Pemerintah Menjatuhkan Pidana Penjara Bagi Anak: Tepat atau Tidak?

Narasumber: Giselle Suhendra – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR

Anak merupakan generasi penerus bangsa dan pembangunan, oleh karenanya keberadaan anak sangat perlu diperhatikan. Hal inilah yang menyebabkan anak membutuhkan pengawasan dan perlindungan yang menyeluruh bagi kesejahteraannya baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.[1] Perlakuan tersebut diterapkan tidak terkecuali terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana. Seorang anak yang pernah melakukan tindak pidana tetap berhak mendapatkan pembinaan terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental serta sosial.[2] Berkaitan dengan anak yang melakukan tindak pidana, perlu diketahui bahwa dari tahun ke tahun jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak selalu mengalami peningkatan.[3]  Data dari catatan kriminal kepolisian mencatatkan bahwa pada tahun 2019 terdapat kurang lebih 111.000 (seratus sebelas ribu) anak sebagai pelaku tindak pidana.[4]   

Sebagian kalangan di masyarakat menganggap jika pelaku anak tidak dapat dipidana.[6] Nyatanya, anak sebagai pelaku tindak pidana sangat mungkin untuk dipidana. Sebelum dikenalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (yang selanjutnya disebut UU SPPA), terdapat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (yang selanjutnya disebut UU Pengadilan Anak). Perubahan terhadap UU Pengadilan Anak terjadi karena dalam pelaksanaannya masih perlu penyempurnaan. Substansi yang ada di dalam UU Pengadilan Anak dianggap masih kurang mendasar pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk berkewajiban dan bertanggung jawab atas meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.[7] UU SPPA telah berhasil mengisi kekosongan dari substansi yang tidak terpenuhi dalam UU Pengadilan Anak. Sebagai contoh, UU SPPA telah mengatur tentang penempatan anak yang menjalani proses peradilan yaitu dalam tempat penahanan khusus anak, lembaga sosial, dan/atau lembaga pemasyarakatan khusus anak. Selain itu, hal yang penting dalam UU SPPA ini adalah UU SPPA telah secara tegas mengatur mengenai keadilan restoratif dan diversi. 

Berdasarkan Pasal 71 UU SPPA, dalam praktiknya sistem peradilan pidana anak di Indonesia mengenal 5 (lima) macam pidana pokok bagi anak, salah satunya adalah pidana penjara yang seharusnya dilakukan sebagai upaya terakhir. Akan tetapi, pada implementasinya penerapan pidana penjara di Indonesia masih cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyatakan bahwa putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jakarta pada tahun 2016 terkait perkara pidana anak, dari 91 (sembilan puluh satu) anak sebanyak 56% (lima puluh enam persen) anak ditempatkan dalam penjara dan sebanyak 6% (enam persen) anak dijatuhkan pidana penjara dan denda.[8] Padahal, penerapan pidana penjara berdampak buruk bagi perkembangan seorang anak. Hal ini diperparah dengan sistem peradilan pidana anak di Indonesia yang masih belum baik, yang pada akhirnya dapat mengancam perkembangan dan pertumbuhan anak sebagai generasi penerus bangsa.

Sistem peradilan anak di Indonesia yang masih belum baik disebabkan karena penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak sering kali tidak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Hal ini disebabkan karena penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak kurang memperhatikan prosedur penanganan khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam praktiknya, kerap kali anak yang berkonflik dengan hukum diperlakukan seperti orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Di Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana bagi anak diatur dalam UU SPPA. UU SPPA telah mengatur mengenai definisi anak yang dapat dipidana sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA anak yang berkonflik dengan hukum didefinisikan sebagai anak yang telah berusia 12 (dua belas) tahun dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun serta diduga melakukan tindak pidana. Lebih lanjut, UU SPPA juga telah mengatur jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan bagi anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Jenis-jenis tersebut terbagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Menurut Pasal 71 ayat (1) UU SPPA, pidana pokok tersebut terbagi lagi dalam beberapa jenis, yakni:

  1. pidana peringatan;
  2. pidana dengan syarat;
    1. pembinaan di luar lembaga;
    2. pelayanan masyarakat; atau
    3. pengawasan.
  3. pelatihan kerja;
  4. pembinaan dalam lembaga; dan
  5. penjara. 

Mengacu pada ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu bentuk pidana pokok yang dapat diterapkan pada anak yang berkonflik dengan hukum adalah pidana penjara. 

Berdasarkan Pasal 69 UU SPPA, anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. Ketentuan mengenai tindakan yang dapat diterapkan kepada anak terdapat pada Pasal 81 ayat (1) UU SPPA yang berbunyi:

“Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:

  1. pengembalian kepada orang tua/Wali;
  2. penyerahan kepada seseorang;
  3. perawatan di rumah sakit jiwa;
  4. perawatan di LPKS;
  5. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
  6. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
  7. perbaikan akibat tindak pidana.”

Sementara itu, bagi anak-anak yang telah berusia 14 (empat belas) tahun atau lebih baru dapat dijatuhi pidana penjara. Selain faktor usia, terdapat syarat lain untuk menjatuhkan sanksi pidana pada anak. Syarat lain tersebut tercantum dalam Pasal 79 ayat (1) jo Pasal 81 ayat (1) UU SPPA, yakni: 

a. melakukan tindak pidana berat;

b. melakukan tindak pidana yang disertai dengan kekerasan; dan/atau

c. apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat.

Dalam Pasal 3 huruf g jo Pasal 81 ayat (5) UU SPPA menyatakan bahwa pidana penjara bagi anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Hal ini didukung dengan adanya ketentuan Pasal 5 UU SPPA yang merumuskan:

“(1) Sistem Peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.

(2) Sistem Peradilan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
  2. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan 
  3. pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan

(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)    huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.”

Rumusan pasal di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya pendekatan keadilan restoratif dan/atau diversi dengan syarat-syarat tertentu wajib diutamakan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Keadilan restoratif menurut Pasal 1 angka 6 UU SPPA dirumuskan sebagai: 

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”

Sementara itu, definisi diversi menurut Pasal 1 angka 7 UU SPPA dirumuskan sebagai:

“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.”

Diversi pada rumusan pasal di atas dapat diterapkan apabila memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, yakni sebagai berikut:

  1. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
  2. tindak pidana tersebut bukan merupakan suatu pengulangan.

Akan tetapi, data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) pada tahun 2014-2020 menunjukkan fakta yang sebaliknya, karena sebanyak 18.231 (delapan belas ribu dua ratus tiga puluh satu) dari 50.651 (lima puluh ribu enam ratus lima puluh satu) anak dijatuhi putusan pidana penjara.[9] Data tersebut memperlihatkan fakta bahwa jumlah putusan pidana penjara anak di Indonesia cukup tinggi bahkan merupakan sanksi pidana paling banyak diberikan kepada anak. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan ICJR, disebutkan bahwa pidana penjara anak merupakan sanksi pidana yang paling sering diberikan oleh hakim.[10] Sebanyak 56% (lima puluh enam persen) anak yang masuk ke pengadilan berakhir dalam penjara.[11] Sementara itu, 15% (lima belas persen) anak diberikan tindakan, dan 13% (tiga belas persen) anak dikembalikan pada orang tua serta hanya 1% (satu persen) anak yang menjalani rehabilitasi sosial.[12] Artinya, penerapan sanksi alternatif di luar penjara masih sukar diterapkan. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Sri Sutatiek sebagaimana dikutip oleh Ratri Novita Erdianti dan Sholahuddin Al-Fatih yang menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia lebih banyak yang dijatuhi pidana penjara dan berakhir dengan menjalani pidananya dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (yang selanjutnya disebut LPKA).[13]

Ciri yang membedakan pidana penjara anak dengan pidana penjara orang dewasa adalah penempatan pidana penjara orang dewasa terletak di lembaga pemasyarakatan dewasa (yang selanjutnya disebut Lapas dewasa), sedangkan penempatan pidana penjara bagi anak terletak di LPKA. Perbedaan LPKA dengan Lapas dewasa adalah pembinaan dalam LPKA memiliki batasan usia, yaitu sampai seseorang berusia 18 (delapan belas) tahun sesuai ketentuan Pasal 81 ayat (3) UU SPPA. Menurut Pasal 81 UU SPPA, apabila anak belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Kemudian, apabila anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, anak dipindahkan ke Lapas dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan anak.

Penempatan pidana penjara bagi anak di LPKA diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU SPPA yang menyatakan bahwa anak yang keadaan dan perbuatannya dapat membahayakan masyarakat akan dijatuhi pidana penjara dan ditempatkan di LPKA. Meskipun begitu, Sistem Database Pemasyarakatan mencatat bahwa pada bulan Oktober 2020, terdapat 1.322 (seribu tiga ratus dua puluh dua) narapidana anak di Indonesia.[14] Dari 1.322 (seribu tiga ratus dua puluh dua) narapidana anak, hanya 801 (delapan ratus satu) anak yang dibina di LPKA, selebihnya ditempatkan bersama dengan narapidana dewasa.[15] Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah LPKA di Indonesia masih terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia. Terlihat bahwa para aparat penegak hukum belum memahami bagaimana pentingnya kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d UU SPPA yang menyatakan:

“Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi Anak.”

