Penulis: Patricia Daniella Chandra




Dalam melakukan transaksi jual beli Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut HAT)[1], syarat wajib yang harus terpenuhi sebagai bukti adanya peralihan HAT adalah Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB). Akan tetapi, seringkali terdapat kendala-kendala yang membuat AJB tidak dapat dibuat oleh penjual dan pembeli. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah:[2]
- Belum terdapat pelunasan atas objek jual beli berupa HAT;
- Berkas administrasi berupa surat/dokumen objek jual beli berupa HAT yang belum lengkap;
- Belum dapat dilakukannya penguasaan objek jual beli oleh penjual maupun pembeli; atau
- Belum terdapat kesepakatan terkait dengan harga atau nominal objek jual beli antara penjual dan pembeli.
Guna menyiasati kendala-kendala yang menyebabkan AJB tidak dapat terbentuk, maka dibuatlah suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB). Sekalipun demikian, dalam praktiknya masih banyak masyarakat yang keliru dengan beranggapan bahwa pengalihan hak atas tanah cukup dengan PPJB.
Anggapan bahwa PPJB seringkali dianggap cukup untuk membuktikan adanya peralihan HAT terbukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 592/Pdt.G/2019/PN Dps (selanjutnya disebut Putusan PN Denpasar No. 592/Pdt.G/2019/PN Dps). Dalam kasus ini, Tuan T membeli tanah dengan Sertifikat Hak Milik (selanjutnya disebut SHM) No. 12001 dan No. 12012 dari pemilik sebelumnya menggunakan PPJB di bawah tangan. Meskipun pembayaran lunas, Tuan T tidak pernah menandatangani AJB di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Akibatnya, secara hukum, kepemilikan tanah tersebut masih atas nama pemilik pertama. Masalah muncul ketika Tuan T kemudian menjual kembali tanah tersebut kepada Nyonya S melalui Akta PPJB No. 04. Tuan T menganggap PPJB sudah cukup untuk membuktikan peralihan HAT, padahal secara hukum, kepemilikan baru beralih setelah ditandatanganinya AJB. Akibatnya, SHM yang masih atas nama pemilik sebelumnya membuat Tuan T tidak berhak menjual tanah tersebut kepada Nyonya S. Kasus ini menyoroti kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya AJB sebagai bukti sah peralihan HAT, yang menjadi akar permasalahan dalam sengketa ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui perbedaan PPJB dan AJB, agar masyarakat mengetahui mana yang sebenarnya bisa menjadi bukti dalam pengalihan HAT.
AJB adalah suatu akta otentik yang dibuat dihadapan PPAT, memuat hak dan kewajiban para pihak, di mana pihak penjual menyerahkan HAT kepada pihak yang membeli.[3] Penjelasan mengenai akta otentik dirumuskan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) yang menjelaskan bahwa:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.”(cetak tebal oleh penulis)
Berdasarkan isi pasal tersebut, maka akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibentuk oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Lebih lanjut, kewajiban peralihan HAT melalui AJB ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, PPJB berdasarkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman didefinisikan sebagai:
“PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tinggal dan rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.” (cetak tebal oleh penulis)
Dari pengertian PPJB di atas, dapat disimpulkan bahwa PPJB adalah perjanjian pendahuluan yang memuat kesepakatan jual beli rumah atau satuan rumah susun sebelum terjadi peralihan HAT secara hukum melalui AJB. Pada dasarnya, PPJB dan AJB merupakan dokumen yang berkaitan dengan urusan pertanahan (khususnya dalam transaksi jual beli tanah), namun keduanya memiliki sejumlah perbedaan. Melalui tulisan ini, penulis akan menjabarkan perbedaan antara PPJB dan AJB dari berbagai sudut.
- Perbedaan antara PPJB dengan AJB dari segi fungsi masing-masing akta
PPJB berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan untuk mengikat para pihak sebelum melakukan perjanjian pokoknya, serta berperan dalam mengakhiri hubungan hukum antara para pihak, apabila seluruh ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut telah dipenuhi sepenuhnya.[4] Di sisi lain, fungsi AJB adalah sebagai bukti sah pengalihan HAT sebagai syarat yang diperlukan untuk pengajuan pendaftaran peralihan hak ke kantor pertanahan setempat atau yg lebih dikenal dengan istilah balik nama.[5] Dengan selesainya proses balik nama, maka hak yang melekat pada tanah dan/atau bangunan telah berpindah dari penjual ke pembeli. PPJB yang dibuat sebelum dibuatnya AJB hanyalah berfungsi untuk mengikat para pihak yang ingin melakukan transaksi jual beli HAT, sedangkan sebagai bukti peralihan HAT dibutuhkan AJB. Sebagai ilustrasi, A berencana membeli HAT milik B, namun A belum memiliki cukup uang untuk pelunasan atas objek jual beli berupa HAT. Agar A dan B tetap terikat dalam rencana jual beli itu, mereka membuat PPJB. Setelah A membayar lunas, maka AJB dibuat sebagai bukti resmi bahwa HAT sudah beralih dari B ke A.
- Perbedaan antara PPJB dengan AJB yang dilihat dari isi masing-masing akta
Isi dari PPJB sebagai perjanjian pendahuluan umumnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat yang tergantung pada kesepakatan para pihak, sebagai prasyarat untuk memastikan sahnya pelaksanaan perjanjian pokok.[6] Sementara itu, substansi dari AJB telah ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[7] Muatan yang harus ada di dalam AJB diatur dalam Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang secara eksplisit menetapkan muatan akta-akta PPAT, termasuk juga AJB. Ilustrasi untuk menggambarkan hal di atas adalah ketika A ingin membeli tanah dari B, kemudian B ingin membuat PPJB yang isinya berupa kesepakatan dengan A untuk segera melakukan pembayaran, berisi juga mengenai nominal yang perlu dibayar oleh pihak A, dan juga jangka waktu yang diberikan kepada pihak A untuk segera melunasi pembayaran. Setelah isi dari PPJB telah dipenuhi, kemudian dibuatlah AJB di hadapan PPAT, dengan berisi muatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Perbedaan antara PPJB dengan AJB dilihat dari sisi waktu pembuatannya
Dalam hal waktu pembuatannya, PPJB dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokok, yaitu AJB.[8] Pada tahap pembuatan PPJB, peralihan HAT antara penjual dan pembeli belum terjadi.[9] Sebaliknya, AJB dibuat setelah seluruh persyaratan dalam pelaksanaan jual beli tanah terpenuhi, dengan kata lain setelah PPJB dianggap telah terpenuhi seluruhnya.[10] Pembuatan AJB mengakibatkan adanya peralihan HAT.[11] Hal tersebut menyebabkan kedudukan hukum PPJB lebih lemah dibandingkan AJB, karena PPJB tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk peralihan HAT.[12] Sebagai ilustrasi, A dan B sepakat melakukan jual beli tanah. Seharusnya mereka bisa langsung membuat AJB, namun dikarenakan surat-surat tanah yang dimiliki oleh B sebagai penjual belum lengkap, mereka menandatangani PPJB terlebih dahulu sebagai pengikatan dalam rencana jual beli yang akan A dan B lakukan. Setelah semua syarat terpenuhi barulah mereka membuat AJB dan pada saat itu juga terjadi peralihan HAT dari B kepada A.
- Perbedaan antara PPJB dengan AJB dari segi bentuk akta
Pada dasarnya, PPJB tidak harus dibuat dalam suatu bentuk akta otentik. PPJB dapat dibuat dalam bentuk akta otentik maupun dibuat di bawah tangan, tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan para pihak.[13] Untuk pengertian dari PPJB di bawah tangan diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata yang merumuskan bahwa akta bawah tangan merupakan tulisan-tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Di sisi lain, AJB wajib dibuat dalam bentuk akta otentik yang bentuk dan substansinya telah ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[14] Sebagai ilustrasi, A dan B sepakat untuk melakukan jual beli tanah. Akan tetapi, proses jual beli HAT belum bisa dilanjutkan sepenuhnya, sehingga A dan B membuat PPJB terlebih dahulu untuk mengikat A sebagai pembeli atas tanah yang diperjanjikan. A merasa cukup membuat PPJB di bawah tangan dan B menyetujuinya, sehingga PPJB hanya ditandatangani berdua tanpa melibatkan notaris. Setelah semua syarat terpenuhi, mereka membuat AJB, yaitu akta otentik yang sah menurut hukum. Pada saat AJB ditandatangani, hak atas tanah secara resmi berpindah dari B kepada A.
- Perbedaan antara PPJB dengan AJB dari segi pejabat yang berwenang
PPJB pada dasarnya dapat dibuat di bawah tangan, namun bila ingin dibuat dalam bentuk akta otentik wajib dibuat dihadapan notaris. pengertian mengenai notaris, diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” (cetak tebal oleh penulis)
Sedangkan untuk pembuatan AJB, pembuatannya wajib dibuat dan ditandatangani dihadapan PPAT. Pengertian PPAT berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016, menyebutkan bahwa:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai HAT atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.” (cetak tebal oleh penulis)
Ilustrasi mengenai pejabat berwenang dapat dilihat ketika A dan B sepakat untuk melakukan jual beli tanah. Mereka membuat PPJB di hadapan notaris, sebagai pejabat yang berwenang membuat PPJB sebagai akta otentik. Setelah semua syarat terpenuhi, mereka membuat AJB di hadapan PPAT karena menurut peraturan perundang-undangan, PPAT yang berwenang membuat akta jual beli tanah yang sah sebagai bukti peralihan HAT.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa PPJB dan AJB merupakan akta yang berkaitan dengan peralihan HAT, namun memiliki karakteristik yang berbeda. Pertama, dari segi fungsi, PPJB merupakan perjanjian pendahuluan, sedangkan AJB merupakan perjanjian pokok untuk peralihan HAT. Kedua, dari segi isi, PPJB memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan AJB, sedangkan AJB memuat bukti sah terjadinya pengalihan HAT. Ketiga, dari segi waktu, PPJB dibuat sebelum dibuatnya perjanjian pokok(AJB), sedangkan AJB dibuat setelah semua syarat jual beli telah terpenuhi. Keempat, dari segi bentuk, PPJB dapat berupa akta otentik maupun di bawah tangan, sedangkan AJB wajib berbentuk akta otentik. Kelima, dari segi pejabat yang berwenang, PPJB dibuat di hadapan notaris, sedangkan AJB di hadapan PPAT.
Perbedaan | PPJB | AJB |
Fungsi | Perjanjian pendahuluan | Perjanjian pokok |
Isi | Memuat kesepakatan para pihak mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan perjanjian pokok. | Muatan yang harus ada di dalam AJB diatur dalam Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah |
Waktu pembuatan | Sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokok(AJB), sehingga belum terjadi peralihan HAT dari penjual kepada pembeli | Sesudah memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual beli tanah. Pembuatan AJB menyebabkan adanya peralihan HAT dari penjual kepada pembeli |
Bentuk | Bisa akta otentik dan bisa dibuat di bawah tangan | Wajib dibuat dalam bentuk akta otentik |
Pejabat berwenang | Dibuat di hadapan notaris, bila berbentuk akta otentik | Dibuat di hadapan PPAT |
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang Undang R.I., No. 5 Tahun 1960, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, L.N.R.I. Tahun 1960 No. 104.
Undang-Undang R.I., No. 2 Tahun 2014, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, L.N.R.I. Tahun 2014 No. 3
Peraturan Pemerintah R.I., No. 24 Tahun 1997, Pendaftaran Tanah, L.N.R.I. Tahun 1997 No. 59.
Peraturan Pemerintah R.I., No. 24 Tahun 2016, Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, L.N.R.I. Tahun 2016 No. 120.
Peraturan Pemerintah R.I., No. 12 Tahun 2021, Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, L.N.R.I. Tahun 2021 No. 22.
Peraturan Kepala BPN R.I., No. 8 Tahun 2012, Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Berita Negara R.I. Tahun 2012 No. 851.
Referensi:
[1] Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, HAT yang dimaksud antara lain:
- hak milik;
- hak guna usaha;
- hak guna bangunan;
- hak pakai;
- hak sewa;
- hak membuka tanah;
- hak memungut hasil hutan;
- hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
[2] Gusti Bagus Gilang Prawira, Yosafat Prasetya Nugraha, Agus Sugiarto, Kedudukan Hukum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam Transaksi Jual Beli Tanah, 11 Jurnal Education and Development (JED). 270, 272 (2023).
[3] Anggelina Nadya Permata, Fitri Nur Sukmawati, Camelya Bella Saputri, Fiorena Gita Susmayanti, Risma Sari Cantik Juliatin, Devina Allysavitri, Bintang Ulya Kharisma, Keabsahan Perjanjian Jual-Beli Tanah Yang Dilakukan Dihadapan PPAT Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata, (Madiun: Proceeding of Conference on Law and Social Studies Fakultas Hukum Universitas PGRI Madiun, 2023), halaman 3.
[4] Rifky Anggatiastara Cipta, Ngadino, Adya Paramita Prabandari, Akta Pengikatan Jual Beli Tanah Sebelum Dibuatnya Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, 13 NOTARIUS. 890,896(2020).
[5] Id., pada 903.
[6] Id., pada 898.
[7] Id., pada 900.
[8] Id., pada 896.
[9] Gusti Bagus Gilang Prawira, Yosafat Prasetya Nugraha, Agus Sugiarto, supra catatan no. 2.
[10] Rifky Anggatiastara Cipta, Ngadino, Adya Paramita Prabandari, supra catatan no. 5, pada 901.
[11] Gusti Bagus Gilang Prawira, Yosafat Prasetya Nugraha, Agus Sugiarto, supra catatan no. 2.
[12] Rifky Anggatiastara Cipta, Ngadino, Adya Paramita Prabandari, supra catatan no. 5, pada 903.
[13] Id., pada 895.
[14] Id., pada 900.