Constitutional Disobedience Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang

Narasumber: Eugenia Priska Labaran – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR

Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman merupakan salah satu dari 4 (empat) cabang kekuasaan yang ada di Indonesia. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan salah satu Lembaga Negara di Indonesia yang menjalankan fungsi yudikatif. Kewenangan MK diatur dalam  Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang merumuskan: 

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-­Undang terhadap Undang-­Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang­-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Berdasarkan rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, kewenangan untuk menguji Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) terhadap Undang-Undang Dasar merupakan salah satu kewenangan MK dan terhadap pengujian UU tersebut akan dihasilkan suatu putusan MK. Adapun dalam praktiknya terhadap putusan MK mengenai pengujian UU sering kali tidak ditaati oleh para adressat atau pihak yang dituju dalam putusan.[1] Peristiwa tidak menaati atau tidak patuh terhadap putusan MK ini disebut dengan pembangkangan konstitusi atau constitutional disobedience.

Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), membangkang diartikan sebagai tidak mau menurut (perintah), menyanggah, membangkang.[2] Selanjutnya istilah pembangkangan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan membangkang. Berdasarkan hal tersebut, secara etimologis pembangkangan konstitusi dapat diartikan sebagai tindakan tidak taat terhadap konstitusi, yakni UUD NRI 1945. Istilah pembangkangan terhadap putusan MK yang dipersamakan dengan pembangkangan konstitusi harus dilihat dari sisi sejarah pembentukan MK. Pembentukan MK bermula pada amandemen ketiga UUD 1945  yang ditindaklanjuti melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga melahirkan Lembaga Negara bernama MK dengan tugas mengawal pelaksanaan dari UUD NRI 1945.[3] Sebagai Lembaga Negara pengawal pelaksanaan UUD NRI 1945, MK diberi wewenang untuk melakukan pengujian secara materiil maupun formil terhadap UU dan menyatakan terpenuhi atau tidaknya unsur konstitusional dalam suatu UU.[4] Berdasarkan fungsi MK, yaitu menegakkan nilai-nilai konstitusi, tentu putusan MK merupakan cerminan dari nilai konstitusi. Oleh karena itu, pembangkangan terhadap putusan MK dipersamakan dengan pembangkangan terhadap konstitusi. 

Ketidaktaatan atau ketidakpatuhan terhadap putusan MK muncul beberapa kali dalam praktik ketatanegaraan. Pembangkangan terhadap Putusan MK pernah dilakukan oleh 3 (tiga) cabang kekuasaan Lembaga Negara, yakni eksekutif, legislatif hingga yudikatif.[5] Pada akhir 2022, pembangkangan terhadap putusan MK baru-baru ini terjadi saat Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut Perpu Cipta Kerja). Perpu Cipta Kerja diklaim Presiden dan jajarannya adalah output dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang meminta pemerintah untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) melalui proses partisipasi rakyat.[6] Alih-alih memperbaiki UU Cipta Kerja, Pemerintah justru mengeluarkan Perpu Cipta Kerja yang penulis anggap tidak memenuhi kondisi “kegentingan yang memaksa” sebagai salah satu syarat pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Frasa “kegentingan yang memaksa” pada dasarnya tidak memiliki batasan yang jelas, hal inilah yang mendorong dalam pertimbangannya, hakim konstitusi melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 memberikan 3 (tiga) syarat “kegentingan yang memaksa” yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pertama, terdapat keadaan dibutuhkannya penyelesaian masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah belum ada atau terjadi suatu kekosongan hukum maupun UU tersebut tidak cukup memadai. Ketiga, kekosongan hukum yang terjadi tidak dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur biasa karena memerlukan waktu yang lama sedangkan keadaan mendesak memerlukan penyelesaian secepatnya. 

Salah satu Perpu yang pernah muncul di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu No 1 Tahun 2020). Perpu No 1 Tahun 2020 muncul karena masuknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (selanjutnya disebut COVID-19) yang membawa perubahan pada penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) terlebih dalam sektor kesehatan. Akibat pandemi COVID-19 yang mendesak, maka diperlukan suatu Perpu yang mengatur APBN dan segala penyesuaiannya dengan kondisi pandemi tanpa melalui mekanisme pembentukan UU yang membutuhkan waktu lama.  

Selain pembangkangan melalui penerbitan Perpu Cipta Kerja, pembangkangan terhadap putusan MK juga tampak dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang kembali membatasi pengajuan peninjauan kembali (selanjutnya disebut PK) hanya boleh 1 (satu) kali setelah sebelumnya melalui Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 dinyatakan bahwa PK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali. 

Sebagai lembaga peradilan konstitusi yang memegang peran penting, putusan MK pada dasarnya memiliki kekuatan final dan mengikat (final and binding) yang membedakannya dengan putusan lembaga yudikatif lainnya. Berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) yang masih dapat dilakukan upaya hukum berupa PK, putusan MK tidak dapat dilakukan suatu upaya hukum lainnya. Kekuatan putusan MK yang final dan mengikat diatur secara eksplisit dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang merumuskan sebagai berikut: 

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).” 

Berdasarkan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa putusan MK seharusnya bersifat final dan mengikat. Final berarti bahwa tidak ada upaya hukum lainnya untuk melawan putusan yang dikeluarkan MK. Sementara mengikat bermakna bahwa sejak pertama kali diucapkan dalam sidang pleno, putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum.[7] Sifat putusan MK yang mengikat secara hukum bagi seluruh masyarakat dikenal dengan sebutan erga omnes.[8] Selain itu, sifat final putusan MK berarti bahwa putusan MK merupakan upaya hukum pertama (the first resort) sekaligus sebagai upaya hukum terakhir (the last resort) bagi pencari keadilan.[9] 

Melihat beberapa kasus pembangkangan terhadap konstitusi yang pernah terjadi di Indonesia, penulis berpendapat bahwa putusan MK kehilangan kekuatan final dan mengikat dalam praktik ketatanegaraan. Hal ini dinilai semakin genting dengan tidak adanya sanksi terhadap adressat putusan MK sekalipun Lembaga Negara yang melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. Selain ketidakberadaan sanksi, menurut Hamilton, putusan MK dikatakan lemah karena dalam pelaksanaanya sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ lainnya.[10] Pendapat Hamilton juga didukung dengan fakta bahwa sedari awal MK tidak diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk memaksa putusannya dilaksanakan[11] Menurut hemat penulis, ketidakmampuan MK mengawal atau mengeksekusi putusannya disebabkan karena di Indonesia Lembaga Negara memiliki kedudukan yang sederajat dan sejajar satu sama lain, sehingga MK tidak dapat memaksakan pelaksanaan eksekusi putusannya. 

Menurut penulis, pembangkangan yang dilakukan oleh Lembaga Negara patut mendapat perhatian khusus. Hal ini dikarenakan dalam proses pengujian UU, MK harus berhadapan dengan kekuasaan negara lainnya terlebih kekuasaan legislatif dan eksekutif sebagai cabang kekuasaan yang membuat suatu UU.[12] Menurut Maruarar Siahaan yang merupakan mantan hakim MK, Lembaga Negara yang menjadi adressat cenderung mengabaikan putusan MK ketika putusan tersebut dirasa merugikan kepentingan politiknya.[13] Hal ini menjadi sangat disayangkan ketika kekuasaan eksekutif dan legislatif yang seharusnya mengusahakan implementasi putusan MK justru menghambat implementasi putusan MK. Akan tetapi, sebagai sebuah negara hukum, menurut penulis sudah seharusnya konstitusi sebagai hukum tertinggi dijadikan suatu pedoman serta dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Adanya pembangkangan terhadap konstitusi menunjukkan jejak buruk terhadap penegakan konstitusionalisme[14] di Indonesia.[15]

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuatan final dan mengikat putusan MK yang telah diatur melalui peraturan perundang-undangan, tidak memiliki dampak yang kuat dalam praktiknya. Melemahnya sifat final dan mengikat putusan MK tampak dari adanya pembangkangan terhadap putusan MK. Pembangkangan atau ketidaktaatan terhadap putusan MK ini acapkali dilakukan oleh para adressat yakni Lembaga Negara dengan kekuasaan eksekutif bersama legislatif yang merupakan pembentuk UU. Pembangkangan yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif merupakan kemunduran dalam implementasi putusan MK, yang mana seharusnya Lembaga Negara dituntut untuk menjunjung tinggi dan mengimplementasikan putusan yang dikeluarkan. Pembangkangan ini juga dinilai semakin genting karena tidak adanya suatu sanksi yang diberlakukan sekaligus dikenakan pada adressat yang melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. 

Menurut hemat penulis, berkaitan dengan adanya indikasi pembangkangan terhadap putusan MK secara terus menerus, perlu dilakukan suatu upaya yang sifatnya preventif. Upaya preventif ini ditujukan untuk memastikan sejak awal dikeluarkannya suatu UU, tidak terdapat suatu pelanggaran nilai konstitusi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan adanya pengaturan mengenai mekanisme judicial preview.[16] Secara umum, mekanisme pengujian oleh kekuasaan kehakiman dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Judicial preview dan judicial review. Judicial review merupakan mekanisme pengujian UU yang sudah memiliki kekuatan mengikat secara umum. Sementara judicial preview merupakan mekanisme pengujian terhadap Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) yang belum diundangkan secara resmi.[17] Salah satu negara yang menggunakan mekanisme judicial preview adalah Prancis, karena yang diuji oleh ​​la Conseil Constitutionnel adalah RUU yang belum diundangkan oleh Presiden.[18] 

Mekanisme judicial preview belum diatur di Indonesia hingga saat ini, sehingga mekanisme pengujian yang dapat dilakukan oleh MK hanya terbatas pada judicial review. Mekanisme judicial preview guna mencegah pelanggaran nilai konstitusi di Indonesia dapat dilakukan dengan melibatkan MK dalam proses pembuatan suatu UU, terbatas hanya melakukan pengawasan nilai konstitusional dalam suatu RUU. Melalui mekanisme judicial preview ini diharapkan RUU yang nantinya disahkan dan diundangkan oleh Presiden minim atau bahkan tidak sama sekali terdapat pelanggaran terhadap nilai konstitusi. 

Selain upaya preventif, dapat juga dilakukan suatu upaya yang sifatnya represif untuk menghentikan pembangkangan putusan MK sekaligus menegakkan konstitusi. Guna mengatasi adanya constitutional disobedience, perlu dibentuk suatu lembaga negara penunjang atau auxiliary state organ yang dibentuk secara khusus untuk memastikan sekaligus mengawasi pelaksanaan atau eksekusi dari putusan MK yang telah dikeluarkan.[19] Keberadaan lembaga yang menjamin pelaksanaan putusan MK ini dirasa penulis penting, mengingat putusan MK dalam pengujian UU selalu memiliki nilai konstitusional yang perlu dan patut dijaga. Karena itu, perlu dipastikan dan dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan MK, sehingga nilai konstitusional suatu UU tetap terjaga demi menjamin suatu kepastian hukum di masyarakat.

Dasar hukum: 

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226). 
  • Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. 
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Referensi : 

[1] Fajar Laksono Soeroso, “Pembangkangan” terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Yudisial, Volume 6-Nomor 3, Desember 2013, halaman 227. 

[2]  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

[3] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), halaman 94. 

[4]  Saldi Isra, Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional (Depok, PT. RajaGrafindo Persada, 2021), halaman 320.

[5] Aida Martadillah, Putusan MK yang Diabaikan dan Optimalisasi Eksekutorial Putusannya, https://www.hukumonline.com/stories/article/lt63c7962dea035/putusan-mk-yang-diabaikan-dan-optimalisasi-eksekutorial-putusannya  (diakses pada 25 Januari 2023). 

[6] Ibid.

[7]  Johansyah, Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat (Binding), Jurnal Solusi, Volume 19-Nomor 2, Mei 2021, halaman 169. 

[8]  Johansyah, supra note nomor 5, halaman 169. 

[9] M. Agus Maulidi, Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 16-Nomor 2, Juni 2019 ,halaman 340.

[10]  Fajar Laksono Soeroso, supra note nomor 1, halaman 239.

[11]  Fajar Laksono Soeroso, supra note nomor 1, halaman 239.  

[12]  Fajar Laksono Soeroso, supra note nomor 1, halaman 239.

[13]  Fajar Laksono Soeroso, supra note nomor 1, halaman 239.

[14] Konstitusionalisme adalah paham yang menganggap bahwa konstitusi merupakan perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh semua komponen negara. 

[15]  Bactiar, Esensi Paham Konsep Konstitusionalisme dalam Konteks Penyelenggaraan Sistem Ketatanegaraan, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Volume 6-Nomor 1, Maret 2016, halaman 122. 

[16]   Aida Martadillah, supra note nomor 4. 

[17] Alek Karci Kurniawan, Judicial Preview Sebagai Mekanisme Verifikasi Konstitusionalitas Suatu Rancangan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume 11-Nomor 4, Desember 2014, halaman 640.

[18]   Ibid, halaman 641.

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem...

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Penulis: Tiara Nabila Dalam kehidupan sehari-hari tanda tangan bukanlah merupakan suatu hal yang asing. Setiap orang pernah menandatangani dokumen dalam bentuk apa pun. Tanda tangan dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen yang memerlukan persetujuan, dokumen resmi dari...