Hak yang seharusnya didapatkan oleh narapidana anak yang menjalani pidana penjara tidak terpenuhi, sehingga kepentingan terbaik bagi anak dalam praktiknya dilanggar. 

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengatur secara eksplisit bahwa penempatan narapidana anak bersama dengan narapidana dewasa tidak diperkenankan. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf b UU SPPA yang menyatakan bahwa:

“Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak dipisahkan dari orang dewasa.”

Selanjutnya, dalam Pasal 64 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

“Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui pemisahan dari orang dewasa.”

Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, bahwa pembinaan terhadap anak binaan dilaksanakan oleh LPKA.[16] Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dengan menempatkan narapidana anak bersama narapidana dewasa, maka telah terjadi pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara. Hal ini karena negara seharusnya menjamin bahwa narapidana anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan terpisah dari narapidana dewasa. 

Selain dari adanya pelanggaran hak anak, penempatan anak yang dijatuhi pidana penjara bersama dengan narapidana dewasa justru akan berdampak negatif pada psikologis anak tersebut. Hal ini karena penempatan anak di Lapas dewasa tidak menutup kemungkinan bagi anak untuk berinteraksi dengan narapidana dewasa, sekalipun telah terdapat pemisahan blok bagi narapidana anak dan narapidana dewasa.[17] Dalam proses interaksi tersebut, anak berpotensi mempelajari suatu tindak pidana dari narapidana dewasa. Selain itu, narapidana anak juga rentan mendapatkan kekerasan, baik secara fisik maupun seksual dari narapidana dewasa.[18]

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Sutatiek menemukan sebuah fakta yang mendukung ketidakefektifan penjara bagi anak. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa fasilitas dan suasana yang ada di LPKA sangat tidak memadai bagi perkembangan anak. Sutatiek menyimpulkan bahwa LPKA mendorong anak mengalami depresi mental dan terisolasi dari lingkungan asalnya.[19] Berdasarkan hal tersebut, pemerintah harus melakukan upaya yang komprehensif dalam menangani pelaksanaan pidana penjara anak. Hal ini mencakup keterlibatan pihak-pihak yang terkait dengan kesehatan mental anak, instansi sosial, dan instansi pendidikan. 

Pada dasarnya, penjara anak justru akan berpotensi menciptakan kelompok kenakalan remaja, sebab kemungkinan besar mereka akan menganggap bahwa dirinya sudah mendapatkan label “penjahat” dari masyarakat. Dalam teori labeling telah dijelaskan bahwa label yang diterapkan kepada seseorang, khususnya yang bersifat negatif akan mempengaruhi perilaku orang tersebut bahkan memunculkan perilaku menyimpang.[20] Selain itu, pidana penjara bagi anak juga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Pidana penjara bagi anak berpotensi menurunkan kemampuan berkomunikasi anak akibat dari terisolasinya anak dalam penjara. Hal itu disebabkan karena penjara merupakan suatu komunitas yang berbeda dengan masyarakat di luar. Alasan-alasan tersebut mendukung pernyataan bahwa pidana penjara bagi anak di Indonesia tidak memberikan efektivitas yang sesuai dengan tujuan penerapan pidana penjara. Tujuan dari pidana penjara sendiri adalah membuat pelanggar hukum menjadi bertobat dan terdidik agar menjadi seorang Warga Negara Indonesia yang berguna.[21] Akan tetapi sebaliknya, pidana penjara bagi anak dapat merusak masa depan anak karena masyarakat akan cenderung menolak keberadaan dari mantan narapidana anak, sehingga mantan narapidana anak akan terasingkan dari masyarakat.[22]

​​Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana penjara bagi anak yang seharusnya dijadikan sebagai upaya terakhir justru pada praktiknya masih sering digunakan. Padahal, sudah banyak studi dan penelitian yang menunjukkan dampak-dampak negatif pidana penjara yang diberikan kepada anak. Mengingat bahwa anak merupakan salah satu aspek penting bagi masa depan bangsa, seharusnya berbagai risiko yang dapat berdampak buruk pada anak itu dihindari. Selain itu, ketersediaan LPKA yang tidak memadai di Indonesia justru sangat merugikan perkembangan anak. Maka dari itu, Penulis berpendapat bahwa sebaiknya penjatuhan dan penerapan pidana penjara terhadap anak diminimalisir sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UU SPPA. Apabila memang seorang anak yang berkonflik dengan hukum perlu dijatuhi pidana penjara, penerapan pidana penjara anak di LPKA perlu diefektifkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemerataan dan penambahan lokasi LPKA di Indonesia serta pendidikan yang memadai bagi anggota dari LPKA itu sendiri. 

Tingginya jumlah anak yang masuk ke pengadilan dan dijatuhi sanksi pidana penjara adalah salah satu hal yang melatarbelakangi pentingnya pelaksanaan diversi. Pelaksanaan diversi memiliki tujuan agar anak dapat terhindar dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari penyelesaian proses sistem peradilan pidana. Maka dari itu, menurut penulis, upaya diversi harus lebih dimaksimalkan untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi sendiri memiliki prinsip utama yakni tindakan persuasif dan pendekatan non-penal, yang pada intinya memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.[23] Aspek penting yang diperlukan dalam pelaksanaan diversi ini adalah adanya pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku dan kesediaannya untuk dilakukan upaya diversi.[24] Dengan adanya pengakuan bersalah, diharapkan terhadap anak tumbuh rasa tanggung jawab terhadap pelaku, sehingga upaya diversi dapat dikatakan sebagai upaya untuk pembelajaran dan pemulihan anak sebagai pelaku tindak pidana. Adapun tujuan dari pelaksanaan diversi, yaitu:[25]

  1. Untuk menghindari anak dari penahanan;
  2. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat; 
  3. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
  4. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal, dan menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.

Dengan pelaksanaan diversi diharapkan agar asas kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 huruf d UU SPPA dapat tercapai, yaitu dengan menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai generasi penerus bangsa.

Dasar Hukum

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 153 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 165 Tahun 2022, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6811).
  • Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 297 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Referensi

[1] Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 

[2] Ibid. 

[3] I. S. Arifin dan U. Rozah, Konsep Doli In Capax Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 3-Nomor 1, Januari 2021, halaman 2.

[4] Ibid. 

[5] Sawirini, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency): Kausalitas Dan Upaya Penanggulangannya, Perspektif, Volume XVI-Nomor 4, September 2011, halaman 245.

[6] Tribun Jogja, Bisakah Pelaku Klitih di Bawah Umur Dipidana? Pakar Hukum UGM: Sangat Mungkin Bisa, https://jogja.tribunnews.com/2022/04/06/bisakah-pelaku-klitih-di-bawah-umur-dipidana-pakar-hukum-ugm-sangat-mungkin-bisa?page=2 (diakses pada 24 Januari 2023).

[7] Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 

[8] Anggara, dkk., Studi Implementasi Penanganan Anak di Pengadilan Berdasarkan UU SPPA, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), halaman 45.

[9] Tim Penulis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak Laporan Tahun 2020, halaman 71.

[10]ICJR, Problem Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Masih Ditemukan, https://icjr.or.id/problem-implementasi-sistem-peradilan-pidana-anak-di-indonesia-masih-ditemukan/ (diakses pada 27 Januari 2023).

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13]Erdianti, Ratri Novita dan Sholahuddin Al-Fatih, Fostering as an Alternative Sanction for Juveniles in the Perspective of Child Protection in Indonesia, JILS (Journal of Indonesian Legal Studies), Volume 4-Issue (1), Mei 2019, halaman 122.

[14] Dian Puspitasari, Alasan Anak Ditempatkan Dalam Lapas Dewasa, https://halohukum.com/alasan-anak-ditempatkan-dalam-lapas-dewasa/ (diakses pada 25 Januari 2023).

[15] Simson Kristianto, Pemenuhan Hak Narapidana Anak di Lembaga Pembinaan Yang Bukan Khusus Anak, Jurnal HAM, Volume 12 – Nomor 1, April 2021, halaman 96.

[16] Perlu diketahui bahwa anak binaan dalam UU Pemasyarakatan bersinonim dengan anak yang menjalani pidana penjara dalam UU SPPA.

[17] Dita Adistia, Dampak Penempatan Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Berkaitan Dengan Tujuan Pembinaan Dalam Sistem Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Malang), Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Februari 2015, halaman 7.

[18] Ibid., halaman 8. 

[19] Erdianti, supra note nomor 8, halaman 121.

[20] Herlina, Labeling Dan Perkembangan Anak, Dampak Labeling Terhadap Anak-FOTA Salman,  Jurnal Psikologi, November 2007, halaman 1.

[21]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), halaman 96.

[22] Erdianti, supra note nomor 8, halaman 121-122.

[23] Bambang Hartono, Penyelesaian Perkara Melalui Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana, Jurnal Pranata Hukum, Volume 10 Nomor 1, Januari 2015, halaman 82. 

[24] Varia Kurniawati, Penyelesaian Perkara Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Melalui Pendekatan Keadilan Restorative Justice, Jurnal Panorama Hukum, Volume 4 – Nomor 2, Desember 2019, halaman 130. 

[25] Nur Rochaeti, Alaya Dhyani Hnienkswsatie dan Raden Bambang Sularto, Implementasi Diversi Sebagai Sarana Non Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Bapas Surakarta, Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana, Volume 2 – Nomor 2, September 2019, halaman 45-46.

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...