Putusan Perselisihan Pilpres 2024 dan Dampaknya bagi Pemilu Selanjutnya

Narasumber: Valerianus Beatae Jehanu, S.H., M.H.

Notulen: Ilham Restu Ramadhani

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XII/2023 (selanjutnya disebut Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023) terkait uji materil syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi sebuah gebrakan dalam Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) di tahun 2024 ini. Pasalnya, putusan tersebut memberikan perluasan makna terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang tentang Pemilu dengan menambahkan syarat alternatif, yaitu pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, sehingga putusan ini membuka peluang bagi salah satu calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden untuk dapat maju dalam Pemilu tahun ini. Tidak hanya itu, terungkap dalam Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/MKMK/L/11/2023 (selanjutnya disebut Putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023) bahwa ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi terhadap Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023. Pelanggaran kode etik demikian yang pada akhirnya menggemparkan seluruh masyarakat Indonesia. Berhubungan dengan pelanggaran kode etik tersebut, yang akan menjadi fokus pembahasan dari podcast kali ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (selanjutnya disebut PHPU) Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.

Kini, setelah Pemilu selesai dilakukan dan ditetapkan pasangan yang sah menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, pasangan-pasangan yang dikalahkan mengajukan Permohonan terkait Hasil Pemilihan Umum tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK). Pada tanggal 22 April 2024, putusan terkait PHPU dibacakan dengan kesimpulan menolak Permohonan yang diajukan dan menetapkan calon pasangan dengan nomor urut 2, yaitu Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sebelum mengupas lebih dalam mengenai putusan PHPU, perlu diketahui dasar kewenangan MK untuk memutus perkara PHPU yang terdapat pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Selain itu, Pasal 1 Angka 13 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut Peraturan MK No. 4 Tahun 2023) mendefinisikan “Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya disingkat PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah perselisihan antara Peserta Pemilu dengan KPU mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.”. Pasal tersebut tidak menunjukan bahwa MK hanya dapat memutus suatu perkara berdasarkan nilai yang kuantitatif semata. Bahkan MK dalam beberapa putusannya terkait dengan PHPU menyatakan bahwa akan memeriksa dan memutus baik dalil yang sifatnya kuantitatif maupun yang sifatnya kualitatif. Hal tersebut karena persoalan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu yang sebenarnya dihadapkan ke MK, sehingga MK tidak bisa hanya menilai hasilnya saja. Dalam Putusan PHPU tahun 2024, MK menerima permohonan dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang kalah. Dalam permohonan tersebut, beberapa dalil yang diajukan bersifat kualitatif dan ditegaskan dalam putusannya bahwa MK tidak hanya mengadili secara kuantitatif terhadap hasil rekapitulasi perhitungan suara. Maka tidaklah tepat untuk mengatakan MK sebagai Mahkamah Kalkulator seperti yang sering terdengar sebutannya sejak dahulu.

Dalil-dalil permohonan dalam putusan MK cukup beragam, di antaranya merupakan serangan terhadap pelanggaran kode etik, pemerintah yang tidak netral, pengangkatan Penjabat Kepala Daerah yang masif dan digunakan untuk mengarahkan pilihan, serta penyalahgunaan bansos dan lain sebagainya. Dalam Putusan PHPU, MK setidaknya mengklasifikasikan 6 (enam) klaster, yang jika digabungkan maka permohonan itu berkaitan dengan persoalan independensi dari penyelenggara pemilu, intervensi dari pejabat atau aparatur negara yang berkaitan dengan keabsahan dari Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (selanjutnya disebut Capres dan Cawapres). Seringkali MK melihat dalil yang disampaikan oleh Pemohon, terutama yang berkaitan dengan kecurangan, intervensi kekuasaan, nepotisme dari presiden dan lain sebagainya, yang pada akhirnya oleh MK dianggap tidak beralasan menurut hukum karena tidak memiliki hubungan kausalitas atau tidak terkait langsung dengan aspek hasil rekapitulasi perhitungan suara. Misalnya, dalam permohonan itu disebutkan bahwa ada berbagai bentuk intervensi dari kekuasaan, khususnya nepotisme yang dilakukan oleh presiden dalam pencalonan anaknya. Dugaan nepotisme tersebut dijawab oleh MK dengan mengatakan bahwa jabatan yang diperoleh dilalui dengan penunjukan secara langsung, sehingga jabatan yang sedang diperebutkan dalam hal ini capres dan cawapres itu telah melalui pemilihan umum. Dengan itu, proses tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai salah satu bentuk nepotisme. Pertimbangan lainnya adalah mayoritas hakim menyatakan bahwa banyak di antara dalil permohonan itu tidak memiliki hubungan kausalitas dengan aspek hasil dari pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden (selanjutnya disebut pilpres). Seperti dugaan ketidaknetralan aparatur negara dengan aspek hasilnya tadi yang tidak dapat dibuktikan secara langsung bahwa ada fakta menunjukan dukungan tertentu terhadap hasil akhir dari pilpres. Dengan pertimbangan tersebut, 6 (enam) di antara sembilan hakim konstitusi menolak dalil permohonan tersebut.

Putusan PHPU terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu, tidak dapat diterima, dikabulkan, dan ditolak. Dalam sengketa PHPU, pihak termohonnya adalah Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) karena objek sengketanya adalah penetapan hasil pemilihan umum. Namun dalam perkembangannya muncul jenis-jenis putusan yang lain, seperti dalam Putusan PHPU Pilkada di Kabupaten Kotawaringin Barat yang salah satu petitum pemohonnya adalah menetapkan pasangan calon terpilih. Dengan kata lain, selain menyatakan batal Keputusan KPU yang memenangkan Paslon pemenang sebelumnya, pemohon juga meminta kepada MK supaya menetapkan pemohon dalam hal ini yang mendapatkan suara tertinggi kedua dari ketiga calon sebagai pemenang. Putusan PHPU Pilkada tersebut menjadi preseden bahwa MK ternyata pernah menetapkan paslon yang terpilih. 

Selain itu terdapat putusan PHPU Pilkada di Kabupaten Sabu Raijua dimana baru diketahui bahwa pemenang di Pilkada Kabupaten Sabu Raijua memiliki status kewarganegaraan asing, yang artinya telah melanggar syarat pencalonan. Di Indonesia, syarat pencalonan itu harus merupakan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) dan tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Apabila terdapat warga negara yang memperoleh status warga negara asing, maka status WNI seharusnya dilepas atau dengan kata lain yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta Pemilu Kepala Daerah. Permasalahannya status kewarganegaraan dari calon Kepala Daerah yang memenangkan Pilkada tersebut, baru diketahui setelah pemungutan suara dilakukan. Pada akhirnya, MK di dalam Perkara PHPU Pilkada Kabupaten Sabu Raijua itu mendiskualifikasi Kepala Daerah yang terpilih. Putusan tersebut yang kemudian berusaha untuk dikonstruksikan sebagai sebuah argumen yuridis oleh pemohon dalam PHPU Pilpres 2024, yang mendalilkan bahwa salah satu pasangan capres dan cawapresnya, dalam hal ini cawapres paslon nomor 2 yang tidak memenuhi syarat pencalonan. Ketika Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 dikeluarkan, putusan tersebut menjadi pintu masuk bagi Cawapres nomor urut 2 (dua), Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri. 

Putusan PHPU Pilkada di Kabupaten Sabu Raijua tersebut dinarasikan oleh pemohon dalam PHPU Pilpres 2024. Akan tetapi perlu diketahui bahwa kedua kasus tersebut terdapat perbedaan karakteristik, misalnya dalam Pilkada Sabu Raijua persoalan administratifnya baru diketahui setelah pemungutan suara dilakukan. Sementara itu, dalam kasus Pilpres kali ini persoalan administratif tentang pencalonan Gibran Rakabuming Raka sudah diketahui luas sebelum pemungutan suara terjadi. Atas dasar itu, MK menyatakan bahwa permasalahan tersebut bukan menjadi kompetensi MK. MK menyatakan seharusnya sebelum pemungutan suara dilakukan, paslon lain mengajukan keberatan tersebut. Faktanya, tidak ada keberatan yang diajukan terhadap pencalonan tersebut. Lebih lanjut, dalam pertimbangan Putusan PHPU tahun 2024, MK juga menyatakan bahwa dalam Putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023 yang menyatakan ada pelanggaran kode etik berat, tidak pernah menyebutkan bahwa secara otomatis Putusan MKMK tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mendiskualifikasi calon pasangan, jadi pada akhirnya dalil mengenai pelanggaran kode etik tersebut tidak beralasan menurut hukum. 

Pelanggaran kode etik dalam proses pencalonan merupakan permasalahan yang menarik perhatian masyarakat publik. Dalam hal ini, mayoritas hakim MK melihat bahwa permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum. Jika dibandingkan dengan Putusan PHPU Pilkada sebelumnya, yang terjadi bukan hanya membatalkan Keputusan KPU, tetapi juga menetapkan paslon yang secara sah menang. Dalam kasus Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat, MK menetapkan bahwa aspek yang berkaitan dengan proses tidak dapat disingkirkan dari hasil akhir. Kemudian, salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 mengatakan bahwa “demi tegaknya hukum dan keadilan serta meniadakan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Kabupaten Kotawaringin Barat, maka diperlukan pemulihan keadilan. Keadilan bukanlah hasil akhir dari proses awal, jika sejak semula mengabaikan proses yang semestinya. Hasil akhir dari proses yang tidak adil bukanlah keadilan yang sesuai dengan prinsip hukum dan prinsip keadilan umum, tidak boleh seorangpun diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri. Dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.” Oleh karena itu, MK berpendapat suara yang diperoleh paslon nomor urut satu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan tidak sah karena perolehannya dicapai dengan cara tidak sah. Hal ini menarik karena pada saat itu, persoalan mengenai tidak adanya kausalitas dan lain sebagainya dapat keluar dari jebakan pembuktian seperti yang terjadi di PHPU Pilpres tahun 2024 ini. Maka, seharusnya tidak boleh seorang pun diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain, sesuai dengan adagium Nullus commodum capere potest ex sua injuria propria. Namun, hal semacam itu dalam Pilpres tahun 2024 ini tidak terbukti dan dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. 

Dalam konteks hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat minoritas mengenai hasil Pilpres tahun 2024 ini, muncul pertanyaan mengenai apakah hanya judex facti yang menjadi faktor penentu dalam memutus suatu perkara. Konstruksi konstitusi di Indonesia menyatakan bahwa MK merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang memiliki kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan tersebut, salah satu kekuatan yang dapat didayagunakan adalah keyakinan hakim. Meskipun fakta-fakta yang dihadirkan dalam persidangan tetap penting, namun keyakinan hakim juga memainkan peran penting dalam memutuskan suatu perkara. 

Dalam pertimbangan Putusan PHPU Pilpres tahun 2024, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa MK didominasi oleh karakter judex facti untuk melakukan penilaian terhadap fakta. Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa pertimbangan yang hanya didasarkan pada penilaian bukti-bukti itu akan menyebabkan MK tidak dapat bergerak lebih lanjut dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. Padahal, tujuan utama dari penyelesaian perselisihan ini adalah untuk mencapai keadilan dalam pemilihan umum. Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan bahwa dasar dari desainnya bukan hanya sekedar penilaian atas bukti, tetapi lebih pada keyakinan yang didasarkan pada fakta persidangan. Selain itu, beliau berpendapat bahwa faktor-faktor tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai dasar dalam memutuskan perselisihan, tidak hanya berdasarkan fakta semata namun juga keyakinan hakim. Dengan kata lain, keyakinan hakim juga penting untuk digunakan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, ditegaskan bahwa dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu, tidak hanya penilaian atas fakta yang penting, tetapi juga keyakinan hakim sebagai salah satu faktor penting dalam mencapai keadilan yang diharapkan dalam pemilihan umum.

Dari Pilpres tahun 2024 ini terdapat banyak pertanyaan yang harus dijawab, terutama terkait penyelesaian perselisihan hasil yang dibatasi waktu 14 hari seperti yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Meskipun waktu tersebut relatif singkat, namun jika kita melihat rangkaian penyelenggaraan Pemilu secara keseluruhan, maka persiapan harus dilakukan oleh peserta sejak awal untuk menghadapi sengketa pemilu, yang salah satunya adalah sengketa PHPU. Perlu diingat bahwa pemilu merupakan proses untuk menentukan pengisian jabatan tertentu di pemerintahan, sehingga prosesnya harus diselenggarakan dengan tepat waktu. Kepastian hukum terkait batas waktu sangat diperlukan dalam penyelenggaraan Pemilu. Jika tidak, tahap-tahapan selanjutnya akan terdampak. Oleh karena itu, ketentuan batas waktu tersebut diperlukan evaluasi dan harus dipertimbangkan untuk meningkatkan manajemen Pemilu ke depan mengingat perselisihan hasil Pilpres terutama di tingkat nasional menjadi semakin kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup untuk menilai fakta-fakta dan menghubungkannya dengan dugaan pelanggaran Pemilu yang sistematis dan masif. 

Putusan PHPU Pilpres 2024 memiliki beberapa pekerjaan rumah untuk pemerintah dan pembentuk undang-undang terkait perbaikan penyelenggaraan Pemilu ke depan. Meskipun beberapa dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum, MK tetap menekankan pada perbaikan. Perbaikan tersebut antara lain adalah menindaklanjuti laporan kecurangan masuk pada persoalan substansi tanpa terjebak pada aspek formil, memberikan kemandirian anggaran pada lembaga penyelenggara Pemilu dan lembaga peradilan Pemilu, serta mengatur endorsement atau pemberian dukungan terang-terangan. Pentingnya perbaikan tersebut diperlukan karena terbukanya potensi pola pelanggaran yang sama pada Pilkada serentak di bulan November mendatang. 

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...