Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib

Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem reproduksi yang berlangsung setiap satu bulan sekali yang biasa disebut dengan haid.[2] Sebagian perempuan dapat mengalami haid yang disertai rasa sakit atau komplikasi lainnya yang dapat menghambat aktivitas kesehariannya, termasuk pada saat bekerja.[3] Kondisi yang demikian berusaha diakomodir oleh hukum positif di Indonesia, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan melalui keberadaan cuti haid. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan informasi terkait salah satu dari hak pekerja perempuan yakni cuti haid.

Pada dasarnya, setiap pekerja memiliki hak yang dijamin oleh pemberi kerja dan dilindungi oleh negara. Adapun, pekerja perempuan memiliki beberapa hak khusus sehubungan dengan keunikan fisik, psikis, dan biologisnya yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Paragraf 3 tentang Perempuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). Salah satu pelindungan yang diberikan terhadap pekerja perempuan berkaitan dengan waktu kerja bagi perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pekerja perempuan yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan pada pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Hal tersebut berkaitan dengan keamanan pekerja perempuan yang bersangkutan, dikarenakan perempuan kerap kali menjadi sasaran kejahatan yang marak terjadi pada malam hari. Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga mengatur jenis-jenis hak cuti yang khusus dimiliki oleh perempuan seperti cuti melahirkan, cuti keguguran, dan cuti haid. 

Cuti haid adalah hak bagi pekerja perempuan untuk istirahat dari pekerjaannya dikarenakan pekerja yang bersangkutan sedang merasakan sakit yang diakibatkan dari kondisi haidnya. Ketentuan terkait cuti haid diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan sebagai berikut:

“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

Merujuk pada pasal tersebut, hak cuti haid ini memberikan kewajiban kepada pekerja perempuan untuk memberitahukan kepada pengusaha apabila hendak mengajukan cuti haid. Di sisi lain, melalui keberadaan ketentuan mengenai cuti haid maka pengusaha sudah sepatutnya untuk memenuhi hak-hak pekerja perempuan termasuk hak atas cuti haid.[4] Dalam hal seorang pekerja perempuan mengambil hak cuti haidnya, pekerja perempuan tersebut tetap akan mendapatkan upah penuh. Hal ini sebagaimana diatur dalam  Pasal 93 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan yang merumuskan bahwa: 

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: 

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

…”

Berdasarkan ketentuan di atas, pengusaha tetap berkewajiban memberikan upah pada pekerja perempuan yang sedang menjalani cuti haid. Hal ini serupa dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Artinya, tidak ada pemotongan upah bagi pekerja perempuan yang menjalankan cuti haidnya.

Pengusaha yang tidak memberi upah kepada pekerja perempuan yang sedang menjalankan hak cuti haidnya akan mendapatkan sanksi sesuai ketentuan dalam Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.yang merumuskan bahwa: 

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 93 ayat (2), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”

Berdasarkan ketentuan di atas, ditegaskan bahwa pengusaha yang tidak membayarkan upah pekerja perempuan yang sedang  menjalani cuti haid sesuai dengan ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan akan dikenakan sanksi. Hal ini merupakan wujud pelindungan pemenuhan hak cuti haid bagi pekerja perempuan oleh negara.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa pelaksanaan cuti haid diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Akan tetapi, pada kenyataannya perusahaan kerap kali menggunakan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan untuk mempersulit pekerja perempuan mendapatkan hak cuti haid.[5] Perbuatan mempersulit ini dilakukan oleh perusahaan dengan cara mengatur syarat-syarat tertentu bagi pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak cuti haidnya.[6] Sebagai contoh, terdapat perusahaan yang memberikan syarat untuk memperoleh cuti haid bagi perempuan dengan kewajiban menyerahkan surat keterangan dokter.[7] Hal tersebut membuat pekerja perempuan menghadapi 2 (dua) pilihan sulit antara datang bekerja dengan menahan rasa sakit atau mengantre di rumah sakit untuk mendapatkan surat keterangan dokter.[8] 

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerja perempuan memiliki beberapa hak cuti yang berbeda dari pekerja laki-laki yang salah satunya adalah hak cuti haid. Sekalipun pekerja perempuan menjalani cuti haid, pengusaha tetap memiliki kewajiban untuk membayar upah pada pekerja perempuan tersebut. Adapun, cuti haid bagi pekerja perempuan lebih lanjut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam suatu perusahaan. Pengusaha yang tidak memberikan upah pada pekerja perempuan yang menjalankan cuti haidnya akan mendapatkan sanksi sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. 

Dasar Hukum: 

Undang Undang R.I., No. 13 Tahun 2003, Ketenagakerjaan, L.N.R.I. Tahun 2003 No. 39. 

Undang Undang R.I., No. 6 Tahun 2023, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, L.N.R.I. Tahun 2023 No. 41. 

Peraturan Pemerintah R.I., No. 36 Tahun 2021, Pengupahan, L.N.R.I Tahun 2021 No. 46.

Referensi:

[1] Ni Made Rai dan I Nyoman Suyatna, Implementasi Perlindungan Hukum Hak Cuti Haid Terhadap Pekerja Perempuan (Studi pada PT. Bali Camel Safaris’s), 7 Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum. 1, 3 (2019).

[2] Id., pada 4.

[3] Id., pada 4.

[4] Elyana Kartikawati dan Anik Setyo, Penerapan Hak Cuti Haid Pada Tenaga Kerja Perempuan di PT. Sinar Pantja Djaja Semarang, 1 Public Health Perspective Journal. 53, 55 (2016).

[5] Tia Monica Sihotang, Hak Cuti Haid yang Kerap Dirampas Perusahaan dari Perempuan, https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-cuti-haid-yang-kerap-dirampas-perusahaan-dari-perempuan-lt664b6c57bd24e/?page=2.

[6] Id.

[7] Id.

[8] Id.

Baca Juga

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Ilham Restu Ramadhani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan Program Revolusi di bidang agraria yang sering disebut dengan Agrarian Reform Indonesia, salah satu isi dari program tersebut...

Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Narasumber: Olivia Agatha Kusuma S.H., M.H. “Suits” adalah satu serial Netflix terkemuka bergenre hukum. Serial ini berputar pada kehidupan seorang tokoh bernama Mike Ross, yang dikenal sebagai seorang jenius karena memiliki ingatan fotografis. Suatu ketika ia...