Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Narasumber: Olivia Agatha Kusuma S.H., M.H.

“Suits” adalah satu serial Netflix terkemuka bergenre hukum. Serial ini berputar pada kehidupan seorang tokoh bernama Mike Ross, yang dikenal sebagai seorang jenius karena memiliki ingatan fotografis. Suatu ketika ia direkrut oleh pengacara terkenal bernama Harvey Spencer sebagai rekan di law firm-nya. Mike Ross kemudian menjadi praktisi hukum tanpa gelar resmi, sehingga hal ini menjadi salah satu rahasia besar yang berusaha disembunyikan olehnya. Di masa lalunya, Mike Ross juga memiliki rahasia gelap yang menyangkut reputasinya: ia menjadi joki ujian masuk Harvard Law untuk orang lain dengan modal kemampuan ingatan fotografisnya tersebut demi mendapatkan uang.

Di dunia nyata dari masa ke masa, praktik joki dalam ranah akademik terus menjadi topik yang relevan untuk dibahas, bahkan kian mendesak. Belakangan ini joki skripsi kembali menjadi sorotan karena ternyata semakin banyak masyarakat yang menganggap praktik joki skripsi merupakan hal yang wajar. Berbagai argumentasi dikemukakan oleh masyarakat untuk menjustifikasi joki skripsi, antara lain: karena antara pihak pengguna jasa dan penyedia jasa sudah sama-sama sepakat sehingga dirasa tidak ada salahnya, karena kesibukan mahasiswa antara kuliah dan kerja, karena dosen pembimbing yang dianggap sulit, atau karena ketidakmampuan finansial jika sampai harus memperpanjang semester, atau hanya karena sekedar rasa malas dan ingin cepat lulus. Kehadiran jasa joki skripsi dianggap sebagai jalan pintas/pintu belakang yang dilalui demi mendapatkan gelar dari perguruan tinggi.

Kita dapat menilai bahwa memang ada degradasi kesadaran hukum masyarakat dalam masalah ini. Dahulu, joki skripsi dilakukan secara tertutup dan diam-diam, namun sekarang dilakukan secara terbuka/terang-terangan dan seolah tanpa dosa. Penulis pribadi sering menemukan di media sosial Instagram, iklan-iklan jasa joki akademik, dengan pilihan paket mulai dari tugas kuliah biasa, bagian-bagian bab skripsi yang parsial, bahkan paket skripsi keseluruhan. Akun media sosial Penulis juga sering diikuti oleh akun Instagram penyedia jasa joki skripsi. Salah satu akun penyedia jasa yang pernah Penulis temukan, memiliki tanda verified dan diikuti ratusan ribu pengguna. Kabarnya, salah satu penyedia jasa joki skripsi bahkan ada yang sudah berbadan hukum PT.[1] 

Lebih ekstrem lagi, ternyata banyak masyarakat yang tidak mengetahui, atau setidaknya pura-pura tidak tahu, bahwa tindakan ini melanggar etika dan hukum. Sebaliknya, banyak yang justru membela eksistensi dan keberlanjutan jasa joki skripsi. Dengan semakin dinormalisasinya-diabaikannya dosa akademik jenis ini, dunia akademik seolah kehilangan kesakralannya—mata banyak orang sudah tertutup untuk bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Istilah joki tugas/skripsi bukan merupakan istilah yuridis. Dengan demikian, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan joki skripsi terlebih dahulu. Makna joki menurut KBBI adalah “orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang”. Dalam konteks skripsi, maka joki adalah orang yang mengerjakan skripsi untuk dan atas nama orang lain. Padanan makna joki dalam peraturan perundang-undangan dapat merujuk ke Pasal 9 huruf d Permendikbudristek 39/2021. Berdasarkan pasal tersebut, salah satu bentuk pelanggaran integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah ialah “kepengarangan yang tidak sah”.

Dalam Pasal 10 ayat (4) Permendikbudristek 39/2021 dikemukakan, kepengarangan yang tidak sah adalah kegiatan seseorang yang tidak memiliki kontribusi dalam sebuah karya ilmiah (baik gagasan, pendapat atau peran aktif) berupa: 1) menggabungkan diri sebagai pengarang bersama tanpa memberikan kontribusi dalam karya (free rider); 2) menghilangkan nama seseorang yang mempunyai kontribusi dalam karya; dan/atau 3) menyuruh orang lain untuk membuat karya sebagai karyanya tanpa memberikan kontribusi. Sanksi administratif yang diterapkan untuk sivitas akademika yang melakukan pelanggaran integritas akademik menurut Permendikbudristek tersebut dapat berupa pengurangan nilai, penundaan dan pembatalan hak mahasiswa, DO, pembatalan ijazah, dll oleh perguruan tinggi itu sendiri. Selain sanksi administratif di atas, adakah sanksi pidana untuk mahasiswa yang melakukan kepengarangan tidak sah? Pertanyaan yang lebih mendasar lagi, jika sudah ada mekanisme sanksi administratif bagi mahasiswa, masih perlukah peran hukum pidana? 

