Narasumber: Theodora Pritadianing Saputri, S.H., LL.M.
Pada tahun 2020, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker”) telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu tujuan dari pembentukan UU Ciptaker ini adalah untuk meningkatkan kemudahan berusaha, perlindungan serta pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Hal ini mengingat usaha mikro dan kecil di Indonesia telah menyerap tenaga kerja yang begitu besar dan membantu pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Untuk dapat dikategorikan sebagai usaha mikro dan kecil sendiri, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yaitu sebagai berikut:
• Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak RP1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
• Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
• Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari RP1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp5.000.000.000.00, (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
• Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Salah satu usaha meningkatkan perlindungan serta pemberdayaan usaha mikro dan kecil adalah dengan memperbolehkan pembentukan Perseroan Perorangan yang merupakan badan usaha berbadan hukum atau yang selama ini dikenal dengan istilah perseroan terbatas. Bentuk badan usaha perseroan terbatas sendiri memiliki beberapa keunggulan yang dapat dinikmati oleh para pengusaha mikro dan kecil, termasuk, namun tidak terbatas pada, (1) kekayaan yang terpisah dari para pendirinya, (2) adanya tujuan dan kepentingan tersendiri, serta (3) memiliki organisasi yang teratur.
Berkenaan dengan kekayaan terpisah antara perseroan terbatas dengan Pendiri, perlu diingat bahwa Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”
Dengan demikian, ketika perseroan terbatas mengadakan perikatan dengan pihak ketiga, misalnya menutup perjanjian kredit dengan bank atau pihak ketiga, maka yang menjadi jaminan untuk perikatan perjanjian kredit tersebut hanyalah harta benda perseroan tidak termasuk harta benda Pendiri maupun pemegang saham. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU Ciptaker (“UUPT”) yang menyatakan bahwa Pendiri sekaligus pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas, artinya Pendiri atau pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimilikinya.4 Terdapat pengecualian terhadap tanggung jawab terbatas Pendiri atau pemegang saham ini sebagaimana yang dituangkan di dalam Pasal 3 (2) UUPT, antara lain, pemegang saham beritikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi dan pemegang saham secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan perseroan tidak dapat melunasi utangnya kepada pihak ketiga. Namun, prinsip umum bahwa tanggung jawab Pendiri atau pemegang saham perseroan terbatas terbatas pada modal yang disetorkan ke dalam perseroan tentunya merupakan keunggulan dan daya tarik tersendiri untuk menggunakan bentuk usaha perseroan terbatas dalam menjalankan kegiatan usaha.
Sebagai bentuk usaha pemberdayaan usaha mikro dan kecil, pengusaha mikro dan kecil, melalui UU Ciptaker, diperkenankan mendirikan perseroan terbatas, walaupun Pendirinya hanya seorang diri saja. Perlu dicatat, sebelum UU Ciptaker, salah satu syarat Pendirian perseroan terbatas adalah harus ada minimal 2 (dua) orang Pendiri. Perseroan Terbatas yang hanya didirikan oleh satu orang saja ini disebut dengan istilah Perseroan Perorangan. Ada beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam mendirikan Perseroan Perorangan ini, yaitu:
• Pendiri harus berusia minimal 17 tahun dan cakap hukum;
• Pendiri Perseroan wajib mengisi Pernyataan Pendirian melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH), yang berisikan data-data berikut ini:
o Nama dan tempat kedudukan Perseroan Perorangan.
o Jangka waktu berdirinya Perseroan Perorangan o Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
o Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor
o Nilai nominal dan jumlah saham
o Alamat Perseroan Perorangan; dan
o Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, nomor induk kependudukan dan NPWP dari pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham Perseroan Perorangan
• Memenuhi persyaratan permodalan, dimana modal dasar dari Perseroan Perorangan ini besarnya ditentukan oleh pendiri, sementara modal ditempatkan atau modal disetor harus minimal 25% dari modal dasar.
Perseroan Perorangan ini akan memperoleh status badan hukum pada tanggal Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada saat telah didaftarkan dan memperoleh bukti pendaftaran berupa sertifikat pendaftaran. 6 Dari persyaratan pendirian yang telah diungkapkan pada paragraf sebelumnya, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu mendapatkan perhatian khusus:
1. Pendiri Perseroan Perorangan dapat berusia minimal 17 tahun dan cakap hukum. Sementara ukuran kedewasaan sebagai salah satu ukuran cakap hukum berdasarkan KUHPerdata adalah 21 tahun. Belum lagi UU Jabatan Notaris yang mengharuskan penghadap berusia minimal 18 Tahun. Hal ini tentunya akan menimbulkan permasalahan hukum dalam penerapannya, seperti misalnya ketika pendiri yang juga bertindak sebagai Direktur, harus mewakili Perseroan Perorangan, untuk menandatangani akta perjanjian kredit di hadapan notaris atau perbuatan hukum lain atas nama Perseroan Perorangan yang harus dilakukan di hadapan notaris
2. Dalam syarat pendirian Perseroan Perorangan tersirat bahwa pendiri Perseroan Perorangan dapat juga memegang peranan sebagai direktur Perseroan Perorangan. Peluang untuk terjadinya benturan kepentingan disini sangat besar sehingga harus betul-betul dipastikan bahwa saat pendiri, yang sekaligus berperan sebagai direktur Perseroan, melakukan perbuatan hukum atas nama Perseroan Perorangan, perbuatan hukum tersebut dilakukan memang untuk kepentingan Perseroan Perorangan termasuk para pemangku kepentingan (stakeholders) Perseroan Perorangan, yang meliputi karyawan, pelanggan, maupun kreditur Perseroan Perorangan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi pendiri. Untuk hal ini, sebetulnya, Pasal 97 (5) UUPT, secara tersirat, menyatakan bahwa apabila direktur, ketika melaksanakan tugas dan wewenangnya memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan kerugian pada perseroan, maka direktur dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Tetapi mengingat bahwa salah satu keunggulan badan usaha berbadan hukum adalah adanya organisasi yang teratur, alangkah lebih baiknya jika posisi direktur Perseroan Perorangan diisi oleh individu selain pendiri itu sendiri.
3. Syarat bahwa besaran modal dasar yang ditetapkan berdasarkan keputusan para pendiri juga sebaiknya diterapkan secara hati-hati agar tidak digunakan oleh pendiri untuk menggunakan Perseroan Perorangan semata-mata untuk membatasi tanggung jawabnya hanya sebesar modal yang disertakan di dalam Perseroan Perorangan. Pendiri tetap harus memperhatikan kemampuan Perseroan Perorangan untuk menjalankan usaha dan memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga, khususnya kreditur. Jangan sampai dengan adanya ketentuan bahwa besaran modal dasar ditetapkan berdasarkan keputusan para pendiri, pendiri hanya menyetorkan modal seadanya kepada Perseroan Perorangan dan menggunakan Perseroan Perorangan sebagai tameng untuk melindungi harta pribadinya sehubungan dengan kewajiban melunasi pembiayaan yang diperoleh untuk menjalankan kegiatan usaha Perseroan Perorangan.
Dengan mempertimbangkan beberapa poin di atas, maka walaupun keberadaan Perseroan Perorangan ditujukan untuk memberikan kemudahan dan perlindungan hukum bagi para pengusaha dengan skala usaha mikro dan kecil, sosialisasi dan pengawasan terhadap penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Perseroan Perorangan dan perseroan terbatas perlu ditingkatkan agar keberadaan Perseroan Perorangan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai tameng untuk membatasi tanggung jawab dari pendiri Perseroan Perorangan atau untuk menutup akses kreditur terhadap harta pribadi pendiri Perseroan Perorangan ketika Perseroan Perorangan atau pengusaha UMK tidak dapat melunasi kewajibannya kepada kreditur.
Tersedia di: