
[27] Pasal 51 PP 7/2021.
[28] Pasal 53 PP 7/2021.
[29] Lihat Bagian Ketiga PP 7/2021.
[30] Pasal 102 ayat (1) PP 7/2021.
[31] Lihat Pasal 102 PP 7/2021.
[32] Lihat Pasal 106 ayat (1) dan (2) PP 7/2021.
[33] Pasal 118 ayat (2) PP 7/2021.
Tersedia di: