Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.
Notulen: Puan Riela Putri Risman

Jual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online yaitu pandemi COVID-19. Pada saat itu, aplikasi ojek online seperti Gojek dan Grab tidak menerima kemitraan baru, karena kondisi ekonomi yang tidak baik. Hal ini menyebabkan banyak driver ojek online yang memanfaatkan hal tersebut dengan cara menjual akunnya kepada pihak yang ingin menjadi mitra dari aplikasi Gojek maupun Grab. Selain pandemi COVID-19, terdapat alasan lain yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online. Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam pembahasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online, penting untuk memahami terlebih dahulu pihak-pihak yang terlibat dalam praktik jual beli akun ojek online dan bagaimana hubungan hukumnya. 

Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pihak utama yang perlu diperhatikan dalam praktik jual beli akun driver ojek online. Pertama, perusahaan penyedia layanan ojek online seperti Gojek atau Grab yang berperan sebagai penyedia platform. Kedua, pengemudi resmi atau pemilik akun yang mendaftar dan lolos verifikasi oleh perusahaan penyedia layanan ojek online. Perusahaan penyedia layanan ojek online memiliki hubungan dengan para pemilik akun berupa hubungan kemitraan yang dituangkan dalam perjanjian kemitraan. Dengan demikian, pengemudi resmi memiliki tanggung jawab terhadap akun yang mereka gunakan termasuk mentaati semua syarat dan ketentuan yang sudah disepakati. Selanjutnya, pihak ketiga yang merupakan pembeli akun driver ojek online. Pihak ini tidak terdaftar di perusahaan, namun menjalankan layanan ojek online dengan membeli akun dari pengemudi resmi. Dalam praktiknya jual beli akun driver ojek online merupakan perjanjian yang dibuat sesama individu antara pemilik akun resmi dan pembeli akun tersebut. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tanpa sepengetahuan perusahaan, sehingga tidak diakui.

Praktik jual beli akun driver ojek online muncul karena berbagai alasan, salah satunya dari sisi ekonomi. Banyak pihak melihat profesi driver ojek online sebagai pekerjaan yang cepat untuk mendapatkan penghasilan dibandingkan dengan harus melamar pekerjaan dari perusahaan ke perusahaan lainnya dengan prosedur yang cenderung cukup panjang dan memakan waktu. Maka dari itu, salah satu pekerjaan yang dinilai cukup menjanjikan adalah driver ojek online. Guna menjadi mitra resmi perusahaan penyedia layanan ojek online tentu ada prosedur yang harus dilewati tetapi, hal yang menjadi masalah adalah tidak semua orang yang mendaftar dapat diterima menjadi mitra resmi perusahaan penyedia layanan ojek online. Adapun alasan seseorang tidak dapat diterima sebagai mitra resmi perusahaan penyedia layanan ojek online, seperti orang yang malas untuk mendaftar, atau ketika telah mendaftar namun, tidak lolos verifikasi data karena dokumen yang dimiliki tidak lengkap. Kemungkinan lain seseorang tidak dapat diterima sebagai mitra resmi perusahaan penyedia layanan ojek online adalah jumlah driver yang dinilai terlalu banyak. Hal tersebut menimbulkan terdapat masa-masa di mana Grab dan Gojek menutup pendaftaran, sehingga dalam jangka waktu tertentu pendaftarannya dibatasi. Selain itu, praktik jual beli akun driver ojek online juga dapat terjadi pada seseorang yang telah memiliki akun. Akan tetapi, akun yang dimiliki telah dibekukan atau terkena suspend karena pemilik akun melanggar aturan perusahaan. Oleh karena itu, pemilik akun yang masih ingin bekerja sebagai driver ojek online akhirnya memilih jalan pintas dengan membeli akun dari orang lain yang sudah terdaftar.

