Notulensi Siaran Radio
Rabu, 7 Oktober 2015
Tema:
“ Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel di Kota Bandung.”
Oleh:
Ibu Yuyun Yuningsih
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Secara ideologi dan konstitusional, Indonesia sebagai negara hukum sangat menjunjung tinggi keadilan bagi hak-hak asasi setiap manusia, termasuk bagi kaum difabel. Kaum Difabel adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan tertentu (fisik atau mental) sehingga melakukan segala sesuatu dengan cara dan kemampuan yang berbeda dari orang pada umumnya (Different Ability). Kaum Difabel pun memiliki hak-hak asasi yang melekat melalui UUD 1954, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 26 Tahun 2009 yang secara khusus mengatur tentang hak-hak kaum difabel di Kota Bandung. Dengan demikian, jelas bahwa para Difabel telah memiliki landasan secara yuridis yang telah mengatur dan menjamin pemenuhan hak bagi para Difabel.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 telah diatur beberapa hak bagi para Difabel, antara lain; kesempatan dalam pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak, perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya, aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, dan hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya. Perlindungan dan penegakkan hak bagi kaum Difabel dari segi yuridis sangat penting, agar para Difabel tidak rentan terhadap perlakuan diskriminasi.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa para Difabel memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu dibandingkan orang pada umumnya. Sehingga berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 26 tahun 2009, dalam sarana prasarana publik tertentu (rumah sakit, mall, dan lainnya) perlu disediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang aksesibilitas para Difabel di berbagai antara lain; tempat duduk, tempat naik/turun, dan tanda-tanda, tempat parkir, toilet, tanda penyebrangan, pelayanan informasi, dan lainnya.
Kaum Difabel pun memiliki kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, pendidikan, serta rehabilitasi dan jaminan sosial,sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999. Pemerintah berperan dalam mewujudkan seluruh aksesibilitas dan menegakkan hak bagi kaum difabel. Masyarakat yang keberadaannya tidak lepas dari para difabel tentunya perlu bersikap kristis dan peduli mengenai segala hal yang berhubungan dengan peningkatan hak dan kesejahteraan bagi para Difabel. Masyarakatlah yang menjadi jalur utama dalam menentukan apakah kaum difabel dapat meningkatkan kepercayan dirinya dan berkembang selayaknya masyarakat pada umumnya. Kesadaran masyarkat juga menentukan apakah sarana dan prasarana yang telah disediakan pemerintah akan benar-benar dimanfaatkan secara maksimal bagi pemberdayaan para Difabel. Oleh karenanya dalam hal ini, kesadaran masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam mengimplementasikan aksesibilitas dan juga untuk melengkapi pengaturan dari segi yuridis, sehingga pemenuhan hak kaum Difabel dapat diupayakan secara maksimal.