Narasumber: Williams Oey, S.H., LL.M.
Notulen: Azka Muhammad Habib
Kemunculan ojek online (selanjutnya disebut ojol) telah menimbulkan fenomena tersendiri, salah satu fenomena tersebut adalah isu terkait dengan status pekerja yang diharapkan oleh para pengemudi ojol. Bahkan isu tersebut beberapa kali menjadi isu yang dituntut dalam demonstrasi pengemudi ojol belakangan ini. Demonstrasi tersebut berkaitan dengan status para pengemudi ojol. Hal ini dikarenakan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), status para pengemudi ojol memang masih menimbulkan multitafsir. Hal tersebut dikarenakan adanya kerancuan apakah pengemudi ojol dapat dikategorikan sebagai pekerja yang masuk dalam subjek hukum UU Ketenagakerjaan atau tidak.
Jika kita membicarakan tentang pengemudi ojol, maka kita juga berbicara mengenai platform atau aplikasi penyelenggaranya itu sendiri, misalnya gojek, grab, uber, dan lain sebagainya. Platform-platform tersebut merupakan suatu bisnis yang menganut terminologi gig economy. Gig economy adalah model bisnis yang mengikutsertakan orang lain, dalam kasus ini adalah para pengemudi yang terafiliasi dengan penyelenggara aplikasi. Dengan bergabungnya pengemudi ojol dengan penyelenggara aplikasi tersebut, diharapkan mereka dapat memenuhi permintaan yang relatif cepat untuk dapat diselesaikan. Dalam arti lain, penyelenggara aplikasi tersebut sejatinya tidak membutuhkan pekerja, penyelenggara aplikasi hanya membutuhkan sekedar mitra yang bekerja sama untuk menyelesaikan setiap order yang masuk ke dalam aplikasi tersebut. Sebagai konsekuensinya para pengemudi ojol akhirnya disebut sebagai gig worker. Dengan adanya isu gig economy, negara menjadi lebih peduli terkait isu tersebut dikarenakan pendapatan negara berupa pajak yang didapat dari konsep gig economy ini cukup banyak.
Berbicara terkait status dari pengemudi ojol, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu karakteristik dari hubungan kerja yang diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa:
โHubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.โ
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa hubungan kerja harus memenuhi unsur pekerja, upah, dan perintah. Maka dari itu, muncul pertanyaan apakah hubungan antara pengemudi ojol dengan perusahaan penyelenggara memenuhi unsur hubungan kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Untuk dapat mengategorikan seseorang sebagai pekerja atau bukan, maka jelas kita harus melihat apakah seseorang itu memenuhi 3 (tiga) unsur yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan atau tidak.
Secara historis, ketiga unsur tersebut diambil dari definisi yang ada di dalam Pasal 1601 A KUHPerdata yang di dalamnya menyebutkan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pekerja, maka secara mutlak ada syarat kumulatif yang harus dipenuhi dari ketiga unsur itu. Unsur pertama yakni subordinasi, yang menjelaskan bahwa ada ketidakseimbangan antara pemberi kerja dengan pekerja. Dalam hal ini, pemberi kerja memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjanya. Dikarenakan ada posisi yang lebih tinggi, maka pada akhirnya dapat membuat pekerja tersebut diperintah oleh pemberi kerja, sehingga dapat disebut sebagai unsur subordinasi atau unsur perintah. Unsur kedua adalah upah, yakni kontraprestasi dari pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pekerja tersebut terhadap setiap perintah yang diberikan. Unsur yang terakhir adalah unsur pekerjaan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab yang diatur dalam perjanjian kerja. Jika seseorang memenuhi ketiga unsur di atas, maka dengan sendirinya orang tersebut dapat dikatakan memiliki hubungan kerja. Karena pengemudi ojol tidak memenuhi unsur-unsur tersebut maka pengemudi ojol tidak dikategorikan sebagai pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan lebih tepat dikategorikan sebagai mitra.
