Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Ilham Restu Ramadhani

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan Program Revolusi di bidang agraria yang sering disebut dengan Agrarian Reform Indonesia, salah satu isi dari program tersebut adalah perombakan terhadap kepemilikan dan penguasaan atas tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaan tanah.[3] Berkenaan dengan kepemilikan dan hak penguasaan atas tanah saat ini terdiri atas hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.[4] Salah satu hak atas tanah yang lumrah digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB). Berdasarkan Pasal 35 UUPA, HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Adapun subjek hukum yang dapat memiliki hak atas tanah berupa HGB, yaitu Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) dan Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Selain dalam UUPA, pengaturan terkait HGB dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 18/2021). Menurut Pasal 36 PP 18/2021, HGB hanya dapat diberikan di atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik. Adapun berkaitan dengan jangka waktu HGB atas alas hak Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan dalam Pasal 37 ayat (1) PP 18/2021 adalah paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Kemudian, HGB tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan juga dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Merujuk pada ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 18/2021 di atas, maka sesungguhnya HGB dapat dimiliki paling lama 80 (delapan puluh) tahun dari total 1 (satu) kali perpanjangan hak dan 1 (satu) kali pembaharuan hak. 

Sementara itu berdasarkan Pasal 37 ayat (2) PP 18/2021 jangka waktu HGB di atas Tanah Hak Milik adalah 30 (tiga puluh) tahun. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa HGB di atas Tanah Hak Milik tidak dapat dilakukan perpanjangan, melainkan hanya dapat dilakukan pembaharuan hak dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya HGB.[5] Hal ini berbeda dengan HGB di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan yang akan menjadi berakhir apabila tidak dilakukan perpanjangan oleh pemegang HGB, sehingga ketika HGB tersebut berakhir maka hak atas tanah akan kembali menjadi milik negara atau pengelola.[6] Adapun terkait dengan syarat perpanjangan HGB berbeda-beda sesuai dengan alas hak atas tanah di bawahnya. 

Menurut Pasal 40 ayat (1) PP 18/2021 dinyatakan bahwa: 

Hak guna bangunan di atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dapat diperpanjang atau diperbarui atas permohonan pemegang hak apabila memenuhi syarat:

  1. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak;
  2. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
  3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
  4. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; dan
  5. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP 18/2021 di atas, subjek hukum yang memegang HGB dengan alas hak Tanah Negara dapat memperpanjang atau memperbaharui HGB apabila telah memenuhi syarat yang ditetapkan.

HGB dengan alas hak berupa Tanah Hak Pengelolaan menurut Pasal 40 ayat (2) PP 18/2021 dapat diperpanjang dan diperbaharui atas permohonan pemegang HGB apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) PP 18/2021 di atas dan mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Sementara itu, menurut Pasal 40 ayat (3) PP 18/2021 untuk HGB di atas Tanah Hak Milik hanya dapat diperbaharui apabila terdapat kesepakatan antara pemegang HGB dan pemegang Hak Milik dengan pemberian HGB baru melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), serta harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 

Menurut Pasal 38 PP 18/2021, Hak atas tanah berupa HGB dapat terjadi di atas Tanah Negara dengan melalui Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Tanah Hak Pengelolaan yang diperoleh melalui keputusan Menteri atas dasar persetujuan pemegang Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Merujuk pada ketentuan Pasal 38 PP 18/2021 tersebut, maka pemegang sertifikat HGB tidak memiliki tanah, melainkan hanya memiliki hak atas bangunan yang didirikan di atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik.

Berkaitan dengan pembahasan mengenai subjek hukum yang dapat memiliki HGB, apabila subjek hukum pemegang HGB sudah bukan lagi merupakan WNI dan Badan Hukum sudah tidak berkedudukan di Indonesia, maka mereka harus melepaskan atau mengalihkan HGB kepada pihak lain yang memenuhi syarat.[7]  Seiring dengan berjalannya waktu, HGB dapat beralih, dialihkan, atau dilepaskan kepada subjek hukum lainnya dengan kewajiban melakukan pendaftaran.[8] Pendaftaran tersebut dimaksudkan untuk dapat dikeluarkannya sertifikat hak atas tanah yang menunjukkan pembuktian atas kepemilikan seseorang maupun badan hukum atas tanah yang didaftarkan.[9]

Berdasarkan uraian materi diatas, pada pokoknya UUPA merupakan tonggak dari reformasi agraria di Indonesia, khususnya dalam kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah. Adapun salah satu jenis hak atas tanah yang lumrah digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah HGB, yang memungkin WNI dan Badan Hukum untuk menjadi pemegang HGB. Selain itu, HGB hanya akan dapat terjadi di atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik. Kemudian, HGB yang dapat diperpanjang itu adalah HGB di atas Tanah Negara dan Tanah Pengelolaan, sedangkan untuk HGB di atas Tanah Hak Milik hanya dapat mengajukan permohonan pembaharuan hak.

Dasar Hukum:

Undang Undang R.I., No. 5 Tahun 1960, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, L.N.R.I. Tahun 1960 No. 104.

Peraturan Pemerintah R.I., No. 18 Tahun 2021, Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah,

Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, L.N.R.I. Tahun 2021 No. 28.

Referensi:

[1]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya 1 (Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2018).

[2] Id, pada 2.

[3] Id, pada 3.

[4] Pasal 16 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

[5] Id, pada 333. 

[6] Pasal 37 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

[7] Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

[8] Pasal 45 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

[9] Boedi Harsono, supra catatan no. 6, pada 212.

Baca Juga

Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Narasumber: Olivia Agatha Kusuma S.H., M.H. “Suits” adalah satu serial Netflix terkemuka bergenre hukum. Serial ini berputar pada kehidupan seorang tokoh bernama Mike Ross, yang dikenal sebagai seorang jenius karena memiliki ingatan fotografis. Suatu ketika ia...