KUHP Series Episode 1 Part 1: Semangat Pembaharuan KUHP dan Perbedaannya

Narasumber: Dr. R.B. Budi Prastowo, S.H., M.Hum.

Notulen: Eugenia Priska Labaran

Pada tanggal 2 Januari 2023, Pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan sekaligus mengundangkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru) dalam rangka melakukan pembaharuan terhadap Kitab Undang Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Lama). KUHP Lama sebagai induk dari hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga saat ini merupakan KUHP Lama peninggalan Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht (selanjutnya disebut WvS) 1918 yang tetap diberlakukan dengan didasarkan pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1946) dan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan hal tersebut, terdapat 3 (tiga) urgensi adanya pembaharuan dari KUHP Lama yakni:

  • Alasan filosofis

Alasan filosofis menyatakan bahwa urgensi perubahan KUHP Lama adalah penting untuk mengingat bahwa KUHP Lama sebagai undang-undang tentu memiliki nilai filosofis yang ingin dilindungi. Akan tetapi, jika KUHP Lama berasal dari WvS yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda dan diberlakukan pada tahun 1918 tentu nilai filosofis yang dianut bukan nilai filosofis Indonesia, melainkan nilai filosofis Belanda. Sebagai sebuah negara merdeka, sudah sepantasnya KUHP Lama dan semua undang-undang yang diundangkan di Indonesia merupakan manifestasi atau perwujudan dari filosofis Pancasila. 

  • Alasan Politis

Alasan politik dari pembaharuan KUHP Lama adalah sebagai suatu negara yang merdeka, negara sepatutnya harus mampu pula untuk menggantikan semua peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan oleh Pemerintah Belanda. Akan tetapi, hingga saat ini Indonesia masih belum mampu mengganti KUHP Lama atau WvS yang merupakan produk hukum dari Belanda. Hal tersebut yang mengakibatkan secara politik terdapat kebutuhan yang mendesak untuk segera mengganti KUHP Lama dengan KUHP Baru.

  • Alasan praktis

Hingga saat ini, KUHP Lama yang berlaku dan digunakan oleh para penegak hukum di Indonesia adalah KUHP Lama buatan Pemerintah Belanda. Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya KUHP Lama yang berlaku saat ini merupakan terjemahan dari WvS. Dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 hanya menyatakan bahwa yang pada mulanya bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie (WvS NI) diubah menjadi WvS yang dapat disebut KUHP. Dengan begitu, keberadaan UU No. 1 Tahun 1946 hanya mengubah nama dan menerjemahkan isi pasal dalam KUHP Lama, namun tidak melakukan perubahan maupun pembaharuan. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya zaman, praktisi atau ahli hukum pidana yang memahami Bahasa Belanda semakin sedikit. Hal ini menimbulkan persoalan mengenai “bagaimana dapat menerapkan hukum pidana secara tepat jika para penegak hukum Indonesia tidak memahami bahasa dalam KUHP Lama?”. 

Tentunya KUHP Lama yang beredar saat ini adalah KUHP Lama yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh para ahli pidana, seperti Moeljanto, R. Soesilo, hingga Andi Hamzah. Meskipun telah ada beberapa terjemahan, keberagaman versi dari terjemahan KUHP Lama ini juga menimbulkan persoalan. Hal ini dikarenakan terjemahan rumusan pasal antara 1 (satu) ahli pidana dengan ahli lainnya berbeda satu sama lain, sehingga dapat menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Pada dasarnya, ketika mengalami perbedaan penafsiran suatu rumusan, seharusnya penafsiran tersebut dilakukan dengan merujuk kembali kepada teks aslinya, yakni WvS yang menggunakan Bahasa Belanda. Dengan begitu, masalah kurangnya pemahaman Bahasa Belanda oleh para praktisi hukum pidana di Indonesia ini yang menjadi alasan praktis diperlukannya suatu pembaharuan terhadap  KUHP Lama. 

Sesungguhnya keinginan untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP Lama ini telah berlangsung sejak lama, yakni dimulai dengan adanya Seminar Hukum Nasional Pertama Tahun 1963. Melalui seminar tersebut diambil suatu kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP Lama peninggalan Belanda. Akan tetapi, wacana untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP Lama ini masih bersifat di luar proses legislasi. Pembaharuan KUHP Lama mulai memasuki proses legislasi formal dalam kerangka mekanisme legislasi sejak tahun 2015. 

Selain terdapat 3 (tiga) urgensi pembaharuan KUHP Lama, terdapat juga 5 (lima) misi pembentukan KUHP Baru, yakni: 

  1. Dekolonialisasi, yang berarti sebagai sebuah negara merdeka, Indonesia harus meninggalkan hukum warisan Belanda, yakni WvS; 
  2. Demokratisasi, yang berarti bahwa perubahan KUHP Lama harus dilakukan secara demokratis dengan mendengar para pemangku kepentingan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dan lembaga lainnya yang diperlukan dalam proses legislasi; 
  3. Konsolidasi, yang berkaitan dengan fakta bahwa KUHP Lama yang berlaku hingga saat ini kerap kali mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa KUHP Lama sudah tidak memadai;
  4. Harmonisasi; dan 
  5. Modernisasi. 

Melalui adanya 3 (tiga) urgensi dan 5 (lima) misi pembaharuan KUHP Lama serta perdebatan panjang di DPR, KUHP Lama berhasil diperbaharui dengan diundangkannya KUHP Baru. 

Dengan adanya perubahan dari KUHP Lama warisan Belanda menjadi KUHP Baru, tentu terdapat banyak perubahan yang bersifat fundamental pada tataran asas yang menjadi landasan atau dasar dari KUHP Baru. Salah satu perubahan penting dalam KUHP Baru ialah landasan filosofis. Dalam KUHP Lama, orientasi hukum pidana ditekankan pada perbuatan (daad strafrecht), sehingga sering disebut dengan hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Sementara itu, dalam KUHP Baru, hukum pidana lebih berorientasi pada perbuatan dan juga pada pelaku (daad dader strafrecht). Perubahan orientasi ini dapat terlihat dalam KUHP Baru, yakni pada pemidanaan yang nantinya juga memperhatikan kepentingan perbaikan dari pelaku. Dengan begitu, tampak bahwa sistem pemidanaan di KUHP Baru memiliki tujuan pemidanaan dan jenis pidana yang berorientasi pada pelaku. Lebih lanjut, KUHP Baru juga mengenal jenis-jenis pidana yang bersifat lebih manusiawi yang bertujuan untuk memperbaiki pelaku dan bukan sekedar untuk membalas perbuatan pelaku. 

Selain memperhatikan unsur perbuatan dan pelaku, KUHP Baru juga memperhatikan kepentingan dari korban yang selama ini kurang diakomodasi dalam KUHP Lama. Adanya akomodasi bagi korban ini, dapat terlihat dari diaturnya salah satu tujuan pemidanaan, yaitu pemulihan terhadap korban. Pemulihan bagi korban tersebut memiliki kaitan dengan salah satu misi pembaharuan KUHP Lama yakni modernisasi, yakni pemidanaan tidak hanya fokus pada pelaku dan perbuatan, melainkan juga pada pemulihan korban. 

Selain perubahan pada orientasi, terdapat pula perubahan lainnya yang penting secara akademis, yakni perubahan ajaran yang dianut mengenai pengertian tindak pidana. Dalam KUHP Lama ajaran yang dianut adalah ajaran monistis, sehingga dikatakan tindak pidana jika memenuhi unsur perbuatan dan orang yang digabungkan menjadi satu kesatuan. Sementara itu, dalam KUHP Baru menganut paham dualistis yang memisahkan pengaturan antara perbuatan dan orang. Hal tersebut yang mendasari sistematika KUHP Baru dalam Bab II Buku I KUHP Baru tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana membahas terlebih dahulu semua hal mengenai perbuatan, dan terakhir dibahas mengenai pertanggungjawaban. Dengan begitu, menjadi jelas bahwa terdapat pemisahan antara tindak pidana atau unsur perbuatan dengan pertanggungjawaban atau unsur orang. 

Perubahan aliran dari monistis menjadi dualistis memiliki dampak yang konkret, misalnya mempengaruhi rumusan suatu tindak pidana. Secara sederhana, dalam KUHP Baru sudah tidak ada rumusan tindak pidana yang menggunakan unsur sengaja, seperti penggunaan kata “sengaja”. Contohnya, dalam Pasal 338 KUHP Lama merumuskan:

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Berdasarkan rumusan pasal di atas, terlihat bahwa adanya kata “sengaja” yang berkaitan dengan sikap batin dan pertanggungjawaban seseorang. Akan tetapi, dalam Pasal 458 ayat (1) KUHP Baru tentang pembunuhan merumuskan: 

“Setiap Orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Dalam ketentuan tersebut, terlihat bahwa kata “sengaja” sudah tidak lagi dirumuskan. Hilangnya kata yang menunjukkan sikap batin, seperti kata “sengaja” tidak menyebabkan dalam pemidanaan tidak membutuhkan kesengajaan. Sekalipun tidak terdapat kata “sengaja”, tetap memerlukan adanya kesengajaan dalam proses pembuktiannya.   

Meskipun sikap batin tidak dirumuskan dalam rumusan tindak pidana, dalam Pasal 36 ayat (1) KUHP Baru dinyatakan bahwa: 

“Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.” 

Berdasarkan rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang hanya dapat dijatuhi pidana ketika terdapat kesalahan, baik “sengaja” maupun “alpa”. 

Perubahan dalam KUHP Baru juga muncul dalam rumusan asas legalitas mengenai larangan analogi. Dalam KUHP Lama, larangan analogi tidak muncul secara eksplisit, melainkan implisit dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama. Akan tetapi, dalam KUHP Baru larangan analogi dituliskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru. Meskipun dalam KUHP Lama tidak pernah mencantumkan adanya larangan analogi dalam rumusan pasal, pada rezim KUHP Lama, para ahli hukum pidana telah sepakat untuk menerima larangan analogi. Para ahli hukum pidana menerima larangan analogi, meskipun tidak dituliskan secara eksplisit karena analogi menciptakan ketidakpastian hukum. 

Analogi membuka peluang untuk menjatuhkan pidana terhadap suatu perbuatan jahat yang belum ada aturannya dengan menganalogikan perbuatan jahat tersebut dengan perbuatan lainnya yang telah ada aturannya. Hal ini menyebabkan perbuatan yang pada mulanya tidak dapat dipidana menjadi dapat dipidana karena adanya analogi. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan analogi menyebabkan adanya ketidakpastian hukum dalam penerapan hukum pidana. Meskipun dalam KUHP Baru larangan analogi dituliskan secara eksplisit, hal ini pada dasarnya tidak membawa perubahan yang signifikan. Hal ini dikarenakan sekalipun dalam KUHP Lama larangan analogi tidak dituliskan, para ahli pidana dan praktisi hukum pidana sepakat bahwa analogi adalah sesuatu yang dilarang dalam hukum pidana. Akan tetapi, penulisan larangan analogi secara eksplisit menyebabkan larangan analogi menjadi lebih tegas dari sebelumnya. 

Selain larangan analogi, terdapat 2 (dua) landasan atau asas hukum pidana lainnya yang sangat penting, salah satunya adalah asas legalitas. Asas legalitas adalah salah satu prinsip dasar dalam hukum pidana. Asas legalitas dalam KUHP Baru juga mengalami perubahan, di mana yang sebelumnya menggunakan asas legalitas formal berubah menjadi asas legalitas material. Asas legalitas dalam KUHP Lama tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama yang menyatakan bahwa: 

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada”

Berdasarkan pasal di atas, asas legalitas formal yang dianut dalam KUHP Lama menyatakan bahwa untuk menjatuhkan pidana, syarat mutlaknya adalah harus terlebih dahulu terdapat aturan tertulis yang mengaturnya. Frasa “peraturan perundang-undangan pidana” pada Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama merujuk pada aturan tertulis. Hukum tertulis sangat dijunjung tinggi pada KUHP Lama karena kepastian hukum dianggap sebagai sesuatu yang penting. 

Di satu sisi, penerapan asas legalitas formal menimbulkan kepastian hukum. Akan tetapi, di sisi lain, penerapan asas legalitas formal justru menimbulkan ketidakadilan. Dalam KUHP Lama, kepastian hukum lebih dijunjung dibandingkan keadilan. Hal ini disebabkan karena latar belakang munculnya KUHP Lama. Pada dasarnya, KUHP Lama yang berasal dari masa penjajahan Belanda sangat dipengaruhi oleh aliran legisme yang muncul di Perancis pada masa itu. Kepastian hukum yang dijunjung terlalu tinggi ini menyebabkan aspek keadilan menjadi kurang mendapat perhatian, sehingga muncul dorongan untuk menciptakan hukum pidana yang lebih memperhatikan keadilan di masyarakat. Dorongan tersebut yang kemudian mendorong munculnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (selanjutnya disebut UU Drt No. 1 Tahun 1951). UU Drt No. 1 Tahun 1951 membuka kemungkinan untuk menggunakan hukum tidak tertulis, yakni hukum adat untuk menjatuhkan menjatuhkan pidana. 

Pemberlakuan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis untuk menjatuhkan pidana ini tetap harus dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni hukum adat tersebut masih hidup, hanya berlaku bagi kaula daerah swapraja, dan hanya berlaku di daerah yang dahulu diadili dengan pengadilan adat. Akibat syarat yang sangat ketat tersebut, ruang berlaku dari hukum adat menjadi sulit diberlakukan. Dengan adanya tuntutan perkembangan zaman, dalam KUHP Baru penggunaan hukum tidak tertulis mulai diakomodasikan, sehingga lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. 

Tersedia di:

Baca Juga

Problematika Kriminalisasi Kohabitasi Dalam KUHP Baru

Narasumber: Feliks Amos Pangihutan Simbolon Pada tanggal 2 Januari 2023, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan sekaligus mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru) yang akan mulai berlaku...

Perbedaan BPHTB dengan PPHTB dalam Transaksi Jual Beli

Penulis: Regina MeliaPajak adalah kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh orang pribadi atau badan kepada negara berdasarkan undang-undang, tanpa mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk membiayai berbagai keperluan negara demi sebesar-besarnya...