Di sisi lain, ketika seorang driver ojek online sudah menemukan pekerjaan lain dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai driver ojek online, maka akun ojek online nya dalam tanda kutip menjadi ‘menganggur’. Oleh sebab itu, terbesit oleh pemilik akun untuk menjual akun ojek online miliknya kepada orang lain sehingga, dalam jual beli akun driver ini kedua belah pihak diuntungkan. Pemilik asli akun driver ojek online mendapatkan uang dan pembelinya dapat bekerja sebagai driver ojek online. Selain itu, dalam lingkungan para driver ojek online berkumpul, praktik jual beli akun driver ojek online dianggap sebagai hal yang lumrah, sehingga muncul semacam anggapan bahwa tidak masalah memakai akun orang lain, selama tetap bekerja dengan baik. Padahal, hal tersebut dapat menimbulkan masalah, baik dari segi hukum maupun keselamatan penumpang. Bahkan seringkali, oknum-oknum secara sengaja mendaftarkan akun dalam jumlah besar hanya untuk dijual kembali. Praktik seperti ini sudah menjadi peluang usaha bagi sebagian pihak meskipun tidak sesuai dengan aturan. Oleh karena itu, meskipun alasan di balik praktik ini bisa dimengerti, tetapi praktik jual beli akun driver ojek online merupakan tindakan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi banyak pihak, terutama bagi konsumen yang tidak tahu siapa sebenarnya pengemudi di balik akun driver tersebut. 

Apabila merujuk pada aturan internal perusahaan ojek online seperti Gojek atau Grab, praktik jual beli akun driver ojek online sudah jelas tidak diperbolehkan. Hal tersebut disebabkan oleh kesepakatan dalam perjanjian kemitraan antara perusahaan penyedia layanan ojek online dengan driver. Dalam perjanjian kemitraan, biasanya terdapat klausul mengenai larangan praktik jual beli akun driver ojek online dalam bentuk dan cara apapun. Praktik jual beli akun driver ojek online dikategorikan sebagai pelanggaran berat kode etik yang menempatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna, baik mitra pengemudi maupun penumpang sebagai prioritas utama. Alasan jual beli akun driver ojek online ini dilarang karena sebelum menjadi mitra pengemudi, mereka terlebih dahulu melewati beberapa tahap atau prosedur yang diwajibkan oleh pihak perusahaan penyedia layanan ojek online. Prosedur yang diwajibkan terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari proses verifikasi yang cukup ketat, pengecekan identitas pribadi, kelengkapan kendaraan, hingga ada pelatihan khusus sebelum dinyatakan layak membawa penumpang atau barang. Ketika akun tersebut kemudian dijual ke orang lain, maka yang menggunakan akun bukan lagi orang yang terdaftar dan diverifikasi oleh perusahaan. Alhasil, perusahaan tidak bisa menjamin kualitas pelayanan maupun keamanan konsumen karena pembeli akun driver ojek online bukan merupakan orang yang disetujui oleh perusahaan. 

Apabila diibaratkan, praktik jual beli akun ojek online mirip seperti ujian masuk universitas, yang mana seseorang menyuruh orang lain yang datang dan mengerjakan dengan membawa kartu peserta milik pihak lain. Meskipun berhasil mendapat hasil yang bagus, namun sistem seleksi masuk universitas menjadi rusak karena yang diuji bukan merupakan orang yang mendaftar. Hal tersebut serupa dengan seleksi penerimaan mitra pengemudi ojek online, dimana orang yang telah diverifikasi berbeda dengan orang yang bekerja di lapangan. Oleh karena itu, secara kebijakan internal perusahaan, biasanya praktik jual beli akun driver ojek online dikategorikan sebagai pelanggaran berat karena dapat dianggap merusak sistem dari layanan mereka sendiri. Sanksinya dapat bervariasi, mulai dari peringatan, pemblokiran akun, hingga pemutusan hubungan kemitraan secara permanen. Berdasarkan peraturan internal perusahaan penyedia layanan ojek online, dapat disimpulkan bahwa jual beli akun ojek online tidak diperbolehkan. 

Jual beli akun driver ojek online sendiri merupakan perjanjian jual beli yang keabsahannya diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah, yaitu: sepakat, cakap, hal tertentu, dan kausa yang halal. Jika merujuk pada 4 (empat) syarat tersebut, maka keabsahan perjanjian jual beli yang objeknya merupakan akun driver ojek online dapat dilihat melalui 2 (dua) sisi. Jika dilihat dari sisi kesepakatan, kecakapan, dan objek, dapat dikatakan penjual dan pembeli akun driver ojek online memang saling sepakat. Secara hukum mereka juga cakap dan mampu membentuk sebuah perjanjian dengan objek yang jelas. Pada kasus jual beli akun online, permasalahannya terdapat pada kausa yang halal. Hal tersebut dikarenakan praktik jual beli akun ojek online ini dapat menimbulkan resiko hukum dan kerugian bagi pihak ketiga, dalam hal ini yaitu konsumen sebagai pengguna jasa. 

Jika mengacu pada Pasal 1337 KUHPerdata, disebutkan bahwa:

“suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. “

Artinya, suatu perjanjian dapat dianggap tidak sah secara hukum apabila tujuannya melanggar hukum, bertentangan dengan nilai moral, atau berpotensi untuk merusak tatanan masyarakat. Dalam kasus jual beli akun driver ojek online, terdapat potensi besar bahwa konsumen dapat dirugikan. Bayangkan jika kita naik ojek online, seharusnya kita merasa aman karena percaya bahwa pengemudi sudah melalui proses verifikasi identitas, pelatihan, dan biasanya melalui aplikasi, kita juga dapat melihat penilaian reputasi yang telah diberikan oleh konsumen sebelumnya. Tetapi, pengemudi yang datang ternyata bukan merupakan seseorang yang sesuai dengan foto yang tertera di dalam aplikasi. Hal tersebut dapat merugikan konsumen yang tidak mengetahui latar belakang, rekam jejak, dan hal tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen. Jika sedang tidak beruntung, hal seperti penipuan, pelayanan yang buruk, bahkan bisa terjadi kecelakaan atau tindak kejahatan dapat terjadi. Selain itu, apabila terjadi tindak pidana, pihak perusahaan juga akan kesulitan untuk melacak identitas asli pelaku. Tentunya situasi tersebut berpotensi mengganggu moral dan ketertiban umum, karena berpotensi merugikan banyak pihak. 

Praktik jual beli akun driver ojek online tidak hanya berdampak pada 2 (dua) pihak yang membuat perjanjian jual beli, tetapi juga melibatkan pihak ketiga yang tidak tahu-menahu, namun bisa menjadi korban. Itulah mengapa Pasal 1337 KUHPerdata menjadi dasar yang penting dalam menilai bahwa praktik tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum. Pada kenyataannya, banyak perjanjian yang meskipun cacat secara hukum namun,  tetap berjalan dan dianggap sah selama belum ada pihak yang menggugat ke pengadilan dan pengadilan tidak menyatakan sebaliknya. Artinya, hanya pengadilan yang sebenarnya mempunyai kewenangan untuk menyatakan suatu perjanjian tidak sah atau batal demi hukum. Jadi, selama belum ada putusan yang menyatakan hal sebaliknya atau yang tidak sah atau batal demi hukum, maka perjanjian tetap berlaku di antara para pihak. Hal inilah yang menjadi alasan praktik tersebut tetap terjadi di lapangan walaupun, sebenarnya bermasalah. Sebagai contoh, terdapat 2 (dua) orang sepakat untuk jual beli handphone, namun diketahui ternyata handphone tersebut merupakan hasil pencurian, tetapi para pihak masih tetap dapat bertransaksi. Dari sisi hukum, transaksi tersebut merupakan transaksi yang tidak sah dan merupakan hal yang salah. Status tidak sahnya tersebut perlu ditegaskan terlebih dahulu oleh pengadilan. Dengan demikian, tidak secara otomatis perjanjian tersebut batal hanya karena diketahui telah melanggar hukum. Oleh karena itu, daripada kita berfokus pada sah atau tidak sahnya jual beli akun driver ojek online  ini, akan lebih baik kalau kita berfokus pada dampaknya. 

Berdasarkan yang telah disampaikan sebelumnya bahwa jual beli akun driver ojek online berpotensi menjadi sarana bagi beberapa pihak untuk melakukan tindak pidana. Salah satu kasus tindak pidana tersebut merupakan kasus Aldi Airlangga yang terjadi di Bandung. Kasus tersebut bermula dari seorang pengemudi ojek online yang bernama Aldi Airlangga yang melakukan tindak pidana perampokan terhadap penumpangnya yaitu seorang karyawati bank. Dalam kasus tersebut, Aldi tidak menggunakan akun miliknya sendiri, namun ia menggunakan akun milik orang lain. Alasan Aldi memakai akun milik orang lain adalah karena akun miliknya telah diblokir sehingga dia tidak bisa menggunakan akun miliknya. Berdasarkan kasus tersebut, konsep pertanggungjawaban para pihak terhadap penumpangnya secara internal perusahaan ojek online dapat dilihat melalui hubungan antara 3 (tiga) pihak. Pihak pertama, perusahaan penyedia layanan ojek online seperti Gojek atau Grab, pihak kedua, pemilik akun resmi yaitu driver yang terdaftar, dan pihak ketiga yaitu pembeli akun yang menggunakan akun secara ilegal. 

