Hukum Kebohongan dan Kebohongan Hukum

Narasumber: Ahmad Mukhlish Fariduddin

Notulen: Cindy Ciawi

Dari tahun ke tahun, kasus penyebaran berita bohong tidak lepas dari pembicaraan masyarakat. Mulai dari kasus Ratna Sarumpaet, Sunda Empire, hingga Pilkada Serentak Tahun 2024. Penyebaran berita bohong merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru). Berdasarkan naskah KUHP Baru, larangan penyebaran berita bohong diatur dalam bab tentang tindak pidana terhadap kepentingan umum. Jika dikaji secara teoretis, kriminalisasi penyebaran hoaks diatur dalam Pasal 263 dan 264 KUHP Baru. Secara sistematika, kedua pasal tersebut diatur dalam Paragraf 7 pada Bagian Keempat dalam Bab V KUHP Baru. Bab V berjudul “Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum”, Bagian Keempat berjudul “Gangguan terhadap Ketertiban dan Ketenteraman Umum” dan Paragraf 7 tentang Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. 

Mengacu pada sistematika tersebut, dapat dikritisi bahwa tindak pidana penyebaran hoax pada Bab V yang berjudul “Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum” menimbulkan kebingungan karena pembuat naskah KUHP Baru tidak memberikan definisi dari tindak pidana terhadap ketertiban umum. Mengingat pada dasarnya, tindak pidana itu secara umum mengganggu ketertiban umum, dan banyak tindak pidana lain yang tidak masuk dalam bab ini tetapi mengganggu ketertiban umum, seperti tindak pidana terhadap agama yang diatur dalam bab yang terpisah atau tersendiri, yakni pada Bab VII KUHP Baru. Hal ini menunjukkan bahwa pembuat naskah KUHP Baru tidak konsisten terhadap perwujudan dari tindak pidana yang mengganggu ketertiban umum itu sendiri. Kemudian, frasa pada bagian keempat yang berjudul “Gangguan terhadap Ketertiban dan Ketenteraman Umum” dianggap aneh karena seolah-olah ketertiban umum dan ketentraman umum adalah dua hal yang berbeda. Selain itu, di naskah KUHP Baru, frasa “ketentraman umum” hanya tercantum satu kali saja di bagian keempat ini. Jadi, sebenarnya tidak terdapat perbedaan makna antara ketertiban dan ketenteraman umum, tetapi pembentuk KUHP Baru menggunakan kedua istilah ini seolah-olah merupakan dua hal yang berbeda.

Dari sisi sejarah, Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. Di dalam Criminal Wetboek, Belanda hanya mengkriminalisasi kebohongan yang berkaitan dengan false alarm atau pemberitahuan palsu tentang suatu bencana, seperti membunyikan alarm kebakaran padahal tidak terjadi kebakaran, serta lebih mengacu kepada keamanan negara dari militer dan bencana. Saat Belanda menjajah Indonesia, terdapat asas konkordansi sehingga pemerintah Belanda membuat Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (selanjutnya disebut WvSNI), di mana ada penyesuaian hukum di Hindia Belanda ketika diberlakukannya asas konkordansi tersebut. Salah satu penyesuaian tersebut terdapat pada WvSNI yang menyatakan bahwa barangsiapa menyiarkan kabar bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat diancam dengan pidana penjara sekian tahun. Alasan adanya penyesuaian di aturan ini adalah karena Belanda menganggap kaum bumi putra rentan akan informasi dan membelakangi validasi serta cenderung langsung bereaksi tanpa divalidasi kebenarannya.

Pada masa perang dunia kedua, Belanda memberikan otoritas militer kepada Hindia Belanda. Otoritas militer tersebut memberatkan sanksi terhadap pengaturan penyebaran berita bohong. Hal ini dikarenakan ketika terjadi penyebaran berita bohong, maka dapat menimbulkan ketidakstabilan negara dan mengancam keamanan militer. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/1946) yang mencabut keberlakuan ketentuan WvSNI, salah satunya yaitu ketentuan tentang berita bohong dan digantikan dengan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 yang saat ini sudah dinyatakan inkonstitusional oleh putusan MK. Dalam hal ini, yang menjadi persoalan adalah ketika KUHP Baru mengatur hal yang sangat mirip dengan apa yang diatur di dalam UU 1/1946. Memang dari frasanya tidak sama, tetapi maknanya hampir mirip dengan yang ada di dalam UU 1/1946.

Salah satu frasa dalam KUHP Baru yang mirip dengan frasa yang ada di dalam UU 1/1946 adalah pada Pasal 263 dan 264 KUHP Baru yang keduanya mengkriminalisasi berita bohong, tetapi terdapat perbedaan pada tendensinya. Tendensi pada Pasal 263 KUHP Baru mengacu pada penyebaran berita bohong, yakni berita yang diketahui atau patut diketahui bohong tetapi disebarkan dengan sengaja untuk menimbulkan keonaran. Sedangkan pada Pasal 264 KUHP Baru, tendensinya mengacu pada penyebaran berita yang bisa jadi benar (kebenarannya belum dipastikan) atau berita benar tetapi dilebih-lebihkan, atau beritanya tidak lengkap. 

Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Baru dinyatakan bahwa:

“Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat frasa “bohong”. Secara konsep, bohong adalah tidak sesuai dengan fakta. Hal yang menjadi persoalan pertama adalah siapa pihak yang berhak menilai suatu omongan adalah fakta atau tidak. Selanjutnya, pada frasa “kerusuhan” menimbulkan persoalan kedua, yaitu mengenai indikator kerusuhan, apakah harus berbentuk kerusuhan fisik, demonstrasi, atau adu pendapat di media sosial. Maka dari itu, skala kerusuhan dalam ketentuan ini tidak jelas. Walaupun sudah ada penjelasan Pasal 190 KUHP Baru yang menyatakan bahwa suatu kondisi dapat dikategorikan ke dalam kerusuhan jika ada kekerasan yang dilakukan oleh minimal 3 (tiga) orang, hal ini tetap menjadi suatu persoalan karena pada praktiknya, definisi yang diberikan tetap mengakibatkan kesulitan dalam menentukan indikator kapan suatu fenomena disebut sebagai kerusuhan. Kemudian, cakupan masyarakat pada frasa “masyarakat” ini kurang jelas, apakah hanya meliputi masyarakat lokal atau masyarakat suku tertentu, atau masyarakat seluruh Indonesia. Selain itu, sering kali kebenaran adalah sesuatu yang disepakati yang kemudian menyebabkan kebiasaan. Oleh karena pihak yang menentukan kebenaran adalah mayoritas, maka hal yang ditentukan oleh pihak minoritas dapat dianggap sebagai kebohongan. 

Selanjutnya, Pasal 263 ayat (2) KUHP Baru menyatakan bahwa:

“Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, frasa “patut diduga” menempatkan kelalaian orang yang harusnya bisa menduga bahwa suatu informasi bisa saja salah, tetapi orang tersebut tidak melakukan prinsip kehati-hatian seperti konsep alpa dalam hukum pidana. Kemudian, frasa “yang dapat mengakibatkan” menunjukkan bahwa ada potensi kerusuhan. Hal yang menjadi persoalan adalah tidak adanya indikator yang jelas mengenai sejauh manakah potensi kerusuhan yang termasuk di dalam ketentuan ini.

Lebih lanjut, dalam Pasal 264 KUHP Baru dinyatakan bahwa:

“Setiap Orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Mengacu pada ketentuan tersebut, frasa “sedangkan diketahuinya atau patut diduga” menimbulkan kebingungan. Hal ini dikarenakan apakah pengetahuan atau dugaan pada frasa tersebut termasuk delik yang sengaja atau tidak (dolus atau culpa). Selanjutnya, persoalan mengenai tendensi terhadap berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap. Informasi bisa saja benar, tetapi kemudian orang yang menyebarkan tidak memastikan lebih lanjut, melebih-lebihkan informasi, atau menyampaikan informasi secara tidak lengkap. Putusan MK sudah membahas mengenai frasa di dalam UU 1/1946 yang bunyinya sangat mirip, tetapi berbeda dan UU 1/1946 sudah dinyatakan inkonstitusional oleh putusan MK. Belum ada pembahasan mengenai bunyi tersebut di dalam KUHP Baru, serta putusan terhadap KUHP Baru juga belum ada karena masih belum diberlakukan pada saat ini.

Mengacu pada sejarah Indonesia, KUHP Lama atau WvSNI dibuat karena adanya politik hukum, yakni pembatasan penyebaran berita yang diterbitkan oleh Belanda yang bertujuan untuk mengekang kebebasan berpendapat masyarakat pribumi agar kelanggengan penjajahan di Hindia Belanda tetap terjaga. Selain itu, pada saat perang dunia, Belanda sedang menghadapi berbagai ancaman militer. Ancaman bahaya itu dapat berasal dari luar maupun bahaya dari dalam yang kemudian menciptakan politik hukum untuk menjaga keamanan dan stabilitas negara yakni Verordening No. 18 van het Militair Gezag dalam KUHP Lama di mana sanksi terhadap penyebaran berita bohong diperberat. Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah UU 1/1946 dengan politik hukum untuk menjaga stabilitas negara, baik dalam segi ekonomi maupun keamanan negara.

Mengacu pada pengaturan di negara lain yakni Singapura, kebohongan dipidana melalui dua aturan yakni telecommunication act dan internal security act. Kedua aturan ini menjatuhkan pidana apabila kebohongan berkaitan dengan keamanan negara, misalnya bom, terorisme, atau bencana alam, mirip seperti false alarm yang dikenal dalam WvSNI. Selain itu, juga terdapat pengaturan mengenai kebohongan di media online, yakni Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act (selanjutnya disebut POFMA), mirip dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia. Pada POFMA, jika ada kebohongan yang disebarkan di sosial media, maka pemerintah berwenang dalam mengeluarkan direction atau seperti arahan yang ditempelkan pada berita kebohongan tersebut atau berita kebohongan harus di-take down. Lebih lanjut, direction bukan merupakan rute pidana, tetapi rute administrasi. Jika direction telah diberikan kepada subjek yang menyebarluaskan tersebut, kemudian subjek yang menyebarluaskan tersebut tidak mau mengklarifikasi atau mengikuti direction itu, maka subjek tersebut dapat dipidana jika tidak memberikan reasonable excuse

Salah satu kasus terkait penyebaran berita bohong yang terjadi di Singapura adalah The Online Citizen Pte Ltd v. Attorney-General. Dalam kasus ini, terdapat suatu Non-Governmental Organization (selanjutnya disebut NGO) bernama Lawyers for Liberty (selanjutnya disebut LFL) yang menuduh petugas penjara di Singapura bernama Singapore Prison Service (selanjutnya disebut SPS) menggunakan metode yang melanggar hukum untuk mengeksekusi pidana mati. Menurut LFL, SPS tidak melakukan eksekusi mati sesuai hukum yang berlaku sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan ilegal. Kemudian, terdapat suatu media yakni The Online Citizen (selanjutnya disebut TOC) mengeluarkan artikel yang merujuk pada tuduhan LFL yang menyebutkan SPS melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku ketika mengeksekusi pidana mati. Dalam hal ini, menurut pemerintah Singapura, eksekusi pidana mati tersebut telah sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat dibilang bahwa faktanya adalah SPS tidak melakukan tindakan ilegal. Selanjutnya, pemerintah memberikan direction kepada TOC untuk menghapus berita terkait, tetapi TOC tidak ingin mengikuti direction dengan memberikan keterangan bahwa mereka hanya merujuk pada LFL yang memberikan tuduhan dengan bukti. Dalam kasus ini, TOC tidak dapat dipidana karena telah memberikan reasonable excuse

Kasus lain yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong adalah Singapore Democratic Party v. Attorney-General. Singapore Democratic Party (selanjutnya disebut SDP) menerbitkan suatu artikel yang menurut pemerintah Singapura memuat informasi keliru tentang pendataan kependudukan di Singapura. Pemerintah memberikan direction kepada SDP untuk menurunkan artikel atau berita tersebut, tetapi SDP menolak karena pihak SDP telah melakukan metode pendataan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal yang dilakukan oleh SDP ini disebut sebagai reasonable excuse. Melalui kasus-kasus yang terjadi di Singapura ini, cakupan reasonable excuse sangat luas, yakni mencakup pengumpulan data secara ilmiah, rujukan pada pendapat lain, serta aspek-aspek keilmiahan lainnya, meskipun tidak sesuai dengan hal yang dianggap fakta oleh pemerintah atau negara. Dengan melihat pengaturan mengenai penyebaran berita bohong di Singapura, sepertinya lebih “forgiving” daripada pengaturan di Indonesia, padahal klaimnya, Indonesia ingin membangun demokratisasi dan dekolonialisasi. Begitu melihat Singapura yang memiliki hukum yang cenderung lebih otoriter dan represif seperti aturan terhadap orang yang membuang sampah sembarangan saja dapat dipidana, terkait pengaturan penyebaran berita bohong ini malah terasa menjadi lebih renggang dan “mudah” daripada pengaturan di Indonesia. 

Namun demikian, hal yang terpenting adalah kita sebagai masyarakat Indonesia harus bisa selalu kritis bahwa laguna iuris atau kekosongan-kekosongan dalam produk hukum itu pasti ada, sebagaimana KUHP yang juga pasti ada laguna iuris-nya. Sebagai warga negara, kita menerima KUHP sebagai hukum yang mengikat, tetapi sebagai akademisi, mahasiswa, peneliti, dosen, bisa terus senantiasa mengkritisi apa yang ada di dalam KUHP Baru ini, termasuk dua ketentuan ini. Apabila pemerintah ingin membawa misi demokratisasi dan dekolonialisasi, maka seharusnya terdapat perubahan dalam kedua aturan mengenai penyebaran berita bohong ini, atau setidak-tidaknya bisa lebih “forgiving” dibandingkan dengan aturan yang terdahulu, atau setidak-tidaknya menggunakan rute administrasi seperti di Singapura yang hanya dapat dipidana jika pihak yang menyebarluaskan berita bohong tidak dapat memberikan reasonable excuse.

Tersedia di:

Spotify

Spotify for Podcasters

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...