Wanprestasi Pemberi Hak Tanggungan, Bagaimana Eksekusinya?
Penulis: Frisca
Dalam menjalankan kegiatan kredit, perbankan pada umumnya membutuhkan suatu pengamanan dalam menanggulangi risiko.[1] Saat debitor meminjam sejumlah uang, bank sebagai kreditor akan meminta benda untuk dijadikan jaminan atau agunan terhadap pinjaman (utang) tersebut yang nilainya harus lebih dari nilai utang, karena benda tersebut akan menjadi penjamin dalam pelunasan.[2] Adapun jaminan kebendaan di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis yaitu Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotek dan Resi Gudang. Walaupun terdapat beberapa jenis jaminan kebendaan di Indonesia, dalam tulisan ini yang akan menjadi fokue pembahasan adalah jaminan kebendaan Hak Tanggungan.
Terkait jaminan kebendaan Hak Tanggungan diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). Menurut Pasal 1 angka 1 UUHT dinyatakan bahwa:
“Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-Pokok Agraria, termasuk atau tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu yang dimana dalam pelunasan utangnya diberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.”
Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan merupakan jaminan kebendaan dimana debitor atau pemberi Hak Tanggungan menjaminkan hak atas tanah dan/atau benda-benda lain di atasnya kepada kreditor atau pemegang Hak Tanggungan, sehingga kreditor memiliki hak untuk didahulukan saat terjadi penjualan atas benda yang dijaminkan tersebut (kreditor preferen).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada hakikatnya kreditor meminta jaminan untuk menjamin suatu pelunasan utang. UUHT sendiri memberikan kedudukan hukum kepada kreditor untuk mengeksekusi jaminan apabila terjadi wanprestasi dari debitor berdasarkan Pasal 20 jo. Pasal 6 UUHT. Disebutkan dalam Pasal 20 UUHT bahwa apabila debitor wanprestasi, maka eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
1. Pelelangan Umum dengan Parate Eksekusi
Menurut Polderman, pelelangan umum adalah alat pengadaan perjanjian atau persetujuan yang paling menguntungkan penjual dengan cara menghimpun para peminat.[3] Merujuk pada penjelasan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa hak untuk menjual objek Hak Tanggungan didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan. Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Berdasarkan Pasal 20 UUHT, metode lelang eksekusi di pelelangan umum memiliki prinsip bahwa proses pelelangan dilakukan dengan titel eksekutorial, yaitu tidak dibutuhkan putusan pengadilan atau yang biasa disebut sebagai Parate Eksekusi.[4] Menurut Rachmadi Usman, Parate Eksekusi didefinisikan sebagai pelaksanaan eksekusi tanpa melalui bantuan pengadilan.[5] Parate Eksekusi dilaksanakan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan dan memiliki kekuatan hukum yang dipersamakan dengan putusan pengadilan.
2. Pelelangan Umum dengan Fiat Pengadilan
Menurut Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR), eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan. Pelaksanaan eksekusi jaminan kredit yang berupa jaminan kebendaan dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan fiat eksekusi kepada pengadilan yang berwenang.[6] Melalui permohonan eksekusi nantinya akan diadakan gelar perkara untuk memutuskan dan memberikan alas hak untuk dapat atau tidak dapat melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Eksekusi objek jaminan melalui fiat pengadilan akan mengikuti pengaturan dalam Hukum Acara Perdata seperti dengan sita jaminan dan melibatkan juru sita.
3. Penjualan di bawah tangan
Penjualan di bawah tangan adalah penjualan hak atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditor sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan tersebut.[7] Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUHT dipaparkan bahwa penjualan di bawah tangan dimungkinkan untuk terjadi, asalkan telah disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi yang dapat menguntungkan semua pihak. Akan tetapi, penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan 1 (satu) bulan setelah sejak pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak yang berkepentingan dan paling sedikit diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar, serta tidak ada pihak yang keberatan.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa eksekusi Hak Tanggungan hadir dengan tujuan agar kreditor dapat menerima pelunasan piutang melalui penjualan objekjaminan. Eksekusi jaminan kebendaan Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu melalui pelelangan umum dengan Parate Eksekusi, pelelangan umum dengan fiat pengadilan atau melalui penjualan di bawah tangan. Pelelangan umum menjadi langkah yang biasanya dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan, akan tetapi peraturan perundang-undangan memberikan alternatif lain dengan penjualan di bawah tangan oleh pemberi Hak Tanggungan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dibandingkan melalui pelelangan umum. Terkait pilihan metode pengeksekusian jaminan Hak Tanggungan tersebut dapat dituangkan dalam perjanjian kredit, akan tetapi jika tidak disepakati diawal pembuatan perjanjian, maka akan dikembalikan pada pilihan kreditor sesuai ketentuan dalamUUHT.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632).
Referensi:
[1] Hukumonline, Pentingnya Keberadaan Jaminan dalam Perjanjian Kredit, https://www.hukumonline.com/berita/a/pentingnya-keberadaan-jaminan-dalam-perjanjian-kredit-lt5f61e721040cf(diakses pada 4 November 2022).
[2] Litigasi, Eksekusi Hak Tanggungan,https://litigasi.co.id/posts/eksekusi-hak-tanggungan (diakses pada 4 November 2022).
[3] H.M. Arba dan Diman A. Mulada, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), halaman 72.
[4] Hukumonline, Proses Lelang Jaminan Kredit, https://www.hukumonline.com/klinik/a/prosedur-lelang-jaminan-kredit-cl7020?r=4&p=8&q=uu%20hak%20tanggungan&rs=2001&re=2022(diakses pada 4 November 2022).
[5] Ananda Fikti Ayu Saraswati, Dilematis Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Parate Executie Dan Eksekusi Melalui Grosse Akta, Jurnal Repertorium Volume 2-Nomor 2, 2015, halaman 54.
[6] H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2016), halaman 85.
[7] Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, (Bandung: Kaifa, 2012), halaman 61-62.