Apa yang Terjadi Jika Kota Kosong Menang Melawan Calon Tunggal Dalam PILKADA?

Oleh: Eugenia Priska Labaran

Pada tanggal 27 November 2024, secara bersamaan seluruh Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih akan memberikan hak suaranya dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 (selanjutnya disebut PILKADA Serentak 2024). Dalam rangka menyambut PILKADA Serentak 2024, Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) sejak tanggal 27 Agustus 2024-29 Agustus 2024 telah membuka pendaftaran pasangan calon kepala daerah.[1] Akan tetapi, setelah berakhirnya masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah, KPU menemukan bahwa terdapat calon tunggal dalam PILKADA Serentak 2024 di 44 (empat puluh empat) daerah.[2] Melihat tingginya angka calon tunggal dalam PILKADA Serentak 2024, KPU kemudian melakukan perpanjangan masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah di wilayah yang masih memiliki calon tunggal. Perpanjangan pendaftaran pasangan calon kepala daerah ini berlangsung sejak 2 September 2024-9 September 2024. Sekalipun telah diupayakan perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah bagi daerah yang memiliki calon tunggal, pada akhirnya masih terdapat 37 (tiga puluh tujuh) daerah yang terdiri dari 1 (satu) provinsi dan 36 (tiga puluh enam) kabupaten/kota yang melaksanakan PILKADA Serentak 2024 hanya dengan calon tunggal.[3]

Konsekuensi terhadap adanya calon tunggal dalam PILKADA Serentak 2024 ini kerap kali disebut dengan fenomena kotak kosong.[4] Dalam praktiknya, apabila dalam Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut PILKADA) hanya terdapat satu pasangan calon, maka pasangan calon kepala daerah ini akan dihadapkan dengan lawan berupa kotak kosong. Akibat adanya kotak kosong, menurut Pasal 54C ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU No 1 Tahun 2015) masyarakat dapat menentukan pilihannya antara memilih pasangan calon kepala daerah atau memilih kotak kosong. Melihat fenomena kotak kosong yang akan terjadi di 37 (tiga puluh tujuh) daerah di Indonesia saat PILKADA Serentak 2024, menjadi pertanyaan bagaimana jika perolehan suara calon tunggal tertinggal dari perolehan suara kotak kosong? 

Adanya calon tunggal dalam PILKADA melawan kotak kosong pada mulanya muncul sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa sekalipun hanya terdapat 1 (satu) calon kepala daerah setelah dilakukannya perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah, KPU Daerah tetap harus menetapkan 1 (satu) pasangan kepala daerah untuk maju dalam PILKADA. Hal ini ditujukan demi terlaksananya hak konstitusional warga negara yakni hak untuk memilih dan dipilih sekalipun hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon kepala daerah setelah dilakukan berbagai upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat (1) UU No 1 Tahun 2015. 

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa apabila hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon kepala daerah, menurut Pasal 54D ayat (1) UU No 1 Tahun 2015 dinyatakan bahwa: 

“KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.” (cetak tebal oleh penulis) 

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat terlihat bahwa agar dapat memenangkan PILKADA, pasangan calon tunggal kepala daerah harus memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total suara sah. 

Lebih lanjut, menurut ketentuan dalam Pasal 54D ayat (2) UU No 1 Tahun 2015 dirumuskan pula bahwa: 

“Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.” (cetak tebal oleh penulis)

Apabila merujuk pada pengaturan di atas, ketika pasangan calon tunggal kepala daerah gagal memperoleh suara sah paling sedikit 50% (lima puluh persen), pasangan calon tunggal kepala daerah tersebut dapat mencalonkan diri kembali pada PILKADA berikutnya. 

Apabila merujuk pada Pasal 54D ayat (2) UU No 1 Tahun 2015 yang menggunakan frasa ‘pemilihan berikutnya’, Pasal 54D ayat (3) UU No 1 Tahun 2015 mendefinisikan frasa ‘pemilihan selanjutnya’ dengan menyatakan:  

“Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.(cetak tebal oleh penulis)

Jika memperhatikan ketentuan di atas, maka pada dasarnya terdapat 2 (dua) kemungkinan apabila kotak kosong memenangkan PILKADA Serentak 2024, yakni: 

  1. Diadakan PILKADA ulang pada tahun berikutnya; atau 
  2. Diadakan PILKADA sesuai jadwal berikutnya. 

Dalam hal ini, salah satu cara yang digunakan untuk menentukan PILKADA sesuai dengan jadwal berikutnya adalah melalui keberadaan Peraturan KPU terkait dengan jadwal PILKADA ulang bagi daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong. 

Ketika kotak kosong memenangkan PILKADA menjadi suatu pertanyaan tersendiri terkait dengan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Mengingat dibutuhkannya waktu untuk mengadakan pemilihan ulang, maka solusi yang dilakukan untuk mengisi kekosongan kepala daerah menurut Pasal 54D ayat (4) UU No 1 Tahun 2015 adalah dengan pengangkatan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota hingga penyelenggaraan PILKADA periode berikutnya.[5] Dalam hal ini, menurut Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota (selanjutnya disebut PERMENDAGRI No 4 Tahun 2023), pelantikan penjabat Gubernur akan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan, menurut Pasal 11 ayat (1) PERMENDAGRI No 4 Tahun 2023, pelantikan penjabat Bupati atau penjabat Walikota dilakukan oleh Gubernur. 

Berdasarkan beberapa ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya dalam PILKADA sangat memungkinkan bahwa dalam 1 (satu) daerah hanya terdapat 1 (satu) calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam kondisi hanya terdapat satu pasangan calon daerah kepala daerah, maka pasangan tersebut akan menghadapi lawan berupa kotak kosong. Apabila kotak kosong memenangkan PILKADA, maka akan dilaksanakan pemilihan ulang baik pada tahun berikutnya atau pada periode PILKADA berikutnya. Selama adanya kekosongan jabatan, akan dilakukan pengangkatan dan pelantikan penjabat daerah. 

Dasar Hukum 

Undang Undang R.I., No. 1 Tahun 2015, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, L.N.R.I. Tahun 2014 No. 245.

Peraturan Menteri Dalam Negeri R.I., No. 4 Tahun 2023, Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota, B.N.R.I. Tahun .2023 No.310.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015.

Referensi

[1] Denty Piawai Nastitie, Calon Tunggal Bertambah KPU Dorong Parpol Mengajukan Calonnya,https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/08/30/sebanyak-1518-pasangan-calon-kepala-daerah-mendaftar-di-pilkada-2024?open_from=Search_Result_Page 

[2] Ibid.

[3] Antara News, KPU: Ada 37 pasangan calon tunggal di Pilkada Serentak 2024, https://www.antaranews.com/berita/4353067/kpu-ada-37-pasangan-calon-tunggal-di-pilkada-serentak-2024 (terakhir diakses pada 20 Oktober 2024). 

[4]Ahmad Syarifudin, Mengapa Menang Melawan Kotak Kosong?,https://www.metrouniv.ac.id/artikel/mengapa-menang-melawan-kotak-kosong/ [5] Nur Rohim Yunus, Saat Kotak Kosong Memenangkan Pilkada, 2 Adalah Buletin Hukum & Keadilan. 69, 70 (2018).

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem...