Build The Empathy With Pancasila

Narasumber : Dr. Debiana Dewi Sudradjat, S.H., M.Kn.

Guru tidak boleh munafik, tidak boleh menggunakan double standard. Jika seorang guru mengajarkan suatu nilai kepada murid-muridnya, Maka guru itu sendiri harus meyakininya dan dalam kehidupan sehari-harinya, secara sungguh-sungguh diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Menjadi Goeroe di Masa Kebangoenan”

By Ir. Soekarno (1963)

Perkataan di atas merupakan perkataan awal yang menginspirasi saya dan yang menjadi dasar pemikiran saya untuk meyakinkan diri saya, apakah saya sudah cukup pantas untuk menjadi seorang pendidik yang diberi gelar kehormatan : GURU?

Dalam menjalankan hobby saya sebagai pengajar, saya pernah menerima sebuah pertanyaan dari salah seorang mahasiswa. Pertanyaan tersebut kira-kira intinya berbunyi: Masih relevankah pelajaran Pancasila diajarkan di Lembaga Pendidikan apalagi di Lembaga Pendidikan Tinggi? Saat mendengar pertanyaan tersebut, terus terang saya lumayan terkejut dan berusaha menebak ke arah manakah mahasiswa tersebut ingin mendengar jawaban. Apakah ini pertanyaan yang murni karena ketertarikan sekaligus keprihatinan yang bersangkutan terhadap keberadaan Pancasila, ataukah pertanyaan ini ditujukan untuk melegalisasi kebosanan sebagian besar kaum milenial terhadap hal-hal teoritis yang bersangkutan dengan Pancasila?

Dengan rasa penasaran yang cukup dalam, saya berusaha memancing mahasiswa yang bertanya tersebut untuk bicara. Meskipun saya sendiri sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan ini dengan pasti, namun saya benar-benar ingin mengetahui latar belakang munculnya pertanyaan ini. Ketika berbicara dengan mahasiswa (yang ditemani oleh beberapa temannya) tersebut, saya sedikit banyak memperoleh gambaran kemuakan para mahasiswa tentang topik yang bersangkutan dengan Pancasila dan Kewarganegaraan, bukan karena mereka muak pada topiknya sendiri, melainkan pada cara penyajiannya. Topik Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut seperti dijejalkan kepada mereka. Mereka tidak perlu paham, mereka hanya harus hafal. Mereka diminta untuk menghafalkan Undang-Undang, mereka diminta untuk menghafalkan pasal demi pasal. Jika kami beruntung, kami bisa mendapat guru yang berusaha menanamkan pengertian tentang Pancasila lewat kasus. Pertanyaannya adalah apakah kita bisa menanamkan Pendidikan tentang Pancasila dengan untung-untungan seperti itu? Apakah cara-cara pengajaran dengan deraan hafalan seperti itu akan menjadi cara pengajaran yang akan dipertahankan seterusnya? Memang mungkin perkataan para mahasiswa tersebut hanya mewakili sedikit sekali suara mahasiswa atau murid yang ada, namun tetap seharusnya tidak diabaikan.

Bertolak dari pembicaraan dengan para mahasiswa tersebut, saya terdorong untuk melakukan beberapa perbincangan dengan anak-anak yang sekolah di tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat atas. Jawaban yang kurang lebih sama pun saya terima dari mereka. Ada yang mengekspresikan secara terbuka, namun ada juga yang masih malu-malu menyatakan ketidaksukaan mereka terhadap mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (karena saat ini Pendidikan Moral Pancasila atau PMP sudah tidak diselenggarakan secara terpisah namun terintegrasi dalam Pendidikan Kewarganegaraan yang dikenal sebagai PKN). Jawaban sederhana yang saya dapatkan dari anak-anak yang masih di Sekolah Dasar antara lain adalah bosan, tidak seru, capek karena harus menghafal atau tidak mengerti apa yang dibilang sama Ibu/Bapak Gurunya. Jawaban anak-anak di Sekolah Menengah Pertama pun tidak bergeser jauh dari jawaban “adik-adiknya” di Sekolah Dasar. Sementara itu, jawaban siswa dan siswi yang ada di bangku Sekolah Menengah Atas sudah lebih terarah, sebagian besar dari mereka bicara tentang kebosanan mereka karena cara guru mereka mengajar yang sangat teoritis. Selain itu juga, keluhan lain yang mereka ucapkan adalah segala sesuatu yang mereka terima terkesan klise dan berulang, serta ada di awang-awang sehingga mereka tidak melihat gunanya mereka mempelajari hal tersebut.

Dari hasil pengamatan di atas, saya dapat melihat bahwa saat ini, banyak pelajar yang menganggap Pancasila sebagai mata pelajaran atau mata kuliah yang “less-popular”. Hal ini menurut saya cukup menyedihkan karena seharusnya mata kuliah yang dianggap “less-popular” ini berperan sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak untuk menghargai dirinya sendiri, menghargai sesamanya, bersyukur kepada Sang Pencipta dan juga mencintai negeri tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

Saya sangat menyadari bahwa tipe generasi milenial dalam belajar sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Generasi milenial ini berusaha menunjukkan apa yang mereka rasakan secara eksplisit tanpa ada maksud menyembunyikannya sama sekali. Selain itu mereka pun menekankan bahwa seringkali mereka baru dapat merasakan ketertarikan mereka terhadap bahan yang mereka pelajari jika mereka merasa hal tersebut relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari, atau ada gunanya dalam kehidupan mereka.

Ada satu momen yang benar-benar mengkonfirmasi pemikiran saya tentang cara membuat para mahasiswa milenial dapat membuka matanya (ini dalam arti yang sebenarnya). Suatu waktu di hari pertama perkuliahan di sebuah kampus, dimana saya harus mengajar mata kuliah Kewarganegaraan di Program Studi Bisnis. Saat memasuki kelas, saya dapat melihat wajah-wajah enggan para mahasiswa saat itu untuk ikut serta dalam mata kuliah ini. Saat itu saya berusaha untuk menyajikan mata kuliah ini dengan memberikan mereka gambaran nyata tentang aplikasi dari mata kuliah ini dalam usaha mereka nantinya. Terbukti, seketika saya mulai menemukan pancaran-pancaran berminat dari sinar mata para mahasiswa. Lalu berlanjutlah berondongan pertanyaan dari mereka yang secara beruntun mereka tanyakan. Hingga tidak terasa 2 jam waktu kuliah telah berlalu, itupun masih banyak mahasiswa yang diam di kelas untuk menunggu saya menyelesaikan tugas administrasi di akhir kelas, karena banyak yang ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada saya. Rata-rata pertanyaan yang mereka ajukan berkaitan dengan kebutuhan bisnis mereka, namun tetap berhubungan dengan Pancasila dan Kewarganegaraan. Di sinilah pikiran saya semakin terbuka, bahwa cara penyajian dan usaha saya untuk mencari titik taut yang paling nyata antara mata kuliah yang saya sajikan dengan dunia bisnis yang mereka tekuni, menjadikan satu pintu masuk utama ke hati dan pikiran anak-anak milenial tersebut.

Menyusun bahan ajar bagi mata kuliah yang “less-popular” seperti Pancasila dan Kewarganegaraan, merupakan tantangan tersendiri bagi setiap orang yang memiliki hobby mengajar seperti saya.Menjadi seorang pengajar mata kuliah yang “less-popular” di sebuah kampus yang memberikan penekanan pada dunia bisnis memang bukanlah hal yang mudah. Demikian juga halnya dengan menjadi pengajar mata pelajaran yang masuk golongan ini, di sekolah-sekolah di Indonesia yang seringkali memiliki cara berpikir yang menganggap anak-anak wajib pandai dalam bidang exacta kalau ingin digolongkan sebagai siswa yang “smart” dan “masuk hitungan”. Hal tersebut benar-benar dirasakan sendiri oleh saya. Sebelum saya menerima untuk menjadi pengajar di bidang ini, saya benar-benar harus “memutar otak” untuk dapat menemukan “pintu” yang tepat untuk dapat membuat bahan ajar yang sesuai dan diharapkan oleh para mahasiswa tersebut. Masih belum cukup pada tahap tersebut, saya pun masih harus menemukan “anak kunci” yang tepat untuk dapat membuka “pintu” tersebut.

Memahami dan menghayati tentang Pancasila sendiri merupakan satu hal. Sementara berusaha mentransfer ilmu yang saya dimiliki atas pemahaman dan penghayatan Pancasila itu sendiri menjadi hal lain yang berbeda. Pemahaman dan penghayatan secara menyeluruh akan menjadi kunci pertama untuk dapat melakukan “transfer of knowledge” dengan baik. Dengan menerapkan sistem pengajaran yang tepat, maka diharapkan hasil yang akan didapatkan pun menjadi optimal. Pembentukan karakter yang diharapkan dari anak-anak bangsa ini belum terlambat untuk dilakukan. Saya mengakui bahwa masih banyak sekali yang harus saya pelajari untuk dapat melakukan “transfer of this knowledge” dengan sempurna, namun semuanya ini adalah sebuah proses yang akan terus berjalan hingga tercapainya tujuan tersebut. Mari kita berjuang bersama.

Terima Kasih.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...