Narasumber: Bagus Fauzan, S.H., M.H.
Dewasa ini, ruang publik terutama melalui media daring ramai diperbincangkan mengenai fenomena penyanyi yang membawakan lagu milik pihak lain dalam sebuah konser. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah terdapat ketentuan hukum yang mengatur mengenai penyelenggaraan pertunjukan musik, seperti konser atau festival dalam hukum positif Indonesia. Industri musik pasca pandemi COVID-19 telah mengalami perkembangan pesat, terutama konser. Konser menjadi sarana hiburan yang diminati oleh masyarakat mulai dari anak muda hingga orang dewasa. Untuk memahami kerangka hukum yang berlaku, perlu ditelaah sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur konser, baik dari sisi perlindungan hak cipta, perizinan, maupun kewajiban penyelenggara.
Pertama, terkait dengan konser musik, Indonesia memiliki ketentuan hukum karena musik merupakan salah satu bentuk karya cipta yang dilindungi. Perlindungan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU Hak Cipta). Kedua, dalam penyelenggaraan konser, selain terdapat karya cipta yang dibawakan, terdapat pula pihak penyelenggara yang bertanggung jawab atas jalannya acara. Mengingat penyelenggaraan konser merupakan suatu perbuatan hukum, maka pasti menimbulkan konsekuensi hukum. Setidaknya, setiap kegiatan yang melibatkan kehadiran banyak orang wajib memperoleh izin. Di Indonesia, kegiatan yang bersifat publik atau menghadirkan kerumunan diatur dalam kerangka hukum kepariwisataan. Pada tahun 1990, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kepariwisataan yang mengatur berbagai kegiatan pariwisata, salah satunya mencakup kegiatan hiburan. Berdasarkan pengaturan tersebut, konser, pertunjukan, maupun festival termasuk ke dalam kategori kegiatan pariwisata yang berbentuk hiburan.
Dalam perspektif hak cipta, pencipta lagu memiliki hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah penyelenggara konser atau penyanyi wajib memperoleh izin dari pencipta lagu, atau setidaknya harus melakukan pembayaran royalti. Salah satu contoh kasus yang menonjol adalah kasus Agnez Mo yang dituntut oleh Ari Bias selaku pencipta lagu karena membawakan lagu ciptaan Ari Bias tanpa izin. Dalam perkara ini, pengadilan memutus Agnez Mo untuk membayar ganti rugi sebesar Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Sebelum perkara tersebut, Ari Bias telah beberapa kali melayangkan somasi dan memuncak saat Agnez Mo menggelar konser di 3 (tiga) lokasi berbeda, di mana ia membawakan lagu ciptaan orang lain tanpa izin, yakni lagu berjudul “Bilang Saja” oleh Ari Bias. Secara normatif, pembawaan lagu milik pihak lain dalam suatu konser mensyaratkan izin dari pencipta lagu atau wajib membayar royalti.
Berdasarkan Pasal 5 UU Hak Cipta, penggunaan lagu atau musik yang merupakan karya cipta pihak lain setidaknya harus mendapat izin. Selanjutnya, Pasal 9 UU Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan karya cipta harus memperoleh izin dari pencipta. Namun, Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta memberikan pengecualian khusus untuk pemanfaatan karya cipta dalam bentuk pertunjukan, tidak diperlukan izin selama pengguna membayar royalti kepada pihak ketiga, yaitu Lembaga Manajemen Kolektif (selanjutnya disebut LMK). Dengan demikian, pengguna karya cipta diperbolehkan tidak minta izin langsung kepada pencipta asalkan memenuhi kewajiban pembayaran royalti melalui LMK.
Berdasarkan putusan tersebut, memang Ari Bias selaku pencipta tidak pernah memberikan izin kepada Agnez Mo. Namun, Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta, mengatur bahwa untuk pemanfaatan karya cipta dalam kegiatan pertunjukan yang bersifat komersial tidak diperlukan izin langsung dari pencipta selama royalti dibayarkan. Pada dasarnya, hak cipta mencakup hak moral dan hak ekonomi. Persoalan hukum yang dialami Agnez Mo berkaitan dengan Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta, yang pada intinya mengatur bahwa penggunaan karya cipta pihak lain harus disertai izin dan pembayaran royalti. Namun, secara khusus untuk pertunjukan, kewajiban izin dapat dikesampingkan sepanjang kewajiban pembayaran royalti kepada pihak yang berwenang (dalam kasus ini LMK) telah dipenuhi.
