Penjaminan Utang dengan Crypto Asset

Penulis: Shannon Lorelei Wibowo

Perkembangan inovasi finansial membuat orang atau badan dipermudah dalam mendapatkan dana pinjaman melalui peer-to-peer lending. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjaman Uang Berbasis Teknologi Informasi, peer-to-peer lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pada dasarnya dalam penjaminan utang diperlukan perlindungan bagi kreditur. Hal ini diatur dalam Pasal 1131, 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia). Di dalam pasal tersebut dijelaskan apabila debitur lalai dan tidak mampu melunasi utangnya maka debitur menyerahkan jaminan. Kreditur dapat memperoleh pelunasan atas piutang tersebut dari jaminan yang diberikan debitur. Seiring berkembangnya teknologi, aset mata uang hadir dalam bentuk digital salah satunya Crypto. Maraknya penggunaan  Crypto ini membuat banyak orang bertanya apakah hal ini bisa dijadikan jaminan utang atau tidak. Pertama-tama perlu diketahui bahwa syarat suatu benda dapat dijadikan objek jaminan adalah benda yang dapat dipindahtangankan dan memiliki nilai ekonomis. Pengertian kebendaan diatur berdasarkan Pasal 499 KUHPerdata yang menyebutkan:

“Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.”

Prof. M. Isnaeni, menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat dijadikan objek hak milik ciri-cirinya adalah pemegang hak milik dapat leluasa melakukan perbuatan hukum misalnya menjual, menghibahkan, menyewakan dan menjaminkan.[1] Sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata, utang dapat dijaminkan dengan segala barang bergerak dan yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur. Sebagaimana diatur dalam Pasal 503 KUHPerdata Aset Kripto (Crypto Asset) termasuk di dalam benda yang tidak berwujud dan memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dijadikan objek jaminan. Pengertian Crypto merujuk Pasal 1 Ayat (7) Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka yang menyebutkan:

“Aset Kripto (Crypto Asset) yang selanjutnya disebut Aset Kripto adalah Komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.”

Crypto Asset hanya dapat diperdagangkan apabila telah ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (yang selanjutnya disebut Bappebti) dalam daftar Crypto Asset yang diperdagangkan di Pasar Fisik Crypto Asset. Karakteristik dari Crypto Asset yakni bersifat global dan digital yang dilakukan secara peer to peer  yang berarti transaksi yang dimaksud terjadi antara satu orang dan satu lainnya dilakukan secara online. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka resiko dari penjaminan Crypto Asset yakni nilainya yang berfluktuasi, kegagalan sistem dan ada kemungkinan Crypto Asset akan dicuri jika exchange para pengguna Crypto Asset mengalami kebangkrutan.

Crypto Asset memiliki hak kebendaan berupa hak jaminan atau jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan yang bersifat umum, namun hal ini sulit untuk diterapkan dalam jaminan Crypto Asset sebagai benda. Hal ini karena tidak dimungkinan eksekusi dalam pelunasan utang oleh kreditur meskipun adanya putusan pengadilan karena Crypto Asset bersifat online dan menggunakan data pribadi debitur sehingga kreditur tidak memiliki akses terhadap wallet debitur kecuali diberikan oleh debitur itu sendiri. Pembebanan jaminan dalam Crypto Asset  dapat diterapkan pada jaminan kebendaan yang bersifat khusus terhadap benda bergerak yakni gadai dan jaminan fidusia. Jika debitur menjaminkan Crypto Asset yang dimilikinya dapat melalui lembaga jaminan gadai dan jaminan fidusia sesuai dengan kesepakatan dengan kreditur dalam pembebanan. Hak jaminan gadai berdasarkan pasal 1152 KUHPerdata menegaskan bahwa:

“Hak gadai atas barang bergerak yang berwujud dan atas piutang bawa timbul dengan cara menyerahkan gadai itu kepada kekuasaan kreditur atau orang yang memberikan gadai atau yang dikembalikan atas kehendak kreditur.”

Dalam Crypto Asset, jaminan gadai dapat diterapkan karena karakteristik dari Crypto Asset memenuhi unsur-unsur dalam gadai yang melindungi kepentingan kreditur. Salah satunya adalah inbezitstelling yaitu benda yang digadaikan berada dalam penguasaan kreditur. Bukti simpan kepemilikan Crypto Asset berada pada pengelola tempat penyimpanan Crypto Asset maka tidak bertentangan dengan Pasal 1152 KUHPerdata jika dibebankan jaminan gadai. Namun, dengan syarat kreditur memblokir Crypto Asset tersebut agar tidak dapat dialihkan dan dibuatkan kuasa untuk pencairan kepada kreditur apabila debitur wanprestasi. Sedangkan dalam jaminan fidusia, pembebanan Crypto Asset penguasaan benda yang dijaminkan tetap berada di penguasaan debitur. Dalam penjaminan fidusia Crypto Asset harus didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dimana wajib dibuat Akta Fidusia oleh Notaris dan didaftarkan ke Kantor Pemdaftaran Fidusia. Dalam penjaminan fidusia memiliki kekurangan yakni kreditur dapat dirugikan karena dalam eksekusi Crypto Asset yang dijaminkan apabila debitur wanprestasi perlu mendapatkan akses terhadap wallet debitur. Sesuai dengan Pasal 1 Angka (1) UU Jaminan Fidusia bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda, yang mana Crypto Asset sebagai agunan tetap berada di bawah penguasaan debitur.

Penggadaian Crypto Asset dilakukan setelah ada izin dari Bappebti untuk mendapatkan perlindungan sebagai konsumen. Sistem dalam gadai Crypto Asset mengikuti mekanisme gadai saham yaitu dengan menggunakan wallet baru yang menampung sejumlah Crypto Asset yang dijaminkan dengan di bawah penguasaan kreditur atas kesepakatan bersama. Namun sebelum menggadaikan Crypto Asset perlu dicermati mengenai perjanjian yang mengatur eksekusi atau likuidasi apakah menyentuh rentang harga tertentu karena voltalitas Crypto Asset dapat merugikan debitur karena apabila terlikuidasi harga Crypto Asset menyentuh harga likuidasi hanya dalam sesaat. Sehingga dapat disimpulkan Crypto Asset dapat dijadikan jaminan utang secara gadai dan fidusia namun perlu digarisbawahi kembali bahwa nilai Crypto yang berfluktuasi membuat dalam prakteknya hanya dijadikan agunan tambahan saja bukan agunan pokok.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, (Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 1999 Nomor 168 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889).
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 80, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5691).
  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjaman Uang Berbasis Teknologi Informasi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324).
  • Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka.

Referensi:

[1] Agung Sujatmiko, Peran dan Arti Penting Perjanjian Lisensi dalam melindungi Merek Terkenal, Mimbar Hukum, Februari 2010, halaman 121.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...