Home / Uncategorized / Bagaimana Jika Gagal Membayar Honorarium Advokat?

Bagaimana Jika Gagal Membayar Honorarium Advokat?

Penulis: Alexius Marvel Sasrawan

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang bagi seseorang untuk mengalami kondisi yang memerlukan bantuan dari seorang advokat. Melihat akan kebutuhan tersebut, maka  diperlukan jasa hukum dari seorang advokat untuk menangani kepentingan orang tersebut sebagai klien. Jasa hukum yang diberikan advokat dapat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat). Lebih lanjut, sebagai imbalan atas jasa hukum yang diberikan oleh advokat, maka klien tersebut berkewajiban untuk memberikan honorarium kepada advokat. Walau demikian, dalam realitanya klien berkemungkinan untuk melakukan ingkar janji atau gagal membayar honorarium kepada advokat yang sudah memberikan jasa hukum untuk kepentingan klien. Oleh karena itu, perlu diketahui bagi seorang klien, apabila tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan honorarium, maka terdapat tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang advokat.

Untuk seorang advokat yang memberikan jasa hukum dapat bertindak untuk dan atas nama klien tersebut dalam mewakili kepentingannya, maka harus terlebih dahulu dibuat suatu perjanjian pemberian kuasa antara klien dengan advokat. Pengertian mengenai perjanjian pemberian kuasa dinyatakan dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) bahwa: 

Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.” 

Dalam hal ini, klien yang memberikan kuasa kepada advokat untuk mewakili kepentingannya merupakan pemberi kuasa. Di sisi lain, advokat yang diberikan kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama klien tersebut merupakan penerima kuasa.  Setelah perjanjian pemberian kuasa ditandatangani oleh pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa, masing-masing pihak memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. 

Sebagai penerima kuasa, setelah memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam surat kuasa advokat memiliki hak untuk menerima pembayaran honorarium yang telah disepakati. Akan tetapi, apabila pemberi kuasa tidak melakukan kewajiban dalam membayar honorarium, maka seorang advokat berhak untuk melakukan retensi. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata yang merumuskan mengenai hak retensi:

Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.

Berdasarkan pasal ini, hukum perdata mengakui hak retensi adalah “hak”, bukan kewajiban. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya). Seorang pemilik hak memiliki kekuasaan bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak tersebut. Lebih lanjut,  apabila dikaitkan dengan hak retensi, untuk menggunakan hak tersebut, maka sebaiknya disepakati/diperjanjikan dalam perjanjian pemberian kuasa. Menurut Subekti, hak retensi merupakan hak yang diberikan kepada juru kuasa untuk menahan barang kepunyaan pemberi kuasa, sampai yang terakhir ini memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap dia.[1] Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 1812 KUHPerdata, frasa pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat ditafsirkan secara luas salah satunya berkaitan erat dengan hubungan antara klien dan advokat yang diberi kuasa untuk memberikan jasa hukum kepada klien. Berdasarkan rumusan Pasal 1812 KUHPerdata, advokat sebagai penerima kuasa memiliki hak untuk menahan benda “kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya yang berada ditangannya” untuk menjadi jaminan apabila klien tersebut melakukan wanprestasi atau ingkar janji dalam hal pemberian honorarium yang telah disepakati. Untuk memahami frasa “kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya yang berada ditangannya”, maka akan diberikan contoh ketika advokat tersebut menangani perkara mengenai perselisihan lahan atau bangunan. Dalam menangani perkara mengenai perselisihan lahan atau bangunan perlu dilakukan penyerahan dokumen-dokumen tertentu oleh pemberi kuasa kepada advokat, sehingga dokumen-dokumen yang diserahkan oleh pemberi kuasa adalah objek yang bisa dijadikan objek retensi oleh advokat.[2]

Selanjutnya, dalam melakukan hak retensi terdapat batasan bagi advokat yang diatur dalam Kode Etik Advokat. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai seseorang yang berprofesi sebagai advokat, maka dalam memberikan jasa hukum harus mematuhi UU Advokat dan Kode Etik Advokat. Hal ini dikarenakan UU Advokat dan Kode Etik Advokat memiliki peran untuk kontrol sosial dan prinsip profesional seorang advokat. Lebih lanjut, dalam UU Advokat terdapat kewajiban bagi Advokat untuk mematuhi kode etik profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Advokat bahwa, “Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.” Sehubungan dengan itu, dalam Kode Etik advokat mengatur mengenai penggunaan hak retensi yang dimiliki oleh advokat. Advokat dalam menggunakan hak retensi tetap memiliki batasan-batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf k Kode Etik Advokat Indonesia yang menyatakan bahwa, “Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.” Oleh karena itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Advokat, maka dalam menggunakan hak retensi, seorang advokat wajib tunduk pada ketentuan Pasal 4 huruf k Kode Etik Advokat Indonesia. Akan tetapi, tidak terdapat penjelasan mengenai ukuran “kerugian kepentingan klien” sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf k Kode Etik Advokat Indonesia. Dengan tidak adanya aturan mengenai pelaksanaan teknis hak retensi advokat, maka tidak ada kepastian hukum baik bagi advokat maupun klien.[3] Hal ini mencakup bagaimana cara menahan barang milik klien, batas waktu penahanan barang tersebut, langkah-langkah yang harus diambil jika klien tidak mampu membayar honorarium dan success fee, serta proses pelimpahan warisan jika klien meninggal dunia.[4] 

Lebih lanjut, advokat sebagai penerima kuasa tidak diperbolehkan untuk menjual atau melelang benda milik klien sebagai pemberi kuasa yang dijadikan sebagai objek retensi. Hal ini dikarenakan, Pasal 1812 yang mengatur tentang hak retensi hanya mengatur hak untuk menahan saja, tanpa ada hak untuk menjual, maka advokat tak memiliki hak untuk menjual.[5] Kecuali advokat tersebut diberikan kuasa oleh klien untuk menjual objek retensi tersebut.[6] Akan tetapi, apabila klien tidak melakukan kewajibannya, maka advokat dapat melakukan somasi kepada klien untuk melaksanakan kewajibannya dalam membayar honorarium jasa hukum.[7] Lebih lanjut, apabila advokat sebagai penerima kuasa sudah melakukan hak retensi dan somasi, namun klien sebagai pemberi kuasa tetap tidak melakukan kewajibannya dalam membayar honorarium jasa hukum, maka advokat dapat mengajukan gugatan wanprestasi dan menuntut pembayaran honorarium beserta kerugian yang telah diderita.[8]

Dengan demikian berdasarkan pemaparan diatas, fungsi dari hak retensi adalah untuk mempertahankan hak dari advokat untuk diberikan pembayaran oleh klien. Selain itu, sebagai seorang klien penting untuk mengetahui batasan dari hak retensi hanya sebatas menahan benda milik klien yang berada pada Advokat dan tidak dapat dilakukan pengalihan tanpa kuasa dari Klien tersebut, sehingga hak retensi tidak disalahgunakan oleh Advokat. Lebih lanjut, sebagai seorang klien sangat penting untuk memenuhi kewajibannya dalam memberikan honorarium kepada advokat yang telah memberikan jasa hukum sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa yang disepakati. Dengan memenuhi kewajiban tersebut, klien dapat terhindar konsekuensi negatif seperti retensi atas barang miliknya yang berada di tangan advokat dan potensi gugatan wanprestasi. Di sisi lain, sebagai advokat, harus mematuhi kode etik profesi dan memastikan bahwa hak retensi tidak merugikan kepentingan klien.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesië, (Staatsblad 1847 Nomor 23).

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288).

Kode Etik Advokat Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/.

Referensi:

[1] Subekti, Aneka Perjanjian 150 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995).

[2] Rizki Nugraha, Skripsi: Analisis Ukuran Kewenangan Menahan Dan Menjual Benda Milik Pemberi Kuasa Guna Pelunasan Hutang Pemberi Kuasa 9 (skripsi tidak dipublikasikan, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia).

[3] Ismail Arif Nasution, Pertanggungjawaban Pidana Advokat Yang Menyalahgunakan Hak Retensi (Studi Kasus Perkara No. 210/PID.B/2009/PN.PBR) 43 (25 Oktober 2021) (skripsi tidak dipublikasikan, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia).

[4] Id.

[5] Id., pada xiv.

[6] Id.

[7] Revolis Syah Rizal Wahyu Jonansa, dkk, Implementasi Hak Retensi Dalam Pemenuhan Hak Honorarium Advokat (Studi di kantor advokat Husein Tarang & Partner di Malang), 28 Dinamika. 4853, 4865 (2022).

[8] Puput Suriani, Skripsi: Hak Retensi Advokat Selaku Penerima Kuasa dalam Perjanjian Bantuan Hukum (Studi Kasus Kantor Lembaga Bantuan Hukum dan Perlindungan Konsumen “PERSADA”) 71 (skripsi tidak dipublikasikan, Universitas Medan Area, Medan, Indonesia).