Home / Uncategorized / Pembelaan Paksa dalam Hukum Pidana

Pembelaan Paksa dalam Hukum Pidana

Penulis: Brian Dave

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali masyarakat menjadi korban suatu tindak pidana berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Ketika seseorang merasa terancam akan tindak kejahatan yang mungkin menimpa dirinya, maka orang tersebut tentu akan berusaha untuk membela diri. Apakah seseorang dapat dihukum karena melakukan upaya pembelaan paksa? Bagaimana pengaturan hukum di Indonesia tentang pembelaan diri yang dilakukan secara terpaksa?

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut sebagai KUHP), mengatur perihal pembelaan paksa. Pasal 49 ayat (1) KUHP menyebutkan:

“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Berdasarkan pasal tersebut, jika seseorang menerima ancaman serangan, serangan atau tindakan kejahatan yang melanggar hukum dari orang lain, maka pada dasarnya orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terhadap tindakan tersebut. Hal tersebut dibenarkan walaupun dilakukan dengan cara yang merugikan kepentingan hukum dari penyerangnya, yang di dalam keadaan biasa cara tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang dimana pelakunya telah diancam dengan sesuatu hukuman.[1]

Terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai alasan pembelaan diri seseorang yang merasa terancam akan ancaman serangan atau serangan tidak dapat dihukum dan dijadikan alasan pembenar. Salah satu pendapat yang paling terkenal dikemukakan oleh van Hamel, seorang ahli hukum pidana. Menurut Van Hamel, membela diri merupakan suatu hak, sehingga orang yang menggunakan hak tersebut tidak dapat dihukum. Pada pelaksanaannya, badan-badan peradilan dunia dan ilmu pengetahuan menganggap pembelaan diri atau noodweer sebagai suatu hak untuk memberikan perlawanan terhadap hal-hal yang bersifat melawan hukum. Perbuatan pembelaan diri seperti itu dipandang sah menurut hukum karena pembelaan diri yang dilakukan adalah merupakan hak yang dimilikinya.[2]

Selanjutnya pertanyaan yang muncul adalah pembelaan diri seperti apa yang dapat menjadi suatu alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Menurut Van Hamel, suatu pembelaan diri dapat dibenarkan apabila ancaman serangan atau serangan yang diterima bersifat melanggar hukum atau bersifat wederrechtelijk, ancaman serangan atau serangan tersebut sedang dan/atau masih berlangsung, serangan yang diterima mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung dan serangan yang diterima bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain. Selain itu, pembelaan yang dilakukan juga harus bersifat patut dan perlu, sehingga pembelaan itu dapat dibenarkan.[3]

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHP Indonesia memberikan perlindungan hukum terhadap perbuatan pembelaan diri yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi korban tindak kejahatan. Pembelaan diri dinilai tidak dapat dihukum karena merupakan hak yang dimiliki oleh semua orang untuk melawan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, tidak semua pembelaan diri dapat dibebaskan dari tuntutan hukum. Pembelaan diri tersebut harus memenuhi beberapa unsur seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel, mencakup serangan dan pembelaan, agar dapat menjadi alasan pembenar.

Referensi:

[1] P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2014), halaman 471.
[2] Ibid., halaman 473-474.
[3] Ibid., halaman 472.