Alternatif Sanksi Pidana Penjara: Pidana Kerja Sosial dan Kaitannya dengan Tokyo Rules

Narasumber: Maria Ulfah, S.H., M.Hum.

“Alternatif Sanksi Pidana Penjara: Pidana Kerja Sosial dan 

Kaitannya dengan Tokyo Rules

Kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang (Banten) pada tanggal 8 September 2021 memang sangat meresahkan, terutama bagi korban dan keluarga korban 🡺 beberapa faktor berpengaruh dari situasi tersebut adalah:

instalasi listrik yang tidak terurus sejak awal berdirinya lapas di tahun 1970an, minimnya standar alat pemadam, tidak ada petugas jaga di blok yang terbakar, serta jumlah Narapidana melebihi dari seharusnya (seharusnya berjumlah 600 orang, namun terisi ± 2.000 orang) dan diurus dengan ± 160 orang pegawai Lapas). 

Grafik pertumbuhan jumlah narapidana di Indonesia (2015-2020) berdasarkan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2020 yang terbit tahun 2021 diketahui bahwa:

Tabel jumlah narapidana di Indonesia (2015-2019) berdasarkan salah satu tulisan ilmiah dalam prosiding konferensi internasional mengenai Law & Human Rights tahun 2020 yang berjudul “Preventing Coronovairus in Overcrowded Prisons in Indonesia” diketahui bahwa:

https://nasional.kompas.com/read/2021/09/09/12381321/data-kepadatan-per-lapas-dan-rutan-se-indonesia

 Hingga September 2021 diketahui bahwa total dari 525 lapas dan rutan yang melaporkan data secara harian ke Kementerian Hukum dan HAM, tercatat 404 di antaranya (setara dengan 77 persen total lapas dan rutan) menampung penghuni melampaui kapasitasnya. 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Data Kepadatan Per Lapas dan Rutan Se-Indonesia”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/09/09/12381321/data-kepadatan-per-lapas-dan-rutan-se-indonesia.

Data Penghuni Kanwil Jawa Barat hingga November 2021 menunjukan lima lokasi yang memiliki jumlah tertinggi di atas 1000 penghuni: Lapas Cikarang (1790), Lapas Cibinong (1454), Rutan Bandung (1430), Lapas Narkotika Bandung (1374), Lapas Karawang (1150)

http://sdppublik.ditjenpas.go.id/analisis/public/grl/bulanan/kanwil/db5e00e0-6bd1-1bd1-913c-313134333039/year/2021/month/11?q=grl/current/monthly/kanwil/db5e00e0-6bd1-1bd1-913c-313134333039/year/2021/month/11

Salah satu sebab terjadinya kelebihan penghuni di lapas dan rutan Indonesia di atas sangat beragam, namun salah satu sebab yang dapat disebutkan adalah banyaknya pengaturan tindak pidana di Indonesia yang melandaskan pada sanksi pidana penjara. Hal ini diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh salah satu peneliti, pada periode tahun 1998 hingga 2014 terdapat 154 aturan berbentuk Undang-Undang (dari total 563) memiliki aturan pidana. Sebagian besar dari 154 aturan tersebut terdapat 654 tindak pidana (atau sejumlah 91.34%) yang menggunakan penjara sebagai sanksi pidana.

Jumlah pengaturan tindak pidana dengan sanksi pidana penjara yang begitu tinggi dari data di atas, maka permasalahan jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rutan menjadi isu yang terus bergulir setiap waktu di Indonesia.

Sanksi pidana baru ada dalam Pasal 65-66 RUU KUHP September 2019. Beberapa sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan dalam Pasal 10 KUHP masih tampak di dalamnya, seperti pidana mati yang sellau diancamkan alternatif serta pidana penjara. 

Pidana kurungan adalah sanksi pidana yang dihapuskan dalam RUU KUHP. 

Beberapa sanksi pidana baru yang muncul dalam RUU KUHP September 2019 adalah:

pidana pokok 🡺 pidana pengawasan/ probation, pidana kerja sosial/ community service order. Keduanya sama-sama berlaku sebagai alternatif dari pidana penjara yang diancam paling lama 5 tahun atau dikenal sebagai pidana penjara jangka waktu pendek.

Alternatif ini tidak dimaksudkan agar kondisi rutan maupun lapas menjadi lebih lowong, tetapi untuk menunjukkan bahwa sanksi pidana harus diberikan sesuai peruntukkanya sebagaimana sejalan dengan tujuan pemidanaan yang tidak lagi bersifat punitif, namun pada rehabilitatif (di mana sanksi pidana tidak hanya berfokus pada pebuatan, namun juga berorientasi pada pelaku, korban, serta masyarakat). Apabila dari persyaratan tindak pidana yang ada lebih sesuai terpidana dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial, maka jangan memberikan sanksi pidana penjara yang tidak diperlukan. 

Pengenaan sanksi pidana yang sesuai tersebut ditujukan juga agar terpidana dapat dibantu untuk: 

  • membebaskan diri dari rasa bersalah, 
  • secara aktif tetap menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar,
  • (khusus pidana kerja sosial) berinteraksi, berperan serta melakukan hal bermanfaat kepada masyarakat untuk terpidana meningkatkan kepercayaan diri dan mengembangkan tanggung jawab sosial.

Perbedaan antara pidana pengawasan dan pidana kerja sosial adalah: pidana pengawasan dikenakan paling lama sama dengan pidana penjara yang tidak diancamkan lebih dari 3 tahun. Sedangkan pidana kerja sosial dikenakan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam, pelaksanaannya dapat diangsur paling lama 6 (enam) bulan dengan memperhatikan kegiatan Terpidana dalam menjalankan pekerjaannya dan/atau kegiatan lainnya. Pidana kerja sosial juga dapat digunakan sebagai alternatif dari sanksi pidana denda ringan (denda kategori II RUU KUHP yakni paling banyak 10 juta Rupiah).

—-

pidana tambahan 🡺 pembayaran ganti rugi, pemenuhan kewajiban adat setempat. Pembayaran ganti rugi kepada Korban atau ahli waris dapat dikenakan oleh Hakim sebagai kewajiban terpidana. Lalu pemenuhan kewajiban adat setempat dikenakan apabila terdapat pemenuhan ketentuan mengenai tindak pidana adat dalam Pasal 2 ayat (2) RUU KUHP walaupun tidak dicantumkan sebagai sanksi pidana dalam perumusan tindak pidana.

—-

Salah satu jenis sanksi pidana pokok baru yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini ialah pidana kerja sosial (community service order). Mengapa pidana kerja sosial? Hal ini karena mengingat tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51-52 RUU KUHP sebagai ius constituendum yang terdapat general prevention, rehabilitasi, special prevention, serta keunikan bahwa terpidana bekerja sosial di masyarakat dalam suatu periode waktu tertentu TETAPI tidak dibayar dan bukan juga sebagai kerja paksa. Dengan demikian, tidak boleh ada hal bersifat komersial dalam sanksi pidana ini.

—-

Tokyo Rules adalah soft law tidak mengikat. Tokyo Rules sebagai salah satu instrumen internasional yang bukan berbentuk perjanjian (dapat berbentuk Pedoman/ Guidelines, Prinsip/ Principles, Deklarasi/ Declarations, Kode Praktik/ Codes of Practice, Rekomendasi/ Recommendations, atau Program/ Programmes), bertujuan untuk mempromosikan “norma-norma/ norms” yang diyakini baik. Oleh karena itu, Tokyo Rules bersifat umum, digunakan secara universal, serta dapat ditentukan kemudian menjadi bagian dalam perjanjian atau dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional.

Tokyo Rules adalah Resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 45/110 tanggal 14 Desember 1990 tentang Standard Minimum Rules for the Non-custodial Measures yang menekankan bahwa sanksi pidana penjara sebagai upaya terakhir, lebih diutamakan menggunakan tindakan/ sanksi non-penjara yang terdapat keseimbangan hak pelaku, hak korban, serta kepedulian masyarakat. PBB melalui Tokyo Rules bermaksud menyatakan bahwa tujuan umum dari pemberian sanksi non-penjara ialah adanya alternatif sanksi efektif bagi pelaku tindak pidana (individualizing sentencing) serta aparat penegak hukum berkemungkinan memberi sanksi pidana yang memperhatikan kepentingan pelaku (untuk tetap belajar, berinteraksi dengan orang lain, maupun bekerja) sesuai perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sanksi non-penjara memiliki kekhasan sebagai prevensi bagi masyarakat dari tindak pidana dan sebagai represi bagi pelaku untuk dihukum secara adil serta diperhatikan hak-haknya. Tujuan utamanya ialah melawan tindak pidana tanpa harus memberikan sanksi pidana penjara (tanpa pembatasan kemerdekaan pelaku/ insolation measures).

Majelis Umum terdiri dari semua Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, masing-masing memiliki satu suara. Majelis Umum PBB tidak memiliki kekuasaan legislatif, sehingga produk yang dihasilkannya (termasuk Tokyo Rules) pada dasarnya hanya rekomendasi. Seiring waktu substansi dari rekomendasi dalam suatu Resolusi Majelis Umum PBB dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional serta dalam kasus-kasus khusus tertentu, mereka juga dapat mempunyai akibat hukum.

Tokyo Rules adalah rekomendasi yang telah diterima sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan Tokyo Rules dalam United Nations Rules for the Treatment of Women Prisoners and Non-custodial Measures for Women Offenders (Bangkok Rules) yang diterbitkan sebagai Resolusi Majelis Umum PBB Desember 2010 serta United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules) yang diterbitkan sebagai Resolusi Majelis Umum PBB Desember 2015.

Selain itu, Tokyo Rules juga telah digunakan beragam wilayah di dunia, pada tahapan- tahapan sistem peradilan pidana. Beberapa di antaranya adalah New Zealand, Jerman, Costa Rica, Inggris & Wales, Malawi, Ghana, El Savador, Uruguay, Kazakhstan, Nigeria. Penerapan Tokyo Rules bervariasi di seluruh dunia dan memberikan alternatif positif untuk sanksi pidana penjara. Khusus mengenai pidana kerja sosial telah berhasil dilakukan di Zimbabwe, Swedia, Kenya.

Prof. Minoura Satoshi (bagian dari United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures-UNAFEI) berpendapat bahwa Tokyo Rules dalam wilayah Asia dapat dilihat dalam tiga klasifikasi. Klasifikasi pertama ialah negara dengan kerangka hukum yang diimplementasikan secara baik seperti Jepang, Filiphina, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand.

Kedua puluh dua hal di atas adalah standar atau pedoman dari Tokyo Rules yang minimal ada untuk menerapkan sanksi non-penjara, termasuk sanksi pidana kerja sosial. Melihat pada ketentuan Pasal 65-66 serta Pasal 85 RUU KUHP terkait pidana kerja sosial yang dihubungkan dengan kedua puluh dua hal tersebut, maka tampak hanya tujuh hal yang telah diatur secara umum dalam RUU KUHP (poin 1, 4, 6, 9, 12, 13, 14) dan banyak hal lainnya yang belum muncul.

Lima hal penting untuk diperhatikan sebagai pedoman/ standar dalam pengaturan maupun penggunaan pidana kerja sosial di Indonesia pada masa mendatang berdasarkan Tokyo Rules:

  1. Ketika pelatihan, staf harus dijelaskan mengenai tanggung jawab yang perlu bekerjasama dan mengkoordinasikan kegiatan dengan beragam instansi dalam rangka merehabilitasi pelaku, menjamin hak-hak pelaku, dan melindungi masyarakat. Pelatihan harus mencakup pula instruksi sanksi pidana kerja sosial, tujuannya, dan penerapannya. Setelah resmi bertugas, staf harus memelihara dan meningkatkan pengetahuan serta kapasitas professional dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Fasilitas harus disediakan untuk mencapai kesemuanya. (ketentuan 16.1-16.3)
  2. Partisipasi publik harus didorong karena menjadi sumber daya utama dan salah satu faktor terpenting dalam meningkatkan ikatan antara pelaku, keluarga, dan masyarakat. Hal itu seharusnya untuk melengkapi sistem peradilan pidana dan untuk menjadi kesempatan anggota masyarakat berkontribusi melindungi masyarakat itu sendiri. (ketentuan 17.1-17.2)
  3. Bagian penting dari perencanaan adalah upaya untuk melibatkan badan publik dan swasta dalam organisasi serta penelitian sanksi pidana kerja sosial bagi pelaku. Penelitian tentang masalah yang dihadapi pelaku, praktisi, masyarakat, dan pembuat kebijakan harus dilakukan secara teratur. Mekanisme penelitian dan informasi harus dibangun dalam sistem peradilan pidana untuk pengumpulan dan analisis data serta statistik pelaksanaan pidana kerja sosial bagi pelaku. (ketentuan 20.1-20.3)
  4. Program pidana kerja sosial harus direncanakan secara sistematis dan dilaksanakan sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana dalam proses pembangunan nasional. Evaluasi rutin harus dilakukan dengan tuuan untuk mengimplementasikan pidana kerja sosial lebih efektif. Tinjaun berkala harus dilakukan untuk menilai tujuan, fungsi, dan efektivitas pidana kerja sosial. (ketentuan 21.1-21.3)
  5. Mekanisme yang sesuai harus dikembangkan pada berbagai tingkat untuk memfasilitasi pembentukan hubungan antara layanan yang bertanggung jawab untuk pidana kerja sosial, baik pemerintah maupun non-pemerintah di bidang-bidang seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan tenaga kerja, dan media massa. (ketentuan 22.1)

Peraturan pelaksana yang dimaknai dalam Ketentuan Penutup RUU KUHP haruslah mencakup hingga pengaturan lebih lanjut ketentuan pidana kerja sosial sebagai sanksi pidana baru. Hal itu penting karena mengingat banyak hal dari kedua puluh dua hal Tokyo Rules yang disyaratkan sebagai standar minimal untuk sanksi pidana kerja sosial belum muncul dalam RUU KUHP. Peraturan pelaksana yang dimaksudkan dapat berupa Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pidana Kerja Sosial. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah yang akan dibuat di masa mendatang penting mempertimbangkan korelasi kedua puluh dua hal Tokyo Rules yang telah disebutkan di atas dengan negara Indonesia dan kemudian mengaturnya secara matang agar dapat diimplementasikan oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...