Home / Uncategorized / Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Apa Syarat-Syaratnya?

Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Apa Syarat-Syaratnya?

Penulis: Muhammad Adam Zafrullah

Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Apa Syarat-Syaratnya? Penulis: Muhammad Adam Zafrullah
Keadilan restoratif atau yang biasa dikenal dengan restorative justice merupakan suatu wujud dari keadilan yang berpusat pada pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat.[1] Pengertian lain mengenai restorative justice juga dijelaskan oleh Tony Marshall. Menurut Tony Marshall, restorative justice adalah proses ketika para pihak yang berhubungan dengan suatu tindak pidana secara bersama-sama memecahkan masalah dan menangani akibat di waktu yang akan datang.[2] Pengertian restorative justice di Indonesia dijelaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi:
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Selain itu, restorative justice juga dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Peraturan Kepolisian 8/2021) dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Peraturan Kejari 15/2020). Sesuai dengan beberapa pengertian di atas, secara sederhana restorative justice merupakan proses penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pihak yang terkait dalam suatu tindak pidana untuk mencari cara penyelesaian yang adil dengan mengupayakan pemulihan pada keadaan semula dan bukan hanya pembalasan bagi pelaku. Lantas, apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi agar restorative justice dapat diterapkan?
Peraturan mengenai syarat-syarat untuk menerapkan restorative justice diatur dalam Peraturan Kepolisian 8/2021 dan Peraturan Kejari 15/2020. Syarat yang dimuat dalam Peraturan Kepolisian 8/2021 akan diterapkan pada saat penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan. Sementara itu, syarat yang dimuat dalam Peraturan Kejari 15/2020 akan diterapkan ketika tahap penuntutan oleh penuntut umum. Berdasarkan Peraturan Kepolisian 8/2021 dapat diketahui bahwa untuk menerapkan restorative justice terdapat persyaratan umum dan/atau khusus. Persyaratan khusus menjelaskan mengenai persyaratan

tambahan bagi tindak pidana tertentu seperti narkoba, lalu lintas, serta informasi dan transaksi elektronik. Sementara itu, persyaratan umum terdiri atas syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil dijelaskan dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Kepolisian 8/2021 yang berbunyi:
“Persyaratan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, meliputi:
a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
b. tidak berdampak konflik sosial;
c. tidak berpotensi memecah belah bangsa;
d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan
f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak
pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.”
Kemudian, mengenai syarat formil dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepolisian 8/2021 yang berbunyi:
“Persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:
a. perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba; dan
b. pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidana
narkoba.”
Lebih lanjut, dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Kepolisian 8/2021 menjelaskan maksud dari pemenuhan hak-hak korban di atas, yaitu dapat berupa mengembalikan barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana, dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi jika akan menerapkan restorative justice. Syarat tersebut seperti terdapat kesepakatan diantara para pihak untuk melakukan perdamaian, bukan pengulangan tindak pidana, telah terpenuhinya hak-hak korban, dan penerapan restorative justice ini tidak mendapat penolakan dari masyarakat, serta bukan untuk kejahatan-kejahatan tertentu.
Selanjutnya, syarat-syarat mengenai penerapan restorative justice ketika dalam tahap penuntutan dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 yang berbunyi:
“Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana
penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”

Namun, untuk tindak pidana terkait harta benda, tindak pidana terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan, serta jika tindak pidana dilakukan karena kelalaian, maka syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 dapat disimpangi sebagian. Oleh karena itu, penerapan syarat-syarat tersebut tidak diberlakukan secara kaku, melainkan dapat dikesampingkan dalam perkara tertentu.
Selain 3 (tiga) syarat yang telah disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020, pelaksanaan restorative justice juga harus memenuhi beberapa syarat lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (6) Peraturan Kejari 15/2020 yang berbunyi:
“…..penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka
dengan cara:

  1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban;
  2. mengganti kerugian korban;
  3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
  4. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
    b. telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka; dan
    c. masyarakat merespon positif”

Akan tetapi, pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam Peraturan Kerjari 15/2020 ini memiliki beberapa pengecualian untuk hal tertentu. Pengecualian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (8) Peraturan Kejari 15/2020 yang berbunyi:
“Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:

  1. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
  2. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
  3. tindak pidana narkotika;
  4. tindak pidana lingkungan hidup; dan
  5. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.”

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari restorative justice tidak terfokus pada pembalasan bagi pelaku tindak pidana, melainkan mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Kemudian, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice pada saat penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan, yaitu terdapat kesepakatan diantara para pihakuntuk melakukan perdamaian, bukan pengulangan tindak pidana, telah terpenuhinya hak-hak korban, dan penerapan restorative justice ini tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Selanjutnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice pada tahap penuntutan, yaitu telah tercipta perdamaian dan pemulihan kembali pada korban, ancaman pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), dan bukan pengulangan tindak pidana. Selain itu, restorative justice tidak bisa diterapkan pada tindak pidana yang mengancam keamanan negara, korupsi, kejahatan terhadap nyawa orang, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Dasar Hukum:

  • Peraturan Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 947).
  • Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 811).

Referensi:
[1] Boyce Alvhan Clifford dan Barda Nawawi Arief, Implementasi Ide Restorative Justice Ke Dalam Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Anak Di Indonesia, Jurnal HUMANI (Hukum dan Masyarakat Madani), Volume 8-Nomor 1, Mei 2018, halaman 28.
[2] Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 3-Nomor 3 September 2004, halaman 19.