Ketika pembeli akun yang identitas aslinya tidak tercatat dalam sistem perusahaan penyedia layanan ojek online melakukan kejahatan. Maka, secara data, pelaku kejahatan dalam hal ini pembeli akun tidak tercatat di dalam sistem perusahaan penyedia layanan ojek online, yang tercatat pada sistem adalah pemilik akun asli. Dalam hal ini, pemilik akun asli bisa terseret secara hukum atau setidaknya secara administratif karena akunnya dipakai untuk melakukan pelanggaran. Secara internal, biasanya perusahaan akan menjatuhkan sanksi administratif seperti pemblokiran akun dan mungkin blacklist secara permanen. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah cukup untuk mengatasi praktik jual beli akun driver ojek online. Jika pelanggarannya sudah sampai ke dalam ranah pidana dan apabila pembeli akun terbukti melakukan kejahatan, dia dapat diproses secara pidana. Tetapi, proses penegakan hukumnya lebih rumit karena data atau sistem awalnya tidak mencatat bahwa pelaku yang melakukan tindak kejahatan. Hal tersebut tidak lepas dari pelaku yang adalah pembeli akun dan menggunakan akunnya itu secara ilegal sehingga dia tidak tercatat di dalam data perusahaan. Hal ini tentu dapat menyulitkan proses penelusuran. Maka, praktik jual beli akun ini tidak hanya melanggar aturan saja, tetapi juga menciptakan celah hukum yang membahayakan banyak orang. 

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, praktik jual beli akun driver ojek online berpotensi menjadi sarana bagi beberapa pihak untuk melakukan tindak pidana. Berdasarkan peraturan internal perusahaan penyedia layanan ojek online, sudah jelas bahwa sebatas jual beli akun saja itu tidak diperbolehkan. Tetapi, apabila dari sisi hukum nasional hanya melakukan jual beli akun driver ojek online tanpa disertai kejahatan, tidak serta merta membuat seseorang dapat langsung dipidana, kecuali memang terdapat peraturan khusus yang secara eksplisit melarang dan mempidanakan tindakan tersebut. Tetapi, hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan dalam ranah pidana yang secara langsung mengatur larangan jual beli akun driver ojek online. Namun, bukan berarti pembeli akun driver ojek online kebal terhadap hukum. Pembeli akun driver ojek online tetap dapat dipidana jika kemudian terbukti menggunakan akun tersebut untuk melakukan tindak pidana seperti penipuan, pelecehan verbal, merampok, atau melakukan kekerasan fisik, juga tindakan-tindakan kejahatan lainnya. Sehingga, jika membeli akun tanpa digunakan untuk kejahatan tidak dapat dipidana. Tetapi, apabila akun tersebut dipergunakan untuk melakukan tindak kejahatan, maka pidana dapat dikenakan.

Selain itu, perlu untuk melihat isu jual beli akun driver ojek online tidak hanya dari sisi pelakunya, tetapi juga dari dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat luas, khususnya konsumen sebagai pengguna layanan ojek online. Dalam konteks ini, perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu prinsip utamanya adalah hak atas rasa aman dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa. Maka, ketika konsumen menggunakan aplikasi ojek online, konsumen sebetulnya berhak atas jaminan keamanan dan kejelasan identitas dari pengemudi yang mereka tumpangi. Jika ternyata identitas yang digunakan adalah palsu atau tidak sesuai dengan yang tertera di aplikasi, maka hal ini sebenarnya bisa menjadi indikasi adanya perbuatan yang melawan hukum. Kita dapat merujuk ke Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. 

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa:

Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”. 

