Perbedaan Restitusi dan Kompensasi Bagi Korban Tindak Pidana
Penulis: Eugenia Priska Labaran
Proses penegakan hukum melalui peradilan pidana tidak hanya terfokus dalam pemberian sanksi pidana terhadap pelaku. Selain pemberian sanksi pidana kepada pelaku, peradilan pidana juga mengakomodasi kepentingan dan hak-hak korban, salah satunya melalui pemberian ganti rugi terhadap korban.[1] Dalam hukum acara pidana, ganti kerugian terhadap korban terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni restitusi dan kompensasi.
Pada dasarnya, baik restitusi maupun kompensasi sama-sama ditujukan kepada korban, hanya saja terdapat beberapa perbedaan antara restitusi dan kompensasi. Menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2022), pihak yang mengajukan permohonan restitusi kepada Pengadilan adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK), penyidik, penuntut umum, maupun korban. Selanjutnya, menurut Pasal 5 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 2022 apabila korban adalah anak, maka pihak yang mengajukan restitusi dilakukan oleh orang tua, keluarga, wali, ahli waris atau kuasanya, atau LPSK. Sedangkan, menurut Pasal 18 huruf c Perma No. 1 Tahun 2022, permohonan kompensasi wajib diajukan melalui LPSK.
Pihak yang memberikan ganti kerugian berupa kompensasi menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (selanjutnya disebut PP No. 35 Tahun 2020) jo Pasal 1 angka 2 Perma No. 1 Tahun 2022 menyatakan bahwa:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
Sementara itu, Pasal 1 angka 5 PP No. 35 Tahun 2020 jo Pasal 1 angka 1 Perma No. 1 Tahun 2022 merumuskan pihak pemberi restitusi sebagai:
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.”
Oleh karena itu, ganti kerugian berupa kompensasi diberikan oleh negara dan restitusi diberikan oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.
Selanjutnya, terdapat 2 (dua) mekanisme pengajuan ganti kerugian berupa restitusi bagi korban maupun keluarga korban, yakni melalui pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi sebelum maupun sesudah putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap.[2] Hal ini berbeda dengan cara untuk memperoleh kompensasi yang menurut Pasal 19 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2022 diatur sebagai berikut:
“Permohonan Kompensasi hanya dapat diajukan sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal:
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia; dan
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Negara Republik Indonesia.”
Berdasarkan pemaparan di atas, restitusi dapat diajukan baik sebelum maupun sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, sedangkan dalam kompensasi pada dasarnya hanya dilakukan sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Baik restitusi maupun kompensasi memiliki bentuk ganti kerugian yang berbeda satu sama lain. Dalam Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2022 mengatur sebagai berikut:
“Korban berhak memperoleh restitusi berupa:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan;
- ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
- penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis;
- kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.”
Hal ini berbeda dengan pengaturan ganti kerugian berupa kompensasi, menurut Pasal 17 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2022 yang diatur sebagai berikut:
“Korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme berhak memperoleh kompensasi berupa:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan;
- ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana termasuk luka atau kematian;
- penggantian biaya perawatan dan/ atau pengobatan; dan
- ganti kerugian materiil dan immateriil lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.”
Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa ganti kerugian restitusi mencakup ganti kerugian di luar tindak pidana yang dialami korban, misalnya biaya yang berhubungan dengan proses hukum. Sedangkan ganti kerugian pada kompensasi hanya ditujukan untuk kerugian yang berkaitan langsung dari suatu tindak pidana yang dialami.
Selain perbedaan mengenai bentuk kerugian, pengadilan yang mengadili masalah ganti kerugian kompensasi dan restitusi juga berbeda. Menurut Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 2022 mengatur sebagai berikut:
“Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan restitusi adalah pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana.”
Kemudian, Pasal 16 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2022 merumuskan:
“Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mengadili pelaku tindak pidana.”
Berdasarkan rumusan Pasal 3 dan Pasal 16 ayat (1) dan (2) Perma No. 1 Tahun 2022 tersebut, maka tampak bahwa pengadilan yang berwenang mengurusi ganti kerugian terhadap suatu tindak pidana berbeda. Akan tetapi, selain menjelaskan mengenai pengadilan yang berwenang, pasal tersebut juga menjelaskan mengenai bentuk tindak pidana yang mempengaruhi jenis ganti kerugian yang diberikan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa baik restitusi maupun kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan terhadap korban suatu tindak pidana. Akan tetapi terdapat perbedaan antara restitusi dengan kompensasi yakni dalam hal pihak yang mengajukan, pihak yang memberikan ganti kerugian, dan mekanisme. Selanjutnya perbedaan lainnya antara restitusi dan kompensasi juga dapat dilihat dari bentuk ganti kerugian yang diberikan, pengadilan yang mengadili masalah ganti kerugian, serta tindak pidana yang membedakan jenis ganti kerugian yang diperoleh korban.
Dasar Hukum:
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6537).
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 225).
Referensi:
[1] Rena Yulia, Mengkaji Kembali Posisi Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Mimbar Hukum, Volume 28-Nomor 1, Februari 2016, halaman 41.
[2] Alvianto R.V. Ransun, Mekanisme Pemberian Kompensasi dan Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana, Lex Crimen, Volume 1-Nomor 1, Januari 2012, halaman 68.