Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Penulis: Joshua Gabriel N.
Perkembangan teknologi dalam dunia bisnis nasional maupun internasional tentu menyebabkan meningkatnya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU) dan Kepailitan.[1] PKPU dimaksudkan untuk mencapai perdamaian antara Debitor dengan para Kreditor, sehingga Debitor dapat terus melanjutkan usahanya.[2] Terdapat beberapa/berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi mengapa Kreditor mengajukan PKPU, diantaranya yaitu: a) upaya mencegah kepailitan; b) Debitor tetap dapat melangsungkan kegiatan usaha; dan c) PKPU mempunyai manfaat waktu, ekonomis, dan manfaat yuridis.[3] Pada umumnya Debitor berusaha menghindari kepailitan mengingat bahwa menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) dimana jika sebuah perusahaan dinyatakan pailit maka perusahaan tersebut kehilangan hak untuk mengurus harta benda kepemilikan perusahaan tersebut. Hal tersebut tentu berdampak kepada pengurusan perusahaan seperti arus keuangan perusahaan, valuasi harga perusahaan, dan juga kepentingan stakeholder.[4] Oleh karena itu, penting bagi Debitor maupun Kreditor untuk memahami langkah-langkah pengajuan PKPU. Bagi Debitor, pengetahuan ini dapat menjadi kunci untuk menghindari kepailitan. Pemahaman ini juga dapat menjadi pertimbangan bagi Kreditor yang hendak mengajukan PKPU terhadap Debitor yang diperkirakan tidak mampu melanjutkan pembayaran utang mereka untuk mengajukan PKPU terhadap Debitor yang diperkirakan tidak mampu melanjutkan pembayaran utang.
Pasal 222 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa permohonan PKPU dapat diajukan oleh pihak Debitor yang memiliki lebih dari 1 (satu) Kreditor dan pihak Kreditor. Permohonan PKPU dapat diajukan oleh pihak Debitor yang sudah tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang kepada Kreditor, hal ini sesuai dengan Pasal 222 ayat (2) UU KPKPU.[5] Selanjutnya, Pasal 222 ayat (3) UU KPKPU juga membuka kemungkinan bagi Kreditor konkuren, Kreditor separatis, maupun Kreditor preferen untuk mengajukan PKPU terhadap Debitor yang diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran.[6] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menjelaskan bahwa Kreditor preferen dan Kreditor separatis adalah Kreditor yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan. Sedangkan Kreditor konkuren adalah Kreditor yang haknya tidak dahulukan dan tidak termasuk Kreditor preferen dan Kreditor separatis . Debitor yang ingin mengajukan permohonan PKPU juga harus memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan PKPU dengan mempersiapkan beberapa dokumen yang wajib dilampirkan bersama dengan permohonan PKPU, dokumen tersebut diantaranya:[7]
- Daftar uraian mengenai harta dan piutang;
- Surat-Surat bukti selayaknya; dan
- Rencana perdamaian.
Permohonan PKPU beserta dokumen-dokumen tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga dan harus ditandatangani oleh Debitor bersama-sama dengan advokat yang mempunyai izin praktik sesuai Pasal 224 ayat (1) UU KPKPU.[8] Pengajuan proses PKPU oleh Debitor tersebut berbeda dengan halnya apabila Kreditor yang mengajukan PKPU. Perbedaan ini terletak pada saat kreditor mengajukan PKPU, Debitor yang diajukan permohonan PKPU akan dipanggil melalui juru sita paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.[9] Pada saat sidang, Debitor yang dipanggil tersebut diharapkan dapat menyerahkan daftar yang memuat jumlah piutang, utang Debitor, dan rencana perdamaian bila ada.[10]
Pada dasarnya, PKPU memiliki 2 (dua) tahap proses yaitu Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap. Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang sebagai tahap pertama dari PKPU, tahap ini dilaksanakan saat Debitor yang memenuhi syarat-syarat administratif mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga. Pasal 225 ayat (1) UU KPKPU menyebutkan bahwa Hakim Pengadilan Niaga akan segera mengabulkan Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang tersebut paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal permohonan tersebut didaftarkan, selain itu Hakim Pengadilan Niaga juga akan menunjuk hakim pengawas dan mengangkat pengurus. Pasal 225 ayat (4) UU KPKPU menyebutkan bahwa Putusan Pengadilan Niaga tentang Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang ini berlaku selama maksimum 45 (empat puluh lima) hari dan setelah itu akan diputuskan apakah Penundaan Sementara Pembayaran Utang tersebut dapat dilanjutkan untuk menjadi suatu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap dilaksanakan setelah putusan Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang oleh Pengadilan Niaga.[11]
Berdasarkan Pasal 225 ayat (4) UU KPKPU, Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap dimulai setelah adanya penetapan dengan pemanggilan Debitor dan Kreditor melalui pengurus Pengadilan Niaga untuk melaksanakan sidang. Sidang tersebut diselenggarakan paling lambat pada hari ke-45 (empat puluh lima) sejak ditetapkannya putusan Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang. Sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap dilakukan dengan tujuan untuk memutuskan apakah Debitor dapat diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap atau tidak. Hal tersebut dilakukan dengan memberi kesempatan kepada Debitor, para Kreditor, serta pengurus untuk mempertimbangkan perdamaian pada sidang yang akan diselenggarakan dalam tahap selanjutnya. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 229 ayat (1) UU KPKPU menyebutkan bahwa rencana perdamaian PKPU secara tetap dalam sidang harus mendapatkan persetujuan dari minimal lebih dari setengah Kreditor Konkuren yang haknya diakui dalam sidang atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau untuk sementara diakui.[12] Rencana perdamaian pada umumnya berisi proposal restrukturisasi utang dan restrukturisasi usahanya. Jika hasil rencana perdamaian disetujui oleh para pihak Kreditor, maka Debitor tetap dapat menjalankan usahanya dan melanjutkan pembayaran utang kepada para pihak Kreditor.[13] Apabila rencana perdamaian tersebut disetujui oleh pihak yang mengajukan PKPU, maka Pengadilan Niaga akan menetapkan PKPU secara tetap berikut perpanjangannya yang tidak boleh melebihi 270 (dua ratus lima puluh tujuh) hari terhitung sejak Putusan Pengadilan Niaga tentang Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang.[14] Apabila rencana perdamaian tersebut ditolak, maka Pengadilan Niaga harus menyatakan Debitor pailit sesuai dengan Pasal 289 UU KPKPU.
Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa UU KPKPU telah mengatur syarat, tata cara, dan proses pengajuan PKPU hingga persidangan PKPU di dalam Pengadilan Niaga. UU KPKPU mengatur bahwa PKPU memiliki 2 (dua) proses utama yang harus dilalui, yaitu Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap Kedua prosedur pengajuan permohonan PKPU tersebut harus dilakukan dengan cepat dan sederhana agar tidak menimbulkan sengketa antara Debitor dan para Kreditor.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443).
Referensi:
[1] Antonius Sidik Maryano, Ulil Afwa, Sindy Riani, Quo Vadis Esensi Lembaga PKPU Pasca-Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/PUU-XIX/2021, Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 3 Nomor, 4 April 2022, halaman 250.
[2] Devi Andani, Wiwin Budi, Prinsip Pembuktian Sederhana dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Nomor 3 Volume 8, September 2021, halaman 636.
[3] Ibid.
[4] Antonius Sidik Maryano, Ulil Afwa, Sindy Riani, Quo Vadis Esensi Lembaga PKPU Pasca-Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/PUU-XIX/2021, Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 3 Nomor, 4 April 2022, halaman 250.
[5] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), halaman 175-176.
[6] Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Mandar Maju, 2012), halaman 143.
[7] Munir Fuady, Supra notes nomor 4, halaman 175-176.
[8] Ibid.
[9] Edward Manik, Supra notes nomor 5, halaman 143.
[10] Ibid.
[11] Munir Fuady, Supra notes nomor 4, halaman 177.
[12] Ibid.
[13] Antonius Sidik Maryano, Ulil Afwa, Sindy riani, supra notes nomor 3, halaman 251.
[14] Munir Fuady, Supra notes nomor 4, halaman 177.