Home / Uncategorized / Jerat Hukum Kain Jarik Gilang

Jerat Hukum Kain Jarik Gilang

Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”

Narasumber : Anggota Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan (LBH Pengayoman UNPAR)

Pada akhir bulan Juli hingga awal Agustus 2020, dunia maya dan pertelevisian Indonesia dihebohkan dengan kasus yang disebut-sebut sebagai kasus Gilang Bungkus Kain Jarik. Viralnya kasus ini berawal dari cuitan sebuah akun di aplikasi media sosial Twitter. Berdasarkan pengakuan sang pemilik akun yang adalah seorang laki-laki, ia adalah salah satu korban dari kasus ini (selanjutnya disebut Korban). Dalam cuitannya Korban menceritakan bahwa aksi Gilang diawali dengan kedok penelitian. Adapun Gilang menghubungi Korban via aplikasi Whatsapp. Dalam pesan tersebut Gilang meminta tolong pada Korban untuk membungkus diri Korban dengan kain jarik (hingga menyerupai pocong). Selanjutnya, Korban diminta untuk merekam dalam bentuk video mengenai kondisi Korban yang terbungkus itu hingga lebih dari 1 (satu) jam. Korban juga diminta untuk merintih, menangis, atau memohon untuk dibukakan ikatannya. Korban pun menuruti permintaan Gilang dan meminta temannya untuk membungkus dan merekamkan. Setelah selesai, Korban mengirimkan video tersebut pada Gilang. Alih-alih  berterima kasih, Gilang justru memberikan pesan dengan nuansa menggoda Korban. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Gilang melakukan hal tersebut ke beberapa orang. Berdasarkan pengakuan beberapa korban tersebut, Gilang akan mengatakan bahwa penyakit vertigonya akan kambuh jika korban tidak menuruti keinginannya, bahkan Gilang mengancam ia akan bunuh diri.1 Selain itu terdapat juga fakta bahwa Gilang memberikan video dari korban sebelumnya kepada calon korban untuk membujuk calon korban tersebut untuk mau melakukan hal serupa dalam video.

Kasus yang viral di berbagai media sosial dan pemberitaan Indonesia ini pun kemudian mencuri perhatian masyarakat, bahkan sampai ahli hukum dan ahli kejiwaan. Salah satu hal yang mencuri perhatian adalah kondisi Gilang yang disebut-sebut memiliki penyimpangan seksual, yaitu fetish. Hal ini kemudian diperkuat oleh pernyataan seorang seksolog, yaitu Zoya Amarin. Zoya Amarin berpendapat terdapat indikasi bahwa Gilang mengidap salah satu penyimpangan seksual yang dikategorikan sebagai paraphilia. Adapun jenis penyakit yang tergolong dalam paraphilia salah satunya adalah fetish. Pada umumnya, pengidap fetish akan terangsang pada benda-benda non-seksual.2 Pada kasus ini, benda non-seksual tersebut tertuju pada kain jarik.

Atas perbuatan yang telah dilakukan Gilang berdasarkan pemberitaan yang beredar termasuk ke dalam perbuatan pelecehan seksual. Sayangnya, hukum yang menjerat kasus ini bukanlah diambil dari pasal-pasal yang terkait dengan pengaturan tentang perbuatan asusila sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Kasus tersebut justru bersumber pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 335 KUHPidana. Penerapan pasal ini kemudian memunculkan berbagai pendapat terkait ketepatan penerapan hukum oleh penyidik.3

Pertama, pasal yang dikenakan dalam kasus ini adalah Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE. Adapun perbuatan yang dilarang sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (4) UU ITE berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”

Dalam kasus ini, Gilang yang adalah orang dewasa menurut hukum pidana memenuhi unsur setiap orang dalam pasal tersebut. Sementara itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Gilang diduga dengan sengaja membohongi para calon korbannya dengan mengatakan bahwa ia sedang dalam penelitian dan membutuhkan bantuan mereka untuk membuat video guna mewujudkan penelitiannya tersebut. Hal ini menjadikan tindakan Gilang memenuhi unsur dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik. Bukan hanya itu, Gilang juga mengirimkan video yang sudah ia dapatkan dari korban sebelumnya kepada calon korban berikutnya agar calon korban tersebut terbujuk untuk melakukan hal yang sama. Tindakan ini memenuhi unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik. Selain itu, Gilang juga meminta agar para korban dalam video itu untuk menangis dan menunjukkan rasa menderita. Hal ini kemudian diindikasikan bahwa video tersebut memiliki muatan pengancaman.