Jadi, ketika pihak driver yang menggunakan akun orang lain dan menyebabkan kerugian atau bahkan membahayakan konsumen, terdapat dasar hukum untuk menuntut ganti rugi kepada pihak driver tersebut, baik terhadap pengemudinya atau pihak driver, maupun secara tanggung renteng kepada pemilik akun aslinya. Bahkan, pihak perusahaan seperti Gojek atau Grab dapat dimintai pertanggungjawaban tergantung siapa yang lalai dalam melakukan verifikasi dan pengawasan. Sebagai contoh sederhana, bayangkan jika kita melakukan pemesanan melalui ojek online, lalu yang datang adalah bukan orang yang fotonya terdapat di aplikasi. Hal tersebut tentunya telah menyalahi harapan dari konsumen. Apalagi jika kemudian terjadi sesuatu yang membahayakan, maka konsumen tentu bisa atau berhak melaporkan kejadian ini dan menuntut pertanggungjawaban. Dalam praktiknya saat ini, beberapa perusahaan sudah menyediakan fitur pelaporan untuk situasi semacam ini. Maka dapat disimpulkan dari sisi penumpang yang mengalami kerugian, opsi yang dapat ditempuh adalah melalui gugatan perbuatan melawan hukum kepada pihak driver atau secara renteng kepada pemilik akun ataupun kepada pihak perusahaannya, tergantung siapa yang lalai. 

Dalam perkembangan ojek online, terdapat istilah orderan fiktif, yaitu cara ilegal yang digunakan oleh para driver yang ingin meningkatkan penilaian pribadi sekaligus pendapatannya. Cara yang digunakan oleh para driver adalah dengan memanipulasi pesanan, maka sering disebut dengan istilah orderan fiktif. Pembeli akun driver ojek online yang menggunakan akunnya untuk memanipulasi data melalui mekanisme orderan fiktif dapat dipidana. Merujuk pada Pasal 35 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), dirumuskan bahwa pihak yang secara melawan hukum melakukan manipulasi informasi sehingga terlihat seperti data yang otentik, dapat dipidana. Maka frasa manipulasi informasi ini memang merujuk pada orderan fiktif. Sebelum membahas mengenai Pasal 35 UU ITE, perlu untuk diberikan bayangan mengenai situasi dari orderan fiktif ini. Bayangkan saat kita sedang membuka aplikasi ojek online dan melihat seorang driver memiliki penilaian yang sangat tinggi, sudah memiliki ribuan orderan. Kesan pertamanya tentu sangat meyakinkan. Akan tetapi, bagaimana jika ternyata akun tersebut merupakan hasil dari membeli akun dan sebagian besar orderan yang masuk merupakan orderan fiktif. 

Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa praktik jual beli akun merupakan hal yang berbahaya. Selain itu, terdapat juga pihak yang sengaja membeli akun dengan isi history yang baik dan akhirnya digunakan untuk melakukan orderan fiktif, misalnya pembeli akun memiliki 2 (dua) handphone. Salah satu handphone digunakan untuk menjadi konsumen dan handphone keduanya dijadikan untuk menjadi driver. Driver tersebut menggunakan akun konsumen palsu, lalu dia sendiri yang menerima sebagai driver. Alhasil, tidak ada penumpang yang nyata dan tidak ada juga barang yang dikirim, namun aplikasinya tetap mencatat. Alhasil, driver tersebut terlihat rajin dengan performa yang tinggi. Oleh karena itu, orderan fiktif memiliki tujuan yang memang bermacam-macam, seperti mengejar untuk insentif harian, membangun rating yang tinggi, atau lebih dipercaya oleh konsumen. Padahal, semuanya dibangun di atas data yang dapat dikatakan palsu. Terkadang juga akun ini dijual lagi ke pihak lain lengkap dengan history dan rating palsunya. Sehingga, apabila semakin banyak history yang baik, rating yang baik, harganya juga dapat menjadi semakin tinggi untuk dijual. Di sisi lain, orang yang membeli akun tersebut telah langsung terlihat berpengalaman, padahal dia sama sekali tidak pernah mendapatkan konsumen. Sehingga dapat dibayangkan jika sistem ini dibiarkan. Pihak yang akan paling dirugikan adalah konsumen, perusahaan, dan bahkan driver jujur yang berusaha bekerja dengan benar. 