Untuk membuktikan bahwa pengemudi ojol tidak termasuk ke dalam kategori pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dapat diilustrasikan sebagai berikut. Seorang supir yang bekerja dengan pemberi kerjanya memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Contohnya supir tersebut diperintah untuk mengantarkan si pemberi kerja ke suatu tempat. Perintah tersebut dapat dilakukan oleh pemberi kerja kapan pun sesuai dengan keinginannya. Setelah pekerja tersebut mengantarkannya ke suatu tempat maka ia akan mendapat imbalan berupa upah. Dalam contoh tersebut terlihat jelas bahwa unsur-unsur yang mengategorikan seseorang sebagai pekerja telah terpenuhi. Jika dibandingkan dengan keberadaan pengemudi ojol, apakah dapat dikatakan memenuhi unsur subordinasi atau tidak. Ibaratkan seseorang adalah pengemudi ojol yang mendapatkan pekerjaan berupa order. Apakah pekerjaan tersebut diperintahkan oleh penyelenggara aplikasi atau justru datang dari customer penyelenggara aplikasi tersebut. Selain itu, yang dibayarkan kepada pengemudi ojol bukan berupa upah, melainkan tarif sebagai kontraprestasi. Tarif inilah yang tidak bisa disamakan dengan upah. Terakhir mengenai pekerjaan itu sendiri, penyelenggara aplikasi tidak pernah memberikan perintah untuk memberikan list-list pekerjaan kepada pengemudi ojol, karena pekerjaan tersebut datang dari customer atau dari konsumen yang menggunakan aplikasi tersebut. Dengan tidak terlengkapinya 3 (tiga) unsur pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, maka pengemudi ojol tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja, melainkan sebagai mitra.
Sejatinya jika kita bandingkan dengan isu dari konsep gig economy yang terjadi di luar negeri, maka terdapat suatu perbedaan. Berkaca kepada negara-negara anggota Uni Eropa, mereka memiliki penafsiran yang lebih progresif dan komprehensif terhadap konsep tersebut, di mana mereka menganggap bahwa adanya unsur subordinasi, upah, dan pekerjaan dalam konsep kemitraan. Unsur tersebut muncul karena terlihat adanya kontrol langsung dari penyelenggara aplikasi terhadap pengemudi ojol, bahkan penyelenggara aplikasi benar-benar berfungsi sebagai โmajikanโ yang dapat memerintahkan banyak hal kepada pengemudi ojol. Hal tersebut dapat terlihat dari penentuan upah yang ditentukan secara sepihak oleh penyelenggara aplikasi tanpa keterlibatan pengemudi ojol. Selain itu, pengemudi ojol tidak fleksibel dalam melakukan pekerjaannya karena mereka diwajibkan untuk stand by di lokasi dan waktu tertentu. Maka hal-hal di atas tentu menjadi pertanyaan, sampai sejauh mana negara lain menilai unsur hubungan kerja antara pengemudi ojol dengan penyelenggara aplikasinya. Mahkamah Agung di Spanyol akhirnya menilai apakah pengemudi ojol di Spanyol dapat dikategorikan sebagai pekerja atau tidak. Dengan mempertimbangkan interpretasi dari subordinasi, upah, dan pekerjaan yang diperluas dan lebih progresif, akhirnya Mahkamah Agung di Spanyol mengategorikan pengemudi ojol sebagai pekerja. Bahkan hal ini diperkuat dengan keberadaan European Union Directive yang memberikan legal presumption yang mengategorikan para pengemudi ojol dan platform worker yang bukan hanya bekerja di bidang transportasi ini sebagai pekerja.
Hubungan kemitraan yang didapatkan dari konsep gig economy memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, keberadaan konsep gig economy telah membantu pemerintah untuk dapat mengakomodasi permasalahan pengangguran. Faktanya sampai dengan tahun 2022 sebanyak 3,7 juta orang yang telah terdaftar sebagai pengemudi ojol hanya dalam satu aplikasi. Dengan memperhatikan fakta tersebut, konsep gig economy nyatanya dapat menjadi solusi masalah pengangguran yang ada di Indonesia. Sedangkan dampak negatifnya yakni berkaitan dengan tidak dikategorikannya pengemudi ojol sebagai pekerja, hal tersebut dapat berdampak kepada pengemudi ojol yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan utama. Para pengemudi ojol yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan tersebut harus berkompetisi dengan pengemudi ojol lainnya yang secara jumlah pun sudah sangat banyak. Hal tersebut akan menyebabkan pendapatan yang diterima oleh pengemudi ojol menjadi fluktuatif.
Selain itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 mengkategorikan motor yang digunakan oleh pengemudi ojol tidak dapat dikategorikan sebagai transportasi. Hal ini dikarenakan motor tidak termasuk ke dalam alat transportasi yang dapat memberikan suatu keamanan, sehingga kegiatan usaha dari penyelenggara aplikasi ojek online memang bukan kegiatan usaha transportasi, melainkan kegiatan usaha yang bergerak di bidang teknologi dan informasi. Dengan mempertimbangkan ketentuan di atas, maka muncul suatu konsekuensi yakni yang dikategorikan sebagai pekerja dalam kegiatan usaha tersebut adalah orang-orang yang membuat aplikasi, sedangkan bagi para pengemudi ojol mereka hanya dikategorikan sebagai konsumennya saja. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengemudi ojol hanya dapat dikategorikan sebagai mitra yang tidak memiliki hubungan kerja dengan penyelenggara aplikasinya.
UU Ketenagakerjaan terdapat pengaturan mengenai hak-hak bagi pekerja. Oleh karena pengemudi ojol tidak termasuk ke dalam subjek yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, maka muncul pertanyaan mengenai hak-hak apa saja yang tidak didapatkan oleh pengemudi ojol. Hak-hak yang tidak didapatkan oleh pengemudi ojol antara lain hak untuk memperoleh gaji yang tetap, hak untuk memperoleh upah minimum regional, hak untuk memperoleh pesangon, hak untuk memperoleh akses ke pengadilan hubungan industrial, dan berbagai hak lainnya. Hak-hak tersebut jelas tidak didapatkan oleh pengemudi ojol dikarenakan mereka bukanlah subjek hukum yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, hal tersebut masih dapat diantisipasi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat (selanjutnya disebut Permenhub 12/2019). Dalam peraturan tersebut diatur hak-hak yang bisa didapatkan oleh pengemudi ojol. Misalnya dalam Pasal 11 Permenhub 12/2019 yang menyatakan bahwa penentuan tarif kepada pengemudi ojol harus mempertimbangkan berbagai macam variabel, misalnya mempertimbangkan faktor penyusutan kendaraan, asuransi, pajak, serta melihat ke dalam variabel keberadaan motornya itu sendiri, seperti bahan bakar yang dipakai, perawatan, dan lain-lain. Selain itu, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 16 Permenhub 12/2019 memberikan hak bagi pengemudi ojol untuk memperoleh sosialisasi, akses keadilan ketika terjadi kesewenang-wenangan dari pihak penyelenggara aplikasi. Dengan melihat pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengemudi ojol memang tidak mendapatkan hak-hak yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi pengemudi ojol tetap mendapatkan hak-hak khusus yang diatur dalam Permenhub 12/2019. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengemudi ojol di Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja, hal tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya unsur pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Hubungan kerja antara pengemudi ojol dan penyelenggara aplikasi di Indonesia adalah hubungan kemitraan. Maka dari itu hak-hak yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan juga tidak melekat pada pengemudi ojol. Akan tetapi, pengemudi ojol masih mendapatkan hak-hak khusus yang diatur dalam Permenhub 12/2019. Konsep hubungan kemitraan tersebut merupakan hasil dari konsep gig economy yang merupakan model bisnis dengan mengikutsertakan orang lain. Konsep tersebut menimbulkan dampak positif dan negatif di Indonesia. Selain itu, di luar negeri terdapat perbedaan penilaian hubungan kerja antara pengemudi ojol dengan penyelenggaranya. Negara Spanyol dan beberapa negara anggota Uni Eropa mengategorikan pengemudi ojol sebagai pekerja dikarenakan mereka memiliki penafsiran yang lebih progresif dan komprehensif terhadap konsep gig economy. Negara-negara tersebut beranggapan bahwa konsep gig economy telah memenuhi unsur subordinasi, upah, dan pekerjaan itu sendiri.
Tersedia di: