Narasumber: Galuh Candra Purnamasari, S.H., M.H.
Notulen : Nicolas Wianto
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR, DPD Provinsi, dan DPD Kabupaten/Kota (PKPU Nomor 20 Tahun 2018) sempat melarang mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Namun, peraturan tersebut telah diuji materiil di Mahkamah Agung (MA). MA memutuskan untuk membatalkan salah satu pasal yang terdapat frasa “mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg)”. Hal ini dikarenakan ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Persoalan ini menjadi pro-kontra di masyarakat. Problematikanya adalah hanya mantan narapidana koruptor yang dilarang untuk mencalonkan diri, sedangkan mantan narapidana bandar narkoba dan mantan narapidana pelecehan seksual terhadap anak tidak dilarang.
Sebetulnya topik mengenai mantan narapidana ini boleh mencalonkan diri sebagai legislatif sudah merupakan isu yang diangkat sejak tahun 2019. Latar belakang dari topik ini adalah adanya pembatalan Peraturan KPU oleh MA. Sebetulnya, jika kita melihat dari peraturan yang mengatur mengenai persyaratan calon-calon anggota legislatif memang sudah diatur, baik dalam UU Pemilu maupun PKPU Nomor 20 Tahun 2018. UU Pemilu tidak menyebutkan secara tegas bahwa mantan narapidana itu dilarang untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Hal ini terlihat pada Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Meskipun dalam UU Pemilu mengatur bahwa bakal calon anggota legislatif itu harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara dengan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun. Namun, frasa kalimat selanjutnya “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada pihak bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.” Frasa inilah yang menimbulkan berbagai macam penafsiran, termasuk oleh MA.
Peraturan KPU ini diuji ke MA karena peraturan ini dianggap telah membuat norma baru yang tidak diatur di dalam UU Pemilu. Secara ringkasnya, pada akhirnya MA itu melakukan judicial review terhadap peraturan KPU tersebut. Putusan MA mengatakan bahwa peraturan KPU yang melarang mantan narapidana koruptor, bandar narkoba, dan kekerasan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan tidak boleh diberlakukan.
Dihubungkan dengan adanya persyaratan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), berbeda dengan koruptor, bandar narkoba, dan kekerasan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. SKCK sendiri telah lebih jelas diatur, baik dalam UU Pemilu maupun peraturan KPU. Dalam UU Pemilu, tidak menyebut SKCK secara langsung atau eksplisit karena UU Pemilu hanya mengatakan bahwa persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif harus sehat jasmani, rohani, bebas dari penyalahgunaan narkoba. Namun, dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 persyaratan yang sifatnya umum tadi lebih dieksplisitkan lagi. Disebutkan dalam Pasal 8 PKPU Nomor 20 Tahun 2018, bahwa ketika terdapat seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai calon legislatif, maka dia harus melampirkan SKCK tersebut sebagai syarat administrasi. Pertanyaannya adalah sejauh mana fungsi dari persyaratan SKCK ini ketika di sisi lain peraturan mengenai bolehkah mantan narapidana mencalonkan diri sebagai calon legislatif masih dipertanyakan.
Salah satu pertimbangan MA ketika menguji PKPU Nomor 20 Tahun 2018 terhadap UU Pemilu, bahwa PKPU ini melanggar asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, menurut narasumber tidak salah ketika PKPU melanggar hierarki jenis peraturan perundang-undangan karena kedudukan PKPU lebih rendah daripada UU Pemilu. Secara hierarki, PKPU tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Hal yang perlu dilihat dari segi norma yang diatur oleh PKPU maupun UU Pemilu. Norma yang diatur dalam PKPU ketika melarang mantan narapidana korupsi, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkotika untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Oleh sebagian masyarakat, justru hal ini dirasa memberikan rasa keadilan. Sementara, UU Pemilu yang seharusnya dari segi hierarki jenis seharusnya lebih memberikan rasa keadilan, justru memberi celah bagi mantan narapidana koruptor mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MA 46 P/Hum/2018 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa UU Pemilu yang berlaku dan PKPUnya yang diubah. Perlu ditelaah kembali, apakah PKPU yang perlu diubah mengikuti UU Pemilu, atau justru sebaliknya.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 (PKPU Nomor 31 Tahun 2018) merupakan hasil penyesuaian terhadap putusan MA. Jika diperhatikan, perbedaan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dengan PKPU Nomor 31 Tahun 2018 terdapat pada Pasal 4 ayat (3). Sebelumnya, dikatakan bahwa dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka tidak menyertakan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Setelahnya, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Jadi, sebetulnya di sini frasa yang dihapus dalam PKPU yang baru adalah “mantan terpidana korupsi’. Artinya, mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak masih dilarang. Putusan MA ini membuka kemungkinan untuk dikritik karena menurut penilaian narasumber hanya setengah-setengah, yaitu terbatas pada “mantan terpidana korupsi”.
Pada satu sisi, dari segi etika politik bahwa seharusnya mantan narapidana tidak boleh mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Pada sisi lain, dari segi peraturannya saja itu sudah memperbolehkan mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari perspektif hak asasi manusia (HAM), yaitu hak untuk dipilih dan memilih. Namun, perlu diingat bahwa ketika mantan narapidana itu kemudian menggunakan alasan HAM sebagai dasar hak untuk mencalonkan diri, HAM tetap dapat dibatasi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur mengenai pembatasan terhadap HAM dan pembatasan ini diperbolehkan. Pembatasan ini diperbolehkan dengan tujuan untuk menghormati HAM orang lain.
Hak untuk memilih dan dipilih sebetulnya merupakan hak politik yang bisa saja dibatasi oleh negara. Contoh yang paling sederhana, di dalam ruang lingkup pemilihan umum berupa hak untuk memilih, orang yang boleh memilih hanya orang yang berusia 17 (tujuh belas) tahun ke atas. Hal ini merupakan bentuk dari pembatasan. Jika dianalogikan, hak untuk dipilih juga dimungkinkan untuk dibatasi. Bukan berarti hak untuk dipilih merupakan pelanggaran terhadap HAM. Jika alasannya adalah untuk menghormati HAM orang lain dan untuk menciptakan pemilihan umum yang lebih berkualitas, maka pembatasan tersebut diperbolehkan. Pemilihan umum yang berkualitas berarti calon yang dipilih adalah calon yang berkualitas juga.
Perlu diingat pembatasan hak untuk memilih dan hak untuk dipilih harus diatur di dalam undang-undang. Hal inilah yang menjadi permasalahan karena UU Pemilu tidak membatasi hak mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Justru, pembatasannya terdapat pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Pembatasan ini menimbulkan pro dan kontra. Apabila pemerintah ingin mengambil sikap yang tegas untuk membatasi hak-hak mantan narapidana untuk bisa mencalonkan diri sebagai calon legislatif, maka hal yang harus dilakukan adalah dengan mengatur pembatasan tersebut dalam undang-undang. Hal ini mencerminkan ketegasan dari pemerintah.
Sebagai perbandingan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan calon kepala daerah dari mantan narapidana. MK pernah menguji undang-undang tentang pemilihan kepala daerah terhadap UUD 1945 yang permasalahannya mirip dengan isu mantan narapidana mencalonkan diri. Namun, konteksnya bolehkah mantan narapidana mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. MK dalam putusannya mempertimbangkan HAM dan batasan terhadap HAM. MK memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Hanya saja, mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus memiliki waktu jeda selama 5 (lima) tahun. Artinya, setelah 5 (lima) tahun, dia baru boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Menurut narasumber, putusan MK lebih baik karena 5 (lima) tahun ini menjadi waktu bagi narapidana untuk membuktikan diri kepada masyarakat apakah dia sudah bertobat atau belum. Terkait dengan pemilihan calon anggota legislatif, belum ada aturan mengenai waktu jeda untuk mantan narapidana membuktikan diri kepada masyarakat bahwa dia telah berubah atau bertobat.
Peraturan Indonesia memungkinkan untuk mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari segi hukum positif. Namun, perlu adanya peninjauan kembali apakah hak mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif ini perlu untuk dibatasi. Apabila memang pembentuk undang-undang atau pemerintah ingin mengambil sikap tegas untuk membatasi hak mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif, maka yang harus dilakukan harus meninjau kembali UU Pemilu tersebut. Hal ini dikarenakan pembatasan HAM hanya bisa diatur dalam undang-undang, sehingga dengan hal tersebut tidak akan menimbulkan polemik di dalam masyarakat.
Tersedia di: