Narasumber: Feliks Gerald Ferguson Purba – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR.
Mempelajari hukum perusahaan dan hukum benda dan jaminan akan membuat kita memahami saham dan jaminan fidusia. Secara hukum, saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dalam memahami hal tersebut, perlu dianalisis secara yuridis dan dikaitkan dengan teori-teori hukum yang relevan. Analisis yang bersifat argumentatif, menghasilkan pertanyaan yaitu mengapa saham perseroan terbatas dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia? Bagaimana proses saham perseroan terbatas menjadi jaminan fidusia? Lalu bagaimana eksekusi jaminan fidusia dalam bentuk saham perseroan terbatas?”
Fidusia menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia (UU Fidusia) adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan fidusia yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Fidusia memiliki unsur-unsur sebagai berikut:[1]
- Adanya hak jaminan, yaitu hak jaminan kebendaan.
- Ada objek, yaitu benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan dan benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud.
- Objek tetap berada di bawah “penguasaan pemberi fidusia” karena adanya kepercayaan dari penerima fidusia dan diserahkan secara constitutum possessorium (benda jaminan tetap dikuasai debitur).
- Sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu.
Jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[2]
- Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya;
- Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada;
- Merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok;
- Memenuhi asas spesialitas;
- Memenuhi asas publisitas; dan
- Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Untuk memahami keterkaitan jaminan fidusia dengan saham, terlebih dahulu kita pahami apa yang dimaksud dengan saham. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) tidak dijelaskan apa definisi saham akan tetapi pendapat ahli mengatakan bahwa saham adalah bagian dari modal suatu perusahaan dalam hal ini Perseroan Terbatas.[3] Saham merupakan bagian dari modal. Menurut pendapat ahli, modal merupakan salah satu syarat untuk mendirikan perseroan terbatas, pedoman membuat anggaran dasar, dan dana untuk melaksanakan kegiatan perseroan. Modal tersebut salah satunya berupa sero (saham) dan sebagian besar transaksi perseroan berasal dari jual-beli saham.[4] Karena saham berperan penting dalam perseroan, saham menjadi bukti hak milik dari pemodal. Dalam Pasal 60 ayat (1) UU PT saham merupakan benda bergerak dan penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemiliknya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang.”[5] Dari penjelasan tersebut menunjukkan saham dapat dijadikan jaminan karena adanya hak kebendaan pemegang saham. Saham sebagai hak kebendaan yang memberikan jaminan dapat menjadi jaminan fidusia karena tergolong objek benda bergerak tidak berwujud yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Untuk bisa menjadikan saham perseroan terbatas sebagai jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia mewajibkan pembebanan benda (saham) dengan jaminan fidusia dibuatkan akta notaris yang selanjutnya disebut akta jaminan fidusia. Akta yang dibuat tersebut memiliki sifat accessoir, artinya perlu adanya perjanjian pokok yang mensyaratkan adanya penjaminan fidusia atas saham tersebut.[6] Saham yang menjadi jaminan fidusia wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.[7] Dengan didaftarkan saham tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia akan mengeluarkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan memberikannya kepada penerima jaminan fidusia atas saham.
Selain terdaftar dalam Kantor Pendaftaran Fidusia, Pasal 60 ayat (3) UUPT mewajibkan saham yang menjadi jaminan fidusia didaftarkan pada Daftar Pemegang Saham atau Daftar khusus. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan pemegang saham perseroan mengetahui status saham yang difidusiakan. Selain didaftarkan, anggaran dasar juga harus memuat ketentuan saham sebagai jaminan fidusia perseroan. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU PT.[8] Jika anggaran dasar tidak mengatur, maka saham tidak dapat dijadikan jaminan fidusia karena perseroan dianggap tidak menerima hak jaminan tersebut.[9]
Apabila salah satu pihak yang dalam hal ini debitur atau pemegang saham cidera janji maka menurut Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.[10] Akan tetapi, yang dimaksud “cidera janji” dalam pasal tersebut memiliki penafsiran baru yang dicantumkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.[11] Cidera janji yang dimaksud adalah terdapat kesepakatan para pihak bahwa pemegang saham telah cidera janji sehingga eksekusi saham dapat dilakukan. Tanpa adanya kesepakatan tersebut, kreditur atau penerima fidusia tidak dapat mengeksekusi saham. Akan tetapi jika pemegang saham menyanggah dan tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur harus membawanya ke proses gugatan wanprestasi.[12]
Eksekusi jaminan fidusia dalam bentuk saham tidak memiliki perbedaan dengan eksekusi objek fidusia lainnya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa eksekusi saham harus mendapat kesepakatan bersama dan dilaksanakan di pengadilan.[13] Berdasarkan putusan pengadilan akan dinyatakan bahwa pemegang saham mengaku telah cedera janji dan telah disepakati pihak pemegang saham dan penerima fidusia (para pihak) untuk melakukan eksekusi saham.[14] Setelah memperoleh putusan, kemudian saham dapat dilelang. Saham yang berasal dari PT bentuk terbuka (Tbk) dapat dilelang di bursa efek. Eksekusi saham jaminan fidusia di bursa efek dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu sistem lelang dan sistem negosiasi. Sistem lelang dilaksanakan dengan Jakarta Automated Trading System (JATS) pelelangan dilakukan berdasarkan prioritas harga dan waktu (time and price priority). Hal ini berbeda dengan sistem negosiasi didasarkan pada negosiasi dari para pihak. Negosiasi tersebut berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Fidusia, yaitu para pihak sepakat akan melakukan eksekusi di bawah tangah jika eksekusi akan memperoleh harga tinggi yang menguntungkan. Kemudian eksekusi sistem negosiasi dalam Pasal 29 ayat 2 UU Fidusia dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan pemberitahuan tertulis dari pemegang saham atau penerima fidusia. Pemberitahuan tertulis diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang tersebar di daerah para pihak.
Sebagai kesimpulan, penting bagi kita untuk mengetahui bahwa terdapat ketentuan hukum terkait hak kebendaan yang dapat memberikan jaminan fidusia dan objek jaminan tersebut salah satunya adalah saham PT. Ketika terjadi eksekusi, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia telah diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yaitu pelaksanaan eksekusi harus memenuhi unsur cidera janji yang diartikan sebagai adanya kesepakatan para pihak bahwa pemegang saham telah melakukan cidera janji dan pelaksanaan eksekusi telah memperoleh putusan pengadilan. Akan tetapi, apabila tidak terjadi kesepakatan maka penerima fidusia harus menggugat wanprestasi.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 No.23).
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889).
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Referensi:
[1] Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), halaman 39.
[2] Ibid., halaman 40.
[3] Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), halaman 122.
[4] Ibid., halaman 127.
[5] Penjelasan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[6] David Widiantoro, Tesis: Perbandingan Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Jaminan atas Saham Dalam Perseroan Terbatas Tertutup Berdasarkan Gadai dan Fidusia, (Salemba: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012, halaman 62.
[7] Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.
[8] David Widiantoro, supra note nomor 6, halaman 66-67.
[9] Ibid., halaman 67.
[10] Wiwin Dwi Ratna Febriyanti, Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER, Volume 6-Nomor 2, Juli-Desember 2020, halaman 47.
[11] Ibid., halaman 48.
[12] Ibid., halaman 49.
[13] Ibid., halaman 50.
[14] Ibid., halaman 51.
Tersedia di: