Home / Uncategorized / Pro dan Kontra Keberlakuan Instruksi 1975 di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pro dan Kontra Keberlakuan Instruksi 1975 di Daerah Istimewa Yogyakarta

Narasumber : Raymond Candela

Pada tanggal 5 Maret 1975, Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan Instruksi Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Nonpribumi (selanjutnya disebut Instruksi 1975). Hingga saat ini, Instruksi 1975 tersebut masih diberlakukan khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut DIY), namun pemberlakuan Instruksi 1975 menyebabkan beberapa problematika dalam bidang pertanahan. Hal ini dikarenakan Instruksi 1975 bertentangan dengan substansi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Terhadap keberlakuan Instruksi 1975 yang menuai beberapa problematika, pada tahun 2018 Ombudsman melalui website resminya menyatakan bahwa pihaknya meminta kebijakan DIY yang melarang warga nonpribumi untuk memiliki hak milik atas tanah di DIY tidak lagi diberlakukan.[1] Kemudian, berdasarkan berita yang dilansir dari Detik News, dinyatakan pula bahwa warga nonpribumi tidak memiliki hak milik atas tanah di DIY.[2] Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa DIY sejatinya memang memiliki kebijakan yang melarang hak milik atas tanah bagi warga non pribumi. 

Dalam sejarahnya, pada abad ke-19 terdapat banyak pengusaha asing yang telah mengadakan usaha di DIY dan Surakarta, di mana kedua daerah tersebut disebut vorstenlanden.[3] Di daerah tersebut, semua tanah adalah milik raja, yang berarti rakyat hanya diperbolehkan untuk memakai.[4] Apabila tanah di daerah tersebut digunakan untuk pertanian, maka masyarakat wajib memberikan ⅓ (satu per tiga) dari hasil pertaniannya kepada raja.[5] Selain itu, raja juga diberi kewenangan untuk memberikan tanah tersebut kepada anggota keluarga dan para abdinya, sehingga mereka dapat merasakan hak yang sama seperti raja. Kewenangan tersebut dikenal dengan sebutan stelsel apanage.[6] Seiring dengan berjalannya waktu, raja dan para pemegang apanage kerap kali menyewakan tanahnya kepada pengusaha asing untuk usaha pertanian. Hal ini menimbulkan keadaan yang sangat menyedihkan bagi masyarakat yang bekerja sebagai petani karena harus memberikan hasil tanahnya kepada raja, para pemegang apanage, dan pengusaha asing.[7] Akan tetapi, pada akhirnya stelsel apanage tersebut dihapuskan dan semua tanah diambil kembali oleh raja serta masyarakat diberikan hak atas tanah tanpa kewajiban memberikan hasil pertanian kepada para pemegang apanage. Tujuan dari dihapusnya stelsel apanage tersebut adalah memberikan kedudukan yang layak kepada petani.[8] Meskipun stelsel apanage telah dihapuskan, kehadiran instrumen aturan berupa Instruksi 1975 juga memiliki kemiripan dengan stelsel apanage yang hanya memberikan kepemilikan tanah secara terbatas, yakni kepada WNI pribumi.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa DIY merupakan salah satu provinsi yang dianggap istimewa oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.[9] DIY dapat disebut sebagai daerah istimewa karena adanya asal-usul dan sejarah daerah tersebut sejak sebelum Indonesia merdeka dan adanya kebutuhan politiknya yakni, Sultan sebagai pemegang otoritas pemerintahan.[10] Selain itu, DIY merupakan salah satu provinsi yang diberi kewenangan secara khusus oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur wilayahnya sendiri melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut UU Pembentukan DIY). UU Pembentukan DIY memberikan kewenangan kepada Pemerintah DIY untuk mengatur pertanahan di wilayahnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) romawi III UU Pembentukan DIY. Dengan adanya kewenangan tersebut, Pemerintah DIY mengeluarkan Instruksi 1975. Kewenangan pemerintah DIY untuk mengatur pertanahan di wilayahnya sendiri juga ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut UU Keistimewaan DIY). Adapun, isi dari Instruksi 1975 yang masih berlaku saat ini menyatakan bahwa:

“Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada seorang WNI nonpribumi, dengan ini diminta: Apabila ada seorang WNI nonpribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak.”

Berdasarkan rumusan di atas dapat diketahui bahwa WNI nonpribumi tidak dapat memiliki hak milik atas tanah di DIY. Selain itu, dapat ditafsirkan bahwa tujuan dari Instruksi 1975 adalah untuk melindungi tanah-tanah di DIY. Akan tetapi, ketentuan dalam Instruksi 1975 tersebut memiliki permasalahan, yaitu bertentangan dengan substansi UUPA.

Meskipun terdapat ketentuan dalam Instruksi 1975 yang bertentangan dengan substansi UUPA, di satu sisi Prof. Nurhasan Ismail memberikan pandangannya terkait diterbitkannya Instruksi 1975. Menurut Beliau, DIY diberikan keistimewaan untuk membatasi kepemilikan tanah sebagaimana diatur dalam UUPA bagi WNI nonpribumi. Pembatasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Instruksi 1975. Dalam Pasal 11 ayat (2) UUPA sendiri mengatur bahwa diperbolehkan adanya perbedaan norma hukum sepanjang terdapat kepentingan sosial ekonomi.[11] Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sejak tahun 1950, terdapat kepentingan sosial ekonomi di DIY yang mengakibatkan DIY mengeluarkan Instruksi 1975. Artinya, sekalipun Instruksi 1975 bertentangan dengan UUPA, Instruksi 1975 tetap dapat dibenarkan karena adanya kepentingan sosial ekonomi yang ingin dipenuhi.

Pertentangan antara Instruksi 1975 dengan UUPA terjadi karena kehadiran Instruksi 1975 menimbulkan dualisme hukum. Dalam Penjelasan Umum III Nomor (1) UUPA dijelaskan bahwa salah satu tujuan dibentuknya UUPA adalah mengubah dualisme hukum mengenai pertanahan di Indonesia menjadi sistem hukum pertanahan yang terunifikasi. Selain itu, UUPA sebagai undang-undang yang berlaku dalam skala nasional mempunyai arti bahwa seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tunduk pada UUPA tanpa terkecuali. Dualisme hukum yang dimaksud adalah adanya perbedaan pengaturan tentang tanah di DIY dengan daerah lainnya. Akan tetapi, masalah yang akan muncul dari keberlakuan Instruksi 1975 adalah perbedaan hak atas tanah bagi WNI nonpribumi, di mana WNI nonpribumi hanya dapat memperoleh hak guna bangunan dan hak pakai. 

Dalam Instruksi 1975, WNI nonpribumi tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan bahwa negara hanya dapat menguasai tanah, yang mana kewenangan untuk menguasai tersebut meliputi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dalam hal pemeliharaan bumi, air, serta ruang angkasa. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat terlihat bahwa pada dasarnya negara tidak mempunyai hak untuk memiliki tanah, tetapi hanya dapat menguasai tanah di Indonesia. Selain itu, menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA, disebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa dalam UUPA tidak membedakan antara WNI pribumi dan WNI nonpribumi. Selama seseorang merupakan WNI, maka orang tersebut berhak mempunyai hak milik atas tanah. Akan tetapi, ketentuan dari Instruksi 1975 justru kontradiktif dengan UUPA. Dengan adanya larangan bagi WNI nonpribumi untuk dapat memiliki hak milik atas tanah dapat menimbulkan pertanyaan, apakah Instruksi 1975 menimbulkan diskriminasi bagi WNI nonpribumi?

Pada dasarnya, pembatasan kepemilikan tanah dalam Instruksi 1975 dilatarbelakangi dengan tujuan melindungi WNI pribumi dari WNI nonpribumi yang dianggap sebagai golongan dengan ekonomi kuat.[12] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari pribumi adalah penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan.[13] Sementara itu, definisi dari nonpribumi adalah yang bukan penduduk asli suatu negara setempat atau yang bukan pribumi.[14] Dikarenakan nonpribumi bukan merupakan penduduk asli suatu negara, maka Instruksi 1975 hanya memberikan perlindungan kepada WNI pribumi untuk mendapatkan haknya atas tanah. Dengan berlakunya Instruksi 1975 di DIY ini yang kemudian menimbulkan pro dan kontra dari beberapa pihak. Terdapat beberapa pihak yang setuju bahwa berlakunya Instruksi 1975 merupakan diskriminasi dan diskriminasi positif.

Di satu sisi, dalam Surat Keterangan Pemprov DIY No.593/00531/RO.I/2012  menyatakan bahwa Instruksi 1975 bertujuan untuk melindungi WNI pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih kepada WNI nonpribumi. Perlindungan semacam itu termasuk dalam affirmative policy yang tujuannya untuk melindungi WNI pribumi.[15] Affirmative policy adalah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar kelompok tertentu memperoleh peluang yang setara dengan golongan lain dalam bidang yang sama.[16] Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa affirmative policy mempunyai tujuan yang sama dengan diskriminasi positif, yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan  kelompok tertentu yang tidak terwakili secara lebih baik.[17] Hal ini masih berkaitan dengan aspek ekonomi, di mana tujuan Pemerintah adalah melindungi tanah-tanah di DIY dari WNI nonpribumi yang dirasa lebih mampu untuk bisa membeli tanah dan menjadikannya sebagai hak milik atas tanah.[18] Artinya, dapat diketahui bahwa ketentuan dalam Surat Keterangan Pemprov DIY No.593/00531/RO.I/2012 dapat dikatakan sebagai diskriminasi positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Nurhasan Ismail di atas bahwa Instruksi 1975 membatasi kepemilikan tanah di DIY karena adanya kebutuhan sosial ekonomi yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, Instruksi 1975 dianggap sebagai diskriminasi positif terhadap WNI pribumi.[19]

Di sisi lain, dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) ditegaskan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi. Akan tetapi, Instruksi 1975 yang membatasi hak milik atas tanah terhadap WNI nonpribumi justru menimbulkan masalah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia berupa diskriminasi. Definisi diskriminasi diatur secara tegas dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:

“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa pemberlakuan Instruksi 1975 di DIY termasuk sebagai bentuk diskriminasi secara langsung terhadap WNI nonpribumi yang menyebabkan WNI nonpribumi tidak dapat memiliki hak milik atas tanah. Hal ini dikarenakan Instruksi 1975 masih menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi yang secara langsung membedakan seseorang atas dasar perbedaan ras. Hal tersebut yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia berupa diskriminasi dalam kehidupan sosialnya. Apabila merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi (selanjutnya disebut Instruksi Presiden No. 26/1998), penggunaan kata-kata pribumi dan nonpribumi sudah dihentikan, sehingga seharusnya pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh WNI dalam segala hal. 

Selanjutnya, beberapa pihak juga berpandangan bahwa Instruksi 1975 merupakan diskriminasi secara langsung karena adanya perbedaan penggolongan antara golongan ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Meskipun dalam Pasal 11 ayat (2) UUPA memberikan perlindungan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah dalam kepemilikan tanah. Hal tersebut sudah tidak relevan karena menurut pendapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM), Instruksi 1975 bertentangan dengan hak asasi manusia karena tidak semua warga negara keturunan Tionghoa memiliki latar belakang ekonomi kuat.[20] Selain pendapat dari Komnas HAM, Ombudsman Republik Indonesia juga merekomendasikan agar pejabat pada kantor pertanahan di DIY menerbitkan sertifikat hak milik untuk WNI nonpribumi yang telah memenuhi persyaratan.[21]

Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara para pihak sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa penggolongan WNI yang terbagi menjadi WNI pribumi dengan WNI nonpribumi sudah tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini. Hal ini mengingat bahwa dalam Pasal 28I UUD NRI 1945 serta Instruksi Presiden No. 26/1998 telah melarang penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi. Akan tetapi, Instruksi 1975 justru menghidupkan kembali istilah pribumi dan nonpribumi. Dengan kata lain, Instruksi 1975 bertentangan dengan Pasal 28I UUD NRI 1945 serta Instruksi Presiden No. 26/1998. Adapun, menurut hemat penulis, Instruksi 1975 tersebut termasuk aturan yang bersifat diskriminatif terhadap WNI nonpribumi karena WNI nonpribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di DIY, sedangkan untuk WNI pribumi diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di DIY. Hal ini didasari dengan alasan bahwa WNI nonpribumi dianggap sebagai golongan ekonomi kuat, sedangkan WNI pribumi dianggap sebagai golongan ekonomi lemah dan harus dilindungi. Padahal, pada kenyataannya tidak semua WNI nonpribumi memiliki latar belakang ekonomi yang kuat.

Selain DIY, terdapat daerah di Indonesia yang juga diberi kewenangan untuk membuat peraturannya sendiri. Daerah tersebut adalah Aceh dan Papua. Kewenangan yang dimiliki oleh Aceh dan Papua tersebut muncul melalui keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Akan tetapi, dalam kedua undang-undang tersebut tidak ada satu pun ketentuan yang memperbolehkan, baik pemerintah Aceh maupun Papua untuk mengatur tanahnya sendiri karena sudah seharusnya segala hal yang berkaitan dengan tanah tunduk pada ketentuan UUPA. Oleh karena itu, menurut penulis, seharusnya pemerintah DIY dalam membuat peraturan tentang pertanahan tidak boleh bertentangan dengan UUPA yang telah berlaku secara nasional, agar tidak menimbulkan negara dalam negara yang berakibat buruk bagi Indonesia.

Walaupun Instruksi 1975 menyebabkan beberapa problematika di DIY, Pemerintah DIY dan Pemerintah Indonesia masih mengakui keberlakuan dari Instruksi 1975. Akan tetapi, sekalipun keberadaannya tetap diakui, beberapa pihak pernah mengajukan upaya hukum terhadap Instruksi 1975, salah satunya adalah permohonan uji materi yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi, permohonan uji materi tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung karena Instruksi 1975 dinilai bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[22] Selain itu, seorang WNI juga pernah melakukan upaya hukum dengan menggugat Instruksi 1975 ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi, Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan tidak dapat mengadili gugatan tersebut karena Instruksi 1975 tersebut bukan merupakan diskresi.[23] Oleh karena itu, dapat terlihat bahwa telah terdapat beberapa upaya hukum yang telah dilakukan oleh beberapa pihak, tetapi upaya tersebut ditolak oleh hakim.

Pengaturan DIY sebagai daerah istimewa yang diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri didukung dengan sejarah DIY yang merupakan daerah vorstenlanden, sehingga dapat dipahami bahwa kekuasaan untuk mengatur tentang pertanahan berada di tangan Sultan. Akan tetapi, menurut penulis seharusnya Sultan di DIY telah menyadari bahwa keberlakuan Instruksi 1975 merupakan bukti adanya tindakan diskriminasi terhadap WNI nonpribumi. Selain itu, pemberlakuan Instruksi 1975 juga menunjukan adanya pertentangan terhadap ketentuan UUPA yang merupakan induk dari peraturan pertanahan di Indonesia. Walaupun telah ada beberapa upaya hukum yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi tetap saja upaya hukum tersebut tidak dapat mencabut Instruksi 1975. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa sudah sepantasnya Sultan di DIY sendiri yang mencabut kebijakan Instruksi 1975 serta melakukan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terlebih ketentuan mengenai pertanahan. Selain itu, solusi lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf d UU Keistimewaan DIY yang memberi kewenangan kepada pemerintah DIY untuk mengatur tentang pertanahannya sendiri.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6803).
  • Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi.
  • Surat Edaran Wakil Kepala Daerah DIY PA VIII No. 898/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Nonpribumi.
  • Surat Keterangan Pemprov DI Yogyakarta No.593/00531/RO.I/2012.

Referensi:

[1] Ombudsman, Hapus Diskriminasi di DIY, https://www.ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwk–hapus-diskriminasi-di-diy, (diakses pada 10 Oktober 2023).

[2] Abraham Utama, Etnis Cina dan India Ihwal Larangan Pemilikan Tanah di Yogyakarta: Yang Berjuang dan Yang ‘Nrimo’, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44312524 (diakses pada 10 Oktober 2023).

[3] Boedi Harsono,  Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2019), halaman 91.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid., halaman 92.

[8] Ibid.

[9] Fredy Haryanto Subadijo, Skripsi: Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Salatiga: Sarkama Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), halaman 3.

[10] Ibid., halaman 82.

[11] Nurwidyanto, Implementasi Kebijakan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Hak Atas Tanah bagi Warga Keturunan, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Volume 6-Nomor 3, Agustus 2020, halaman 332.

[12] Ibid., halaman 335.

[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pribumi, (diakses pada 23 Januari 2023)

[14] Kamus Besar Bahasa Indonesia https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nonpribumi, (diakses pada 23 Januari 2023)

[15] Boris Tampubolon, Affirmative Action (Diskriminasi Positif) dalam Penegakan HAM, https://www.hukumonline.com/klinik/a/iaffirmative-action-i-diskriminasi-positif-dalam-penegakan-ham-lt571f780f91d00/# (diakses pada 9 Agustus 2023).

[16] Andreas Fitri Atmoko, Fakta-fakta soal gugatan peraturan WNI keturunan China ‘tidak mungkin punya hak milik tanah’ di Yogyakarta, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50498260, (diakses pada 23 Januari 2023).

[17] Boris Tampubolon, supra note nomor 15.

[18] Maulida Illiyani, Polemik Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Pasca-Penerbitan Undang-Undang No.13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta), Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23-Nomor 3, Desember 2020, halaman 376.

[19] Aji Prasetyo, Instruksi 1975 Diskriminasi Positif?, https://www.hukumonline.com/stories/article/lt631ee459a53b1/instruksi-1975-diskriminasi-positif/#! (diakses pada 27 September 2023).

[20] Afan Husni Maulana, Larangan Kepemilikan Tanah Bagi WNI Keturunan Tionghoa di Yogyakarta Perspektif Hukum Positif, Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam, Volume 1-Nomor 2, Desember 2021, halaman 197.

[21] Aji Prasetyo, supra note nomor 17, halaman 1.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

Tersedia di:

Spotify

Anchor

Google Podcast