Notulensi Siaran Radio 12 Oktober 2016 “Mengenal Lebih Dekat Hukum Persaingan Usaha”

Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum

 ˜ Rabu, 12 Oktober 2016 –

Tema:

“Mengenal Lebih Dekat Hukum Persaingan Usaha”

Oleh:

Anna Fidelia Elly Erawaty, S.H., LL.M., Ph.D

dan

Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman

Universitas Katolik Parahyangan

 

Persaingan merupakan suatu kondisi yang selalu lekat dengan karakteristik manusia. Manusia selalu memiliki kecenderungan untuk saling mengungguli manusia lain dalam berbagai hal. Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana para penjual bersaing untuk mendapatkan pembeli dan pangsa pasar.

Kondisi persaingan sebenarnya lebih banyak memiliki sisi positif dibandingkan dengan kondisi non-persaingan. Apabila dilihat dari sisi ekonomis, maka dengan adanya kondisi persaingan akan tercipta efisiensi penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal tersebut dapat menekan harga, sehingga konsumen dapat membeli barang dengan harga yang semurah mungkin. Selain itu, kondisi persaingan juga dapat merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, produksi, dan teknologi.

Salah satu bentuk non persaingan usaha adalah praktek monopoli. Pada dasarnya, persaingan bersifat mendesentralisasikan kekuatan ekonomi, sementara monopoli bersifat memusatkan kekuatan ekonomi pada satu orang atau satu kelompok. Monopoli dianggap sebagai suatu kondisi yang negatif karena dalam kondisi monopoli, terbuka kemungkinan cukup besar bagi penyalahgunaan kekuasaan monopoli.

Terdapat beberapa persoalan sebagai dampak negatif dari penyalahgunaan kekuasaan monopoli, salah satunya adalah menyangkut pemusatan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi secara tidak etis. Cabang ilmu hukum yang mengatur mengenai persoalan tersebut adalah Hukum Persaingan Usaha (dapat disebut sebagai Hukum Kompetisi). Pengaturan terkait Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang Anti Monopoli).

Lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli adalah sejalan dengan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Anti Monopoli mengenai asas dan tujuan pembentukan Undang-Undang Anti Monopoli. Pasal 2 Undang-Undang Anti Monopoli menyatakan, Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan tujuan pembentukan Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Anti Monopoli, yang sesungguhnya memiliki tujuan akhir yang sama, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Anti Monopoli disebutkan bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang Anti Monopoli adalah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Undang-Undang Anti Monopoli pada dasarnya berisi larangan terhadap perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Pengaturan ini dilakukan dengan sangat ketat untuk mencegah pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat yang dipandang akan merugikan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia.

Beberapa pengaturan yang umum sering menjadi pembahasan adalah mengenai kartel, tying and bundling contract, serta mengenai posisi dominan. Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik, seperti misalnya terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha dan melakukan price fixing atau penetapan harga, biasanya jauh dibawah harga pesaing untuk menjatuhkan usaha pelaku usaha pesaing. Tying and bundling contract berkaitan dengan penggabungan lebih dari satu jenis barang dan/atau jasa oleh penjual, sehingga pembeli ‘harus’ membeli barang yang lain tersebut meski awalnya ia hanya membeli barang yang satu.  Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

 

Sumber: http://www.aboutlawschools.org/