Perbedaan Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf dalam Hukum Pidana
Penulis: Daffa Dhiya
Dalam hukum pidana terdapat keadaan-keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seorang pelaku pidana, hingga hakim pun tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tersebut atau yang disebut juga sebagai dasar-dasar yang meniadakan hukuman.[1] Dalam “dasar-dasar yang meniadakan hukuman” terdapat dua jenis alasan yang masuk ke dalam kategori tersebut, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar dan alasan pemaaf merupakan alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang menyebabkan seseorang tidak dapat dipidana/dijatuhi hukuman.
Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan. Jenis-jenis alasan pembenar adalah: [2]
a. daya paksa (Pasal 48 KUHP);
b. pembelaan terpaksa (Pasal 49 Ayat (1) KUHP);
c. sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan
d. sebab menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat (1) KUHP)
Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan unsur kesalahan dalam diri pelaku. Pada umumnya, pakar hukum mengkategorikan suatu hal sebagai alasan pemaaf, yaitu:[3]
a. ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);
b. daya paksa (Pasal 48 KUHP);
c. pembelaaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 Ayat (2) KUHP); dan
d. menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 Ayat (2) KUHP)
Sebagai kesimpulan, alasan pemaaf berarti alasan yang menghapuskan kesalahan dari pelaku tindak pidana. Sementara itu, alasan pembenar berarti alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana. Selain itu, alasan pemaaf bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Sedangkan alasan pembenar bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pelaku. [4]
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Staatsblad 1915 No. 732).
Referensi:
[1] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), halaman 391.
[2] Schaffmeister D, Keijzer N, PH E. Sutorius, Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), halaman 139-140.
[3] Doddy Makanoneng, Cacat Kejiwaan sebagai Alasan Penghapus Pidana, Lex Crimen, Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016, halaman 132-133.
[4] Tri Jata Ayu Pramesti, Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang-gila-bisa-dipidana/(diakses pada 19 Februari 2021).