Bagaimana Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21)?

Penulis: Alexius Marvel Sasrawan

Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[1] Sejalan dengan pengertian tersebut, pada prinsipnya pemungutan pajak berarti setiap warga negara yang merupakan Wajib Pajak diwajibkan untuk menyerahkan sebagian harta yang dimiliki sebagai kontribusi untuk membiayai keperluan barang dan jasa bagi kepentingan bersama.

Salah satu jenis pengenaan pajak adalah Pajak Penghasilan Pasal 21 (selanjutnya disebut PPh 21). Adapun PPh 21 adalah pajak yang wajib dibayarkan oleh warga negara Indonesia yang menerima penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh subjek pajak dalam negeri.[2] Masih banyak masyarakat yang merupakan Wajib Pajak PPh 21 tidak mengetahui besaran tarif PPh 21, di mana tarif PPh 21 terkadang mengalami perubahan. Selain itu, Wajib Pajak PPh 21 terkadang juga tidak mengetahui cara perhitungan PPh 21 terutang. Hal ini karena pemotong PPh 21 seringkali hanya memberikan bukti pemotongan pajak dan besaran nominal pemotongan tanpa menjabarkan penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak (selanjutnya disebut DPP). Lantas, siapa saja yang merupakan Wajib Pajak PPh 21 dan bagaimana cara menghitung PPh 21 terutang?

PPh 21 merupakan objek pajak yang harus dibayar oleh pembayar PPh 21 atau disebut sebagai Wajib Pajak PPh 21. Selain pegawai yang bekerja di sebuah perusahaan, diatur bahwa yang menjadi Wajib Pajak PPh 21 adalah orang pribadi penerima penghasilan yang merupakan:[3]

  1. Pegawai;
  2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
  3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
    1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
    2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
    3. olahragawan;
    4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
    5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
    6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
    7. agen iklan;
    8. pengawas atau pengelola proyek;
    9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
    10. petugas penjaja barang dagangan;
    11. petugas dinas luar asuransi;
    12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
  4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
  5. Mantan pegawai; dan/atau
  6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan.
    1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
    2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
    3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
    4. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
    5. peserta kegiatan lainnya.

Setelah mengetahui Wajib Pajak dari PPh 21, pembahasan dilanjutkan dengan membahas besarnya pengenaan pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada negara. Rumus untuk menentukan besaran pajak terutang Wajib Pajak ditentukan oleh persentase tarif pajak dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (selanjutnya disebut DPP) atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak. DPP yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak terutang akan berbeda-beda untuk setiap jenis pajak. Untuk menghitung pajak terutang PPh 21 untuk Wajib Pajak dalam negeri DPP yang digunakan adalah Penghasilan Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP). Perhitungan besaran PKP untuk PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan neto per tahun dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (selanjutnya disebut PTKP).[4] Dalam perhitungan PPh 21 dikenal PTKP yang bertujuan untuk memberikan keringanan bagi masyarakat, di mana peraturan pajak tidak akan memajaki subjek pajak yang memiliki penghasilan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Untuk besaran PTKP dapat berbeda-beda bagi setiap Wajib Pajak karena melihat pada status perkawinan dan jumlah tanggungan Wajib Pajak. Besaran PTKP untuk tahun 2023 diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut UU HPP) yang menyatakan:

Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit:

  1. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
  2. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  3. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
  4. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Berdasarkan aturan mengenai PTKP, maka untuk perhitungan PPh 21 terutang perlu mempertimbangkan status perkawinan dan jumlah tanggungan Wajib Pajak. Dengan adanya PTKP yang diberikan kepada Wajib Pajak, maka akan terdapat perbedaan perhitungan PPh 21 terutang antara Wajib Pajak yang satu dengan yang lainnya yang memiliki penghasilan neto yang sama, hal ini dapat terjadi karena terdapat perbedaan PTKP yang diberikan kepada Wajib Pajak disebabkan oleh perbedaan status perkawinan dan jumlah tanggungan. Perbedaan PTKP yang diberikan kepada Wajib Pajak akan mempengaruhi besaran PKP Wajib Pajak yang digunakan untuk menghitung PPh 21 terutang. Perhitungan PPh 21 terutang dilakukan dengan mengalikan PKP dengan besaran tarif PPh 21 yang diatur dalam Pasal 17 UU HPP, yaitu:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)   5% (lima persen)  
di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)   15% (lima belas persen)  
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)   25% (dua puluh lima persen)  
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)   30% (tiga puluh persen)  
di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)   35% (tiga puluh lima persen)  

Berdasarkan peraturan tersebut dapat dilihat bahwa jenis tarif pajak yang digunakan untuk menghitung PPh 21 adalah tarif progresif sebagai DPP. Tarif Progresif merupakan persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.[5] Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan cara berikut untuk mempermudah perhitungan PPh 21 terutang:

  • PKP = Penghasilan Neto – PTKP
  • PPh 21 = PKP × Tarif Pajak

Untuk mempermudah pembaca memahami perhitungan PPh 21 terutang maka akan dilakukan dengan mengaplikasikan cara yang telah didapatkan, dengan contoh sebagai berikut:

Pada tahun 2023 Tuan A merupakan karyawan di sebuah perusahaan dengan memperoleh gaji bersih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per bulannya. Tuan A sudah menikah dan memiliki 2 anak dengan istri tidak bekerja. Berapa PTKP, PKP, dan PPh 21 Tuan A?

Penghasilan Neto Tuan A pertahun = Rp20.000.000,00 × 12

 = Rp240.000.000,00

PTKP Tuan A → K2

PTKP Tuan A= Rp54.000.000,00 + Rp4.500.000,00 + Rp4.500.000,00 + Rp4.500.000,00

= Rp67.500.000,00

PKP Tuan A= Penghasilan – PTKP

 = Rp240.000.000,00 – Rp67.500.000,00

 = Rp172.500.000,00

PPh 21 Terutang = 5% × Rp60.000.000,00 = Rp3.000.000,00

15% × Rp112.500.000,00 = Rp16.875.000,00

 = Rp3.000.000,00 + Rp16.875.000,00

 = Rp19.875.000,00

Berdasarkan perhitungan tersebut maka Tuan A membayar PPh 21 sebesar Rp19.875.000,00 pada tahun 2023.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa rumus untuk menghitung pajak terutang adalah dengan menggunakan rumus DPP dikalikan tarif pajak dari jenis pajak terutang. DPP untuk PPh 21 adalah PKP. Perhitungan PKP dilakukan dengan mengurangi penghasilan neto dengan PTKP yang diberikan kepada Wajib Pajak. Perhitungan PTKP mengacu pada Pasal 7 ayat (1) UU HPP dengan memperhatikan status perkawinan dan jumlah tanggungan Wajib Pajak. Untuk tarif PPh 21 sendiri pada tahun 2023 mengacu pada Pasal 17 UU HPP.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740).

Referensi:

[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

[2] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Terbaru 2016 (Yogyakarta: Andi, 2016), halaman 197.

[3]Mardiasmo, supra note nomor 2, halaman 201-202.

[4] Ibid., halaman 171.

[5] Ibid., halaman 11-12.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...