Ada 2 undang-undang yang mengatur pendidikan tinggi: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi). Dari antara keduanya, hanya UU Sisdiknas yang memuat ketentuan pidana bagi lulusan perguruan tinggi yang melanggar integritas akademik. Pasal 25 ayat (2) jo. Pasal 70 UU Sisdiknas menetapkan bahwa gelar akademik yang diperoleh dari karya ilmiah hasil “jiplakan” merupakan tindak pidana, dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak dua ratus juta rupiah. UU Pendidikan Tinggi yang merupakan ketentuan yang lebih khusus (lex specialis) dari UU Sisdiknas, tidak menetapkan sanksi pidana untuk hal yang sama. Justru kedua undang-undang tersebut lebih banyak memberi tanggung jawab/beban kepada Perguruan Tinggi baik dari segi administratif maupun pidana.

Apakah kepengarangan tidak sah/joki termasuk ke dalam pengertian “jiplakan” menurut UU Sisdiknas dan dapat dipidana? Ditinjau secara harfiah, kepengarangan tidak sah tidak termasuk ke dalam makna “jiplakan”. Menurut KBBI, jiplakan/plagiat adalah “pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri”. Demikian pula jika mengacu ke Pasal 10 ayat (3) Permendikbudristek 39/2021, yang mengatur bentuk-bentuk plagiat: 1) mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat; 2) menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri sebagian atau seluruh karya milik orang lain walaupun menyebut sumber; dan 3) mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat. Dengan demikian, baik secara gramatikal maupun normatif, jiplakan/plagiat dan kepengarangan tidak sah adalah dua tindakan yang berbeda, sehingga kepengarangan tidak sah seharusnya tidak termasuk perbuatan yang dipidana berdasarkan Pasal 25 jo. 70 UU Sisdiknas.

Kendati keduanya berbeda, apakah mungkin Pasal 25 jo. 70 UU Sisdiknas ditafsirkan secara sosiologis/teleologis/fungsional? (yaitu penafsiran hukum dengan melihat kepada tujuan sosial dibentuknya aturan). Jika dilihat dari sudut pandang ini, maksud pembentuk UU dalam merumuskan pidana dalam pasal tersebut adalah untuk melarang orang menggunakan segala bentuk karya ilmiah yang dihasilkan secara tidak sah/melanggar integritas akademik untuk mendapatkan gelar akademik dari Perguruan Tinggi. Hal demikian dilarang demi menjaga integritas akademik Perguruan Tinggi yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan masyarakat pun perlu dilindungi dari lulusan yang lulus dengan melanggar integritas akademik. Sebagai pengingat, tujuan hukum pidana adalah melindungi masyarakat manakala ketertiban masyarakat terganggu dan hak orang lain dilanggar. Jadi, dilihat dari tujuan aturan tersebut, “joki/kepengarangan tidak sah” termasuk hal yang hendak dilarang dalam UU Sisdiknas.

Akan tetapi, perdebatannya: 1) dalam menetapkan suatu hal sebagai tindak pidana, dilarang digunakan analogi; 2) jika pun analogi akan digunakan dalam hukum pidana, harus dalam situasi yang proporsional antara tindakan dan situasinya dengan penggunaan analogi, karena hukum pidana harus digunakan dengan sangat hati-hati karena sifatnya yang memberikan nestapa/penderitaan; 3) dalam praktik akan sulit untuk mengukur-membuktikan bahwa skripsi yang dihasilkan dari joki telah (atau setidaknya berpotensi) melanggar hak orang lain (dari segi materiil).

Ada pandangan yang menyatakan bahwa karya ilmiah hasil kepengarangan tidak sah memenuhi unsur-unsur delik pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 KUHP Lama (Pasal 391 KUHP Baru). Adapun unsur-unsur pemalsuan surat yaitu: 1) membuat surat palsu atau memalsukan surat; 2) dapat menimbulkan suatu hak…atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal; 3) dengan maksud untuk menggunakan surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu; 4) penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Delik ini diancam pidana penjara paling lama 6 tahun. Pandangan ini menyatakan skripsi/tugas akhir bisa termasuk ke dalam definisi “surat” yang menimbulkan suatu hak dan diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal (yaitu untuk memperoleh ijazah/gelar akademik). Apabila skripsi tersebut dianggap seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan penggunaannya berpotensi menimbulkan kerugian (misalnya kerugian bagi Perguruan Tinggi), maka menurut pandangan ini, bisa dituntut pidana Pemalsuan Surat.

Namun demikian, menurut hemat Penulis, ada sejumlah kelemahan dari pandangan tersebut: 1) Siapa pihak yang dirugikan? Baik mahasiswa maupun joki sama-sama diuntungkan, bahkan keduanya sama-sama sepakat. Demikian pula tidak bisa dikatakan Perguruan Tinggi sebagai pihak yang dirugikan karena justru Perguruan Tinggi diuntungkan, sebab mahasiswanya menghasilkan penelitian dan lulus dari Perguruan Tinggi tersebut. Riwayat penelitian mahasiswa juga dapat digunakan sebagai data akreditasi periodik. 2) Akan sulit pula untuk mengukur-membuktikan “dapat menimbulkan kerugian” dari penggunaan skripsi hasil joki, terutama kerugian materiilnya. Akan berbahaya jika unsur “dapat menimbulkan kerugian” ditafsirkan dengan luas, karena semua hal yang terjadi setelah mahasiswa tersebut lulus (misalnya, kerugian yang terjadi dari perusahaan tempatnya bekerja setelah lulus) bisa dianggap sebagai potensi kerugian, meskipun hal tersebut mungkin tidak terkait langsung dengan penggunaan skripsi hasil joki yang dianggap sebagai “surat palsu”.

Menurut Penulis, lebih tepat jika mahasiswa yang menggunakan jasa joki skripsi masuk ke dalam pasal Penipuan. Adapun jika diuraikan unsur-unsur tindak pidana penipuan dalam konteks joki skripsi, sebagai berikut:

  1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; → melawan integritas akademik
  2. Tipu muslihat atau rangkaian kebohongan;
  3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya; → ijazah/gelar akademik
  4. Ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun.

Dalam kerangka teoretik, tindakan joki skripsi sudah memenuhi unsur-unsur pasal penipuan, lebih logis daripada pidana pemalsuan surat. Namun demikian, Penulis masih tidak setuju jika dalam praktiknya betul-betul diterapkan menggunakan pasal penipuan, karena menurut Penulis tidak proporsional antara perbuatan menggunakan hasil joki dengan ancaman pidana di pasal penipuan, jika dibandingkan dengan ancaman pidana menggunakan hasil jiplakan di Pasal 25 jo. 70 UU Sisdiknas (ancaman pidana penjara paling lama 2 thn vs. 4 thn).

Oleh karena itu, Penulis berpandangan bahwa untuk saat ini sebenarnya kepengarangan tidak sah cukup diterapkan mekanisme sanksi administratif saja. Pencegahan-penyelesaian oleh perguruan tinggi bisa dalam berbagai tahapan, contohnya saat ini banyak filter yang digunakan oleh Perguruan Tinggi untuk mendeteksi kecurangan/plagiarisme seperti Turnitin, grammarly, quillbot, justdone.ai, undetectable.ai, dan lain-lain.

Jiplakan/plagiat memang diatur sebagai tindak pidana pada UU Sisdiknas yang diundangkan tahun 2003, tetapi dalam UU Pendidikan Tinggi tahun 2012 tidak ditetapkan sebagai tindak pidana, melainkan hanya diatur sanksi administratif saja. Mungkin memang pada saat itu, pembentuk UU tidak terpikir untuk mengatur tindakan kepengarangan tidak sah sebagai tindak pidana. Namun, dengan adanya kekosongan aturan yang melarang kepengarangan tidak sah, pasal penipuan menjadi dapat diterapkan (padahal tidak proporsional). Dengan demikian, penulis berpandangan bahwa jika memang dipandang perlu melarang joki skripsi dengan hukum pidana, perlu dibuat suatu ketentuan/aturan pidana baru yang secara khusus melarang kepengarangan tidak sah, sebagaimana penggunaan hasil jiplakan/plagiat dalam UU Sisdiknas. Selain itu perlu diatur juga dengan tegas, bahwa jika sudah diterapkan sanksi administratif, maka sanksi pidana dikesampingkan (ultimum remedium).

Bagaimana jika dari 100 halaman, yang dibantu joki hanya 1 halaman? Apakah tetap termasuk tindak pidana? Masalah ini menurut hemat Penulis dapat diserahkan kembali pada penilaian Perguruan Tinggi, karena hanya dunia akademik yang mengetahui seberapa penting dan/atau esensialnya bagian yang di-joki tersebut. Bagaimana dengan penyedia jasa joki skripsi dari pihak luar kampus/eksternal yang tidak dapat dikenakan sanksi administratif karena bukan termasuk sivitas akademika? Apakah bisa termasuk ke dalam perbuatan Penyertaan (deelneming) dalam hukum pidana (secara spesifik: turut serta melakukan tindak pidana)?

Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa perbuatan Penyertaan (deelneming) dalam hukum pidana tidak berdiri sendiri (kecuali Pasal 163 bis). Pasal 55 perlu diikuti terlebih dahulu dengan suatu tindak pidana pokoknya. Berdasarkan pembahasan di atas, menggunakan karya ilmiah hasil kepengarangan tidak sah/joki untuk memperoleh gelar akademik dapat termasuk ke dalam pasal penipuan, sehingga penyedia jasa joki skripsi dapat dijerat dengan pasal penipuan jo. pasal penyertaan, dengan kualifikasi turut serta melakukan tindak pidana penipuan.

Namun, seperti argumentasi di atas, bahwa menurut Penulis tidak proporsional untuk menerapkan pasal penipuan terhadap tindakan joki skripsi jika dibandingkan dengan tindakan jiplakan/plagiat yang merupakan pelanggaran integritas akademik sejenis. Maka dari itu, jika pembuat UU memandang perlu menetapkan sanksi pidana bagi kepengarangan tidak sah secara khusus, dapat mengukurnya dengan menggunakan beberapa kriteria kriminalisasi (dirangkum dari beberapa literatur hukum pidana):

  1. Perbuatan tersebut bersifat merugikan/detrimental  → wrongful/mala in se dan harmful yang tidak dapat ditoleransi (di sini berperan kaidah-kaidah nonhukum seperti kaidah moral positif untuk);
  2. Kriteria subsidiaritas dan proporsionalitas  → Subsidiaritas artinya hukum pidana adalah jalan utama untuk mencegah atau menyelesaikan perbuatan. Alternatif penegakan etik/administrasi/perdata harus didahulukan; Proporsionalitas artinya sebanding antara kebahayaan yang ditimbulkan dengan sanksi pidananya. Termasuk ke dalam kriteria proporsionalitas juga masalah ekonomi (perbandingan cost and benefit).
  3. Kriteria efektivitas → artinya melihat kapabilitas Aparat Penegak Hukum/Pemerintah untuk melaksanakan/menegakkan hukum pidana. Jangan sampai terjadi over criminalization atau inflasi pidana.

Kriteria (1): Perbuatan menyediakan jasa joki skripsi mencetak sampah akademik, merusak iklim akademik Indonesia, merugikan masyarakat pada umumnya; Kriteria (3): tidak dapat dijawab secara langsung, karena membutuhkan penelitian empiris; Kriteria (2): dapat diduga bahwa dari segi upaya hukum administrasi, skripsi bukan merupakan objek KTUN sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa TUN. Sementara, tidak bisa pula melalui jalur hukum perdata, karena pengguna dan penyedia jasa joki sama-sama sudah sepakat sehingga tidak ada sengketa yang diajukan. Selain itu juga akan ada kesulitan dari segi pembuktian melalui PMH, dan pada praktiknya dapat dibayangkan bahwa secara logis pihak Perguruan Tinggi akan rugi jika kasus tersebut dibawa ke pengadilan perkara perdata, sehingga tidak ada penegakan hukum terhadap penyedia jasa joki skripsi. Apabila kriteria-kriteria tersebut terpenuhi, maka joki skripsi (kepengarangan tidak sah) juga dapat dikriminalisasi menjadi suatu tindak pidana yang khusus daripada pasal penipuan.

[1] CNN Indonesia, “Nama PT Startup Joki Tugas yang Viral Tak Terdeteksi di Kumham”, Juli 2024, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240724175255-92-1125130/nama-pt-startup-joki-tugas-yang-viral-tak-terdeteksi-di-kumham, diakses 6 Desember 2024.

Tersedia di :

Spotify

Spotify for Podcasters

Baca Juga

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Ilham Restu Ramadhani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan Program Revolusi di bidang agraria yang sering disebut dengan Agrarian Reform Indonesia, salah satu isi dari program tersebut...