Dari perspektif hukum, hal ini jelas merupakan pelanggaran seperti yang disampaikan terkait dengan Pasal 35 UU ITE, yang berbunyi 

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum, melakukan manipulasi penciptaan, perubahan, penghilangan, atau perusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”. (cetak tebal oleh penulis)

Berdasarkan ketentuan di atas, melakukan orderan fiktif jelas melanggar ketentuan Pasal 35 UU ITE, karena melakukan manipulasi terhadap data yang ada di aplikasi yang dapat menguntungkan pihak tertentu saja secara tidak sah. Misalkan melakukan orderan fiktif untuk mendapatkan rating yang lebih tinggi atau pendapatan yang lebih banyak tanpa melakukan pekerjaan yang sebenarnya. Selain itu, jika kita melihat Pasal 1338 KUHPerdata, disini juga mengatur mengenai perjanjian yang harus dilakukan dengan itikad baik. Dalam konteks ini, jika terdapat driver yang membeli akun hanya untuk memanipulasi sistem dengan cara seperti itu, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak sah, karena bertentangan dengan prinsip itikad baik dalam perjanjian. 

Tindakan seperti ini bisa sangat merugikan banyak pihak. Dari sisi perusahaan ojek online, sistem rating, dan penilaian yang digunakan untuk menilai pengemudi dapat dirusak juga. Hal tersebut tentunya akan menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap layanan ojek online. Dari sisi pengemudi lainnya, mereka yang berkompetisi dengan cara bekerja jujur dan memberikan layanan terbaik akan merasa dirugikan karena adanya praktik curang yang membuat rating pengemudi lain dapat meningkat tanpa melalui kerja keras yang sebenarnya. Tetapi, saat ini perusahaan penyelenggara layanan ojek online seperti Grab atau Gojek, sudah memiliki algoritma sebenarnya, dan sistem yang cukup ketat untuk mendeteksi adanya penyalahgunaan semacam ini. Sebagai contoh, mereka dapat mendeteksi adanya pattern orderan yang tidak wajar, seperti driver yang tiba – tiba memiliki rating yang sangat tinggi meskipun baru bergabung atau adanya transaksi dengan alamat yang tidak sesuai. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengawasan ini seringkali tidak sempurna, dan ini yang dapat menjadi celah bagi pihak-pihak yang ingin memanipulasi sistem tersebut. Oleh karena itu, tanggung jawab moral dan sosial untuk tidak melakukan kecurangan itu tetap harus diutamakan. 

Berdasarkan pemaparan diatas ada berbagai pembelajaran yang dapat diambil. Pertama, bagi masyarakat yang terlibat dalam dunia ojek online, baik sebagai pengemudi atau konsumen. Penting untuk selalu memahami aturan dan ketentuan yang berlaku di setiap platform yang digunakan. Perjanjian yang dibuat dengan penyelenggara layanan seperti Gojek atau Grab jelas mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Oleh karena itu, pastikan untuk tidak terjebak dalam praktik yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain seperti membeli akun atau membuat orderan fiktif yang dapat merusak sistem rating dan kepercayaan masyarakat umum. Kedua, berhati-hatilah bagi pengemudi yang mungkin tergoda untuk membeli akun atau melakukan kecurangan lainnya. Meskipun dalam jangka pendek mungkin terlihat menguntungkan. Namun, dapat terjadi kerugian dalam jangka panjang, baik secara hukum maupun reputasi akan jauh lebih besar. Lebih baik membangun karir dan reputasi dengan kerja keras dan itikad baik, karena itu adalah investasi yang lebih aman dan berkelanjutan. Ketiga, untuk masyarakat umum, sebagai konsumen, kita berhak untuk mendapatkan layanan yang adil dan berkualitas. Oleh karena itu, apabila merasa dirugikan atau menemukan adanya praktik yang tidak sesuai, jangan ragu untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang atau penyedia layanan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Selain itu, ketika akan menggunakan layanan ojek online, lakukanlah verifikasi identitas pengemudi. Pastikan bahwa akun pengemudi yang mengantar merupakan akun yang memang terdaftar dan sah di platform ojek online. Konsumen juga dapat menggunakan fitur berbagi perjalanan kepada keluarga atau teman demi mendapatkan keamanan tambahan. Dengan pembahasan ini, diharap sobat hukum mendapatkan pencerahan dan saran praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tersedia di:

Spotify for Podcasters

Spotify

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui...