Perbedaan Akta Otentik dan Akta dibawah Tangan
Penulis: Gloria Beatrix
Dalam bidang Hukum Perdata dikenal 2 (dua) jenis akta yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan.[1] Hal ini tercantum dalam Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyebutkan :
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.”
Berdasarkan pasal tersebut, maka akta otentik maupun akta dibawah tangan memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai alat bukti berupa tulisan-tulisan. Namun, dalam penerapannya akta otentik dan akta di bawah tangan ini memiliki perbedaan. Perbedaan ini terkait dengan cara pembuatan, bentuk, dan kekuatan pembuktian yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Dalam Pasal 1868 KUHPer disebutkan bahwa :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.”
Berdasarkan dengan pasal tersebut, maka akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang atau dibentuk oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Pejabat yang berhak untuk membentuk suatu akta otentik tidak hanya notaris, tetapi semua pejabat tertentu yang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan akta tersebut.[2] Contohnya adalah Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) atau Pejabat Dinas Pencatatan Sipil yang bertugas untuk membentuk akta nikah serta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas untuk membentuk akta jual beli tanah.[3] Hal ini dikarenakan akta otentik dibentuk oleh pejabat tertentu yang memiliki wewenang sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat di pengadilan.[4] Apabila akta tersebut dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, maka akta itu tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik. Hal tersebut berdasarkan pada Pasal 1869 KUHPer yang berbunyi:
“Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.”
Oleh karena itu, jika suatu akta dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, maka akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak.
Sementara, akta dibawah tangan berdasarkan dengan Pasal 1874 KUHPer adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Akta dibawah tangan ini biasanya digunakan dalam suatu perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain yang ditandatangani oleh para pihak tanpa adanya perantara pejabat umum.[5] Oleh karena itu, kekuatan pembuktian dari suatu akta dibawah tangan tidak sesempurna akta otentik.[6] Perbedaan terkait hal tersebut, akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna secara lahiriah baik formal maupun materiil.[7] Oleh karena itu, hakim tidak perlu lagi menguji kebenarannya, kecuali terdapat adanya bukti lawan yang membuktikan sebaliknya dari akta tersebut.[8] Namun, berbeda dengan akta dibawah tangan yang merupakan alat bukti bebas sehingga hakim bebas untuk menentukan bukti tersebut dapat diterima atau tidak.[9] Walaupun begitu, suatu akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan pembuktian formal dan materiil jika kedua belah pihak dalam akta telah mengakui kebenarannya.[10]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa baik akta otentik maupun akta dibawah tangan merupakan alat bukti berupa tulisan. Namun, terdapat perbedaan dalam hal keterlibatan pejabat umum dalam pembuatannya. Selain itu juga, terdapat perbedaan mengenai kekuatan pembuktian di pengadilan terhadap akta otentik dengan akta dibawah tangan.
Dasar Hukum :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Burgelijk Wetbook voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).
Referensi :
[1] Kedudukan dan Fungsi Akta di Bawah Tangan yang di Legalisasi Notaris, Ghita Aprillia Tulenan, Lex Administratum, Volume II – Nomor 2, April – Juni 2014, halaman 122.
[2] Ibid., halaman 123.
[3] Ibid.
[4] Ibid., halaman 127.
[5] Kekuatan Akta Di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan, Richard Cisanto Palit, Lex Privatum, Volume 3 – Nomor 2, April – Juni 2015, halaman 137.
[6] Ibid., halaman 141.
[7] Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat Oleh Notaris Selaku Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia, Dedy Pramono, Lex Jurnalica, Volume 12 – Nomor 3, Desember 2015, halaman 251.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.