Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum”
Rabu, 2 Agustus 2017
Tema:
“Aspek Hukum Perjanjian Perkawinan dan Putusnya Perkawinan”
Oleh:
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Pada dasarnya, setiap manusia ingin menjalin hubungan dan membentuk keluarga, dimana dalam hal membentuk keluarga biasanya dilakukan melalui suatu perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan sakral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk membentuk keluarga. Dalam hubungan perkawinan, terdapat akibat hukum yang ditimbulkan yaitu terkait dengan hak dan kewajiban terhadap mereka yang berada dalam ikatan perkawinan antara suami dan istri. Baik suami maupun istri mendapatkan hak dan kewajiban yang berbeda dan masing-masing pihak harus melakukan hak dan kewajibannya, agar dalam menjalani kehidupan berkeluarga tetap harmonis. Namun sering kali yang terjadi adalah tidak terlaksananya hak dan kewajiban tersebut, sehingga banyak perkawinan diputuskan dan putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan.
Dalam Perkawinan dikenal pula dengan adanya suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan sebagai suatu upaya dari para pihak (suami dan istri) dalam perkawinan untuk mengatur hal-hal yang tidak dimuat dalam perundang-undangan. Perjanjian perkawinan harus dibuat atas persetujuan masing-masing para pihak, dalam Pasal 29 KUHPerdata dan Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan dibuat baik sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung. Adapun perjanjian perkawinan biasanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan harta kekayaan, menjamin kelangsungan harta peninggalan keluarga, dan menjamin kondisi finansial setelah putusnya perkawinan. Hal yang perlu diperhatikan bahwa perjanjian perkawinan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi putusnya perkawinan dengan cara perceraian.
Perkawinan yang telah dilangsungkan biasanya dapat berakibat pada putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan dapat disebabkan 3 (tiga) hal yaitu karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan dan KHI. Putusnya perkawinan karena kematian diatur dalam Pasal 38 sampai dengan 41 UU Perkawinan dan Pasal 113 KHI di mana suami atau istri meninggal dunia. Bagi istri yang dtinggal meninggal oleh suaminya harus menunggu masa iddah jika ingin kembali menikah. Masa iddah bagi seorang janda dalam keadaan hamil ialah sampai lahirnya anak dalam kandungan tersebut dan bagi janda yang tidak dalam kondisi hamil selama 130 (seratus tiga puluh hari) hari.
Dalam putusnya perkawinan dapat pula terjadi karena perceraian. Pasal 39 UU Perkawinan dan Pasal 116 KHI menjelaskan bahwa perceraian terjadi dikarenakan salah satu pihak berbuat zina, meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, penjara selama 5 (lima) tahun, penganiayaan berat, dan perselisihan. Sedangkan dalam KHI perceraian dibagi menjadi 2 (dua) yaitu cerai talak dan cerai gugat. Perbedaan cerai talak dan cerai gugat terletak pada inisiatif dari pihak yang mengajukan, jika cerai talak yang mengajukan adalah pihak suami dengan mengucapkan kata-kata talak terhadap istrinya, sedangkan cerai gugat diajukan oleh pihak istri dengan mengajukann gugatan perceraian ke Pengadilan yang berwenang.
Selain itu, putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh keputusan pengadilan di mana terdapat pasangan yang pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed). Pisah meja dan ranjang terjadi karena adanya pasangan yang hidup tidak harmonis atau sering terjadi perselisihan. Alasan pasangan suami istri pisah meja adalah adanya kepentingan terhadap keluarga atau anak yang harus tetap dijalankan. Jika pasangan ini memutuskan untuk bercerai maka dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan yang berwenang.
Dengan demikian dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak. Hak dan kewajiban tersebut dapat dibuat dalam bentuk suatu perjanjian perkawinan yang dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama perkawinan berlangsung. Selain itu, terdapat pula akibat-akibat dari perkawinan yaitu putusnya perkawinan Karena kematian, percereraian, dan keputusan Pengadilan.