Esensi dari Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta adalah bahwa penggunaan karya cipta untuk kegiatan pertunjukan yang bersifat komersial dapat dilakukan tanpa izin langsung dari pencipta, sepanjang pelaku pertunjukan membayar royalti ke LMK. Namun, frasa “setiap orang” dalam Pasal 9 dan Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta yang mengatur kewajiban izin dan pembayaran royalti, menimbulkan perdebatan mengenai maksud dari frasa “setiap orang”. Apakah yang dimaksud frasa tersebut adalah penyelenggara konser, penyanyi, atau bahkan penonton? Saat ini terdapat 2 (dua) pandangan utama mengenai frasa tersebut: pertama, bahwa penyelenggara konser bertanggung jawab penuh; kedua, bahwa penyanyi sebagai pengguna langsung karya cipta yang memikul kewajiban tersebut. Hingga saat ini, UU Hak Cipta tidak memberikan definisi jelas mengenai frasa “setiap orang”, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam praktik
Bila ditafsirkan secara sempit, UU Hak Cipta tidak memberikan penjelasan rinci mengenai subjek yang dimaksud dengan “pengguna” maupun definisi “penggunaan”, termasuk dalam ketentuan sanksi pidana. Namun, dalam pelaksanaannya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Kemenkumham) dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu (selanjutnya disebut Kepmenkumham Tahun 2016). Peraturan ini menetapkan tarif royalti yang wajib dibayarkan oleh pengguna lagu atau musik milik pihak lain, mencakup berbagai jenis pemanfaatan, termasuk penyelenggaraan konser.
Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa tarif royalti konser adalah 2% (dua persen) dari harga tiket masuk bagi konser berbayar, ditambah 1% (satu persen) untuk tiket gratis. Apabila konser diselenggarakan tanpa tiket masuk, maka royalti dihitung 2% (dua persen) dari total biaya produksi. Meskipun demikian, keputusan ini tidak secara tegas menyebutkan pihak yang berkewajiban untuk membayar royalti. Secara logis kewajiban tersebut berada pada penyelenggara atau promotor bukan penyanyi. Sebab penggunaan karya cipta dalam konteks konser timbul karena perbuatan hukum penyelenggara yang mengadakan acara tersebut. Kekurangan mendasar dari Kepmenkumham Tahun 2016 adalah ketiadaan ketentuan yang secara eksplisit menetapkan pihak yang wajib membayar royalti.
Dalam praktik pada sektor usaha lain, pihak yang membayar royalti adalah pemilik usaha atau penyelenggara bisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam konteks konser, tanggung jawab pembayaran royalti seharusnya berada pada penyelenggara atau promotor. Dari perspektif UU Hak Cipta seperti Pasal 87 ayat (4) UU Hak Cipta yang mengatur pemanfaatan karya cipta berupa lagu, kewajiban membayar royalti secara umum dibebankan kepada pihak yang menjalankan usaha atau kegiatan yang memanfaatkan karya tersebut. Ketentuan ini sesuai dengan Kepmenkumham Tahun 2016, yang meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan subjek hukumnya, telah memberikan pengaturan yang cukup jelas mengenai mekanisme dan besaran tarif royalti.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan konser juga memperoleh landasan hukum dari Undang-Undang Kepariwisataan. Di Indonesia, sejak tahun 1990 telah berlaku undang-undang yang mengatur kegiatan pariwisata, termasuk hiburan yang mencakup konser dan pertunjukan. Konser secara normatif digolongkan sebagai hiburan yang menjadi bagian dari kegiatan pariwisata. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan (selanjutnya disebut PP No. 67 Tahun 1996) secara eksplisit memasukkan pertunjukan seni dan musik dalam kategori kegiatan hiburan. Pasal 28 PP No. 67 Tahun 1996 mengatur mengenai usaha impresariat, yaitu pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan oleh artis dan seniman, termasuk pengurusan dokumen, akomodasi, dan transportasi. Dalam praktik, impresariat yang umum dikenal sebagai promotor juga bertanggung jawab terhadap perizinan dan kelancaran pelaksanaan pertunjukan.
Pasal 29 PP No. 67 Tahun 1996 menetapkan bahwa jasa impresariat wajib menjaga kelestarian seni dan budaya, mematuhi nilai-nilai agama dan adat, serta mengurus seluruh perizinan yang dipersyaratkan sesuai ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian, impresariat atau promotor merupakan pihak yang mengorganisasi pertunjukan serta bertanggung jawab atas kelangsungan acara dan para pelaku pertunjukan yang tampil. Meskipun Undang-Undang Kepariwisataan Tahun 1990 telah dicabut pada tahun 2009, ketentuan mengenai jasa impresariat tetap diakomodasi melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata (Permenparekraf No. 18 Tahun 2016), yang mengatur penyelenggaraan kegiatan hiburan dengan mendatangkan artis, seniman, atau tokoh masyarakat.
Berdasarkan penafsiran hukum positif dari UU Hak Cipta, Kepmenkumham Tahun 2016 dan PP No. 67 Tahun 1996, pihak berkewajiban untuk membayar royalti adalah penyelenggara kegiatan, yaitu promotor. Tanpa promotor, konser tidak akan terlaksana, penyanyi tidak akan tampil, dan penonton tidak akan dapat menikmati acara. Meskipun Kepmenkumham Tahun 2016 menggunakan istilah pengguna, peraturan tersebut tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai subjek yang dimaksud. Namun, PP No. 67 Tahun 1996 secara tegas menetapkan bahwa promotor adalah penyelenggara pertunjukan musik sekaligus pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
Pada intinya, penyelenggara atau promotor bertanggung jawab penuh atas pembayaran royalti dan penyelenggaraan konser. Untuk mewujudkan kepastian hukum, perlu penegasan lebih lanjut terkait frasa “setiap orang” dalam UU Hak Cipta. Penegasan tersebut diharapkan dapat dimuat dalam revisi UU Hak Cipta yang saat ini menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Tersedia di: