Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?
Penulis: Tiara Nabila
Dalam kehidupan sehari-hari tanda tangan bukanlah merupakan suatu hal yang asing. Setiap orang pernah menandatangani dokumen dalam bentuk apa pun. Tanda tangan dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen yang memerlukan persetujuan, dokumen resmi dari suatu instansi, dan dokumen lainnya yang dapat menimbulkan hak dan/atau kewajiban bagi seseorang. Apabila mengacu pada pendapat Dr. Herlien Budiono tanda tangan terdiri dari susunan aksara sebagai tanda yang dibubuhkan dari orang yang berwenang menulis sebuah pernyataan. Dr. Herlien Budiono juga menjelaskan bahwa tanda tangan digunakan sebagai identitas diri yang diakui dalam hukum sebagai persetujuan seseorang terhadap suatu tulisan atas kewenangannya sendiri.[1] Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi VI Daring memaknai tanda tangan sebagai lambang nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda pribadi (telah menerima dan sebagainya).[2] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanda tangan merupakan tanda berupa susunan aksara sebagai identitas diri yang menunjukkan bahwa ketika seseorang membubuhkan tanda tersebut, maka dirinya telah memberikan persetujuan terhadap suatu hal yang tertuang dalam dokumen atau surat yang ditandatangani.
Keaslian atas suatu tanda tangan juga tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang sepele. Hal ini dikarenakan hukum di Indonesia mengatur terkait akibat hukum apabila seseorang terbukti memalsukan tanda tangan atas suatu surat dan/atau dokumen tertentu. Menurut Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) menyatakan bahwa;
“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa ketika seseorang membubuhkan tanda tangan pada suatu surat dan/atau dokumen yang karena pembubuhan tanda tangan tersebut menerbitkan suatu hak, perjanjian, kewajiban, atau sesuatu pembebasan utang yang digunakan seakan-akan surat atau dokumen tersebut asli dan tidak dipalsukan, apabila dokumen atau surat tersebut digunakan dan mendatangkan suatu kerugian bagi pihak tertentu, maka yang demikian itu disebut dengan pemalsuan surat. Seorang ahli pidana R.Soesilo juga menjelaskan dengan mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHP, pemalsuan tanda tangan pada surat dan/atau dokumen dapat dikenai sanksi ketika pemalsuan tanda tangan pada surat dan/atau dokumen tersebut menerbitkan: [3]
- Sesuatu hak (misalnya ijazah, karcis, tanda masuk, atau surat andil);
- Suatu perjanjian atau menerbitkan kewajiban (misalnya seperti perjanjian, seperti surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan perjanjian lainnya);
- Pembebasan utang (seperti cek dan kuitansi);
- Sesuatu yang boleh dipergunakan sebagai keterangan atas suatu perbuatan atau peristiwa (seperti surat tanda kelahiran dan buku kas).
Mengacu pada pendapat ahli pidana R. Soesilo yang mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHP ini menandakan bahwa tidak semua kasus pemalsuan tanda tangan dapat dijatuhi sanksi pidana. Hal ini dikarenakan perlu diketahui terlebih dahulu apakah pemalsuan tanda tangan pada surat dan atau dokumen tersebut menerbitkan hak, perjanjian, kewajiban, pembebasan utang, sesuatu yang boleh dipergunakan sebagai keterangan atas suatu perbuatan atau peristiwa dan apabila dipergunakan menimbulkan kerugian. Apabila unsur-unsur pada Pasal 263 ayat (1) KUHP dipenuhi maka bagi pihak yang terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat maka akan dikenai sanksi berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) tahun.
Dinamika masyarakat yang berkembang ke arah dunia yang serba digital juga berdampak pada diaturnya ketentuan lain mengenai pemalsuan tanda tangan. Hal ini dikarenakan, saat ini tanda tangan juga dapat dibubuhkan secara elektronik. Pengaturan lain yang juga mengatur terkait dengan pemalsuan tanda tangan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 dan Perubahan Kedua oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Pasal 35 UU ITE menyatakan bahwa:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Ketentuan di atas merupakan lex specialis dari pengaturan pemalsuan surat yang berkaitan dengan informasi dan/atau dokumen elektronik. Dengan demikian, perbedaan yang signifikan antara Pasal 35 dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah tindak pidana pemalsuan dalam Pasal 35 merupakan pemalsuan yang dilakukan terhadap surat dan/atau dokumen elektronik. Pemalsuan tanda tangan secara elektronik juga dapat termasuk pada tindak pidana pemalsuan surat dan/atau dokumen elektronik. Hal ini dikarenakan, tanda tangan merupakan informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa:
“Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Informasi elektronik yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 12 tersebut merujuk pada definisi yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE yang menyatakan bahwa:
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda [4], angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dengan demikian, apabila terdapat seseorang yang terbukti telah melakukan pemalsuan tanda tangan pada surat dan/atau dokumen elektronik, maka seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan/atau dokumen elektronik. Menurut Pasal 51 ayat (1) UU ITE seseorang tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa apabila seseorang telah membubuhkan tanda tangan baik secara konvensional maupun elektronik dapat menunjukkan bahwa dirinya telah menyetujui apa yang tertuang dalam surat dan atau dokumen baik dalam bentuk hard copy, maupun surat dan/atau dokumen elektronik. Perbedaan pembubuhan tanda tangan konvensional dan tanda tangan elektronik terletak pada cara pembubuhan tanda tangan tersebut, dan wujud dari dokumen yang ditandatangani. Seseorang yang melakukan pemalsuan tanda tangan dapat dikenai sanksi pidana menurut Pasal 263 ayat (1) KUHP apabila surat dan/atau dokumen yang karena pembubuhan tanda tangan tersebut menerbitkan suatu hak, perjanjian, kewajiban, atau sesuatu pembebasan utang yang digunakan seakan-akan surat atau dokumen tersebut asli dan tidak dipalsukan, apabila dokumen atau surat tersebut digunakan dan mendatangkan suatu kerugian bagi pihak tertentu. Apabila unsur-unsur dari Pasal 263 ayat (1) tersebut terpenuhi, maka seseorang dapat dikenai sanksi pidana paling lama 6 (enam) tahun penjara atas tindak pidana pemalsuan surat. Sementara itu, apabila pemalsuan tanda tangan tersebut dilakukan terhadap surat dan/atau dokumen elektronik maka seseorang yang membubuhkan tanda tangan elektronik pada surat dan/atau dokumen elektronik tersebut dapat dikenai Pasal 35 UU ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht, (Staatsblad 1915 Nomor 732).
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952) dan perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (Lembaran Negara Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6905).
Referensi:
[1] Febrian Leonardo Manuhutu, Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5295/3/T1_312009062_BAB%20II.pdf
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tanda%20tangan
[3] Tim Hukumonline, Sanksi Pemalsuan Tanda Tangan dan Cara Melaporkannya, https://www.hukumonline.com/berita/a/pemalsuan-tanda-tangan-lt61ea6c95dc965/?page=1 (diakses pada 16 Juli 2024).
[4] Cetak tebal oleh Penulis