Kedua, pasal yang turut dikenakan dalam kasus ini adalah Pasal 29 jo. Pasal 45B UU ITE. Adapun perbuatan yang dilarang dalam Pasal tersebut berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”

Analisis yang dibutuhkan untuk membedah pasal tersebut terhadap kasus ini tidak jauh berbeda dengan analisis pada pasal sebelumnya. Tindakan Gilang yang telah membohongi para korban dan kemudian menyebarkan video tersebut sebagaimana dijelaskan dalam analisis sebelumnya telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 29 UU ITE. Adapun perbedaan dari kedua ketentuan tersebut adalah adanya unsur yang ditujukan secara pribadi. Unsur ini memang harus dibuktikan melalui testimoni dari setiap korban mengenai ancaman atau menakut-nakuti secara pribadi.

Sementara itu, Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 45 B UU ITE berisi sanksi terhadap perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila Gilang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana disebutkan di atas, maka Gilang dapat diancam dengan sanksi dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE maupun Pasal 45B UU ITE. Terkait dengan hal ini memang dibutuhkan pembuktian dalam proses peradilan.

Ketiga, aturan yang disebut-sebut turut menjerat kasus ini bersumber dari Pasal 335 ayat (1) KUHP. Pasal 335 ayat (1) KUHP memang kerap dikenal sebagai pasal perbuatan tidak menyenangkan. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi sudah meyatakan frasa perbuatan tidak menyenangkan tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Konsekuensinya, perbuatan Gilang hanya memenuhi rumusan dalam Pasal 335 ayat (1) butir ke-1, sehingga perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Gilang bukanlah terkait perbuatan tidak menyenangkan. Adapun perbuatan Gilang diduga memenuhi unsur dalam Pasal 33 ayat (1) butir ke-1 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”

Dengan mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa delik perbuatan tidak menyenangkan telah tidak memiliki kekuatan hukum4 maka perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Gilang merujuk pada perbuatan pemaksaan orang lain untuk melakukan sesuatu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Selain itu, perlu diperhatikan pula pendapat R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, ancaman kekerasan atau kekerasan harus diartikan bukan lagi sebatas kekerasan atau ancaman kekerasan secara fisik, melainkan hal yang lebih luas, misalnya ancaman kekerasan atau kekerasan secara psikologis. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mengimplikasikan dan menafsirkan suatu aturan terhadap suatu perbuatan, para penegak hukum harus menggunakan cara yang lebih kontemporer.

Selain permasalahan terkait dengan aturan-aturan yang dikenakan terhadap kasus Gilang Bungkus Kain Jarik, permasalahan sanksi yang harus dikenakan pada Gilang juga menjadi bahan yang kerap diperbincangkan. Adapun yang membuat penerapan sanksi menjadi dilematis karena adanya penyimpangan seksual yang dialami Gilang sebagaimana disebutkan dalam paragraf di atas. Secara normatif, apabila Gilang memang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang telah disebutkan di atas, maka Gilang layak untuk diberikan sanksi pidana penjara. Adapun dengan sanksi pidana penjara harapannya akan tercapai:

  • efek jera pada Gilang;
  • pengawasan pada Gilang;
  • keadilan bagi korban; dan
  • terciptanya ketertiban umum.

Akan tetapi, dengan mengingat penyimpangan seksual yang diduga dialami oleh Gilang, sanksi pidana penjara kemudian dinilai menjadi sanksi yang kurang tepat. Hal ini dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dinilai tidak dapat menyelesaikan akar permasalahan dari kasus ini, yaitu fetish yang diduga dialami Gilang. Terlebih lagi, keadaan Lapas tidak ideal bagi Gilang. Satu sel Lapas dapat berisi beberapa Warga Bina Pemasyarakatan (WBP). Sementara dapat dilihat di dalam kondisi Lapas, WBP kerap memakai selimut atau kain ketika mereka tidur sehingga memungkinkan akan terjadi perbuatan fetish yang dilakukan oleh Gilang. Selain itu, penerapan sel khusus untuk Gilang pun tidak dapat dijadikan jawaban mengingat Lapas Indonesia telah mengalami kelebihan kapasitas. Adanya prisonisasi dalam Lapas pun menjadi kekhawatiran untuk Gilang dan WBP lainnya. Dengan begitu, tujuan pidana untuk memulihkan pelaku tidak akan tercapai.

Adapun opsi lain selain sanksi pidana penjara adalah tindakan rehabilitasi. Dengan melakukan tindakan rehabilitasi, harapannya Gilang bisa mendapatkan upaya pemasyarakatan yang tepat. Hal ini tentu menjadikan Gilang dapat kembali ke masyarakat dengan keadaan yang lebih sehat terutama sehat dalam kondisi mental. Akan tetapi hal ini tentu kemudian berpotensi menjadi tidak adil bagi pelaku pelecehan seksual yang lainnya. Perlu diingat, ada 12 (dua belas) jenis penyimpangan seksual yang mungkin saja diidap oleh pelaku kejahatan pelecehan seksual.

Apabila Gilang diberikan kelonggaran berupa hanya diberikan tindakan rehabilitasi, maka kasus ini berpotensi menjadi referensi bagi pelaku pelecehan seksual lainnya untuk mengajukan rehabilitasi. Di sisi lain, terhadap 12 (dua belas) jenis penyimpangan seksual ini tidak mungkin hanya diterapkan rehabilitasi. Hal ini tentu akan mengganggu ketertiban masyarakat. Masyarakat tidak mungkin dibiarkan hidup dalam keadaan ketakutan akan predator seksual di lingkungannya. Pengawasan terhadap Gilang pun akan menjadi lebih minim jika Gilang tidak dimasukkan ke dalam Lapas. Selain itu, dengan hanya memberikan tindakan rehabilitasi terhadap Gilang, tentu kepastian hukum dan ukuran moralitas memandang hukum nantinya berpotensi dipertanyakan. Terlebih lagi, tindakan rehabilitasi juga tidak menjamin Gilang tidak akan melakukan tindakan yang serupa dengan mengingat banyaknya kasus pengguna narkotika yang diberi tindakan rehabilitasi kemudian pengguna tersebut kembali melakukan perbuatan yang sama.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Referensi:

[1]  TribunNewsMaker, Kronologi Kasus Pelecehan Seksual Gilang ‘Bungkus-membungkus’ Pakai Jarik, Diduga Fetish, https://newsmaker.tribunnews.com/amp/2020/07/31/kronologi-kasus-pelecehan-seksual-gilang-bungkus-membungkus-pakai-jarik-diduga-fetish?page=4 (diakses 20 Agustus 2020 pukul 11.00 WIB).

[2] Kompas.com, Mengenal Apa Itu Fetish dan Bagaimana Bisa Muncul? https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/02/170500765/mengenal-apa-itu-fetish-dan-bagaimana-bisa-muncul-?page=all (diakses 20 Agustus 2020 pukul 13.50 WIB).

[3] DetikNews, Pakar Pidana: Gilang ‘Bungkus’ Bisa Kena Pasal ITE dan Ancaman Kekerasan, https://news.detik.com/berita/d-5124803/pakar-pidana-gilang-bungkus-bisa-kena-pasal-ite-dan-ancaman-kekerasan (diakses 24 Agustus 2020 pukul 14.06 WIB).

[4] Hukumonline.com, MK Cabut Aturan Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d80ab053501/mk-cabut-aturan-delik-perbuatan-tidak-menyenangkan/#:~:text=%E2%80%9CMK%20menyatakan%20bahwa%20frasa%2C%20%E2%80%9C,Kamis%20(16%2F1), (diakses 26 Agustus 2020 pukul 23.09 WIB).

Tersedia di:
Spotify Part I

Spotify Part II

Anchor Part I

Anchor Part II

Google Podcast Part I

Google Podcast Part II