Mengenal Perbedaan Akta Notaris, Legalisasi, Legalisir, dan Waarmerking
Penulis : Shannon Lorelei
Selalu ada yang pertama dari segala hal. Begitu pula dalam hal menunjang kebutuhan hukum dan administrasi, masyarakat seringkali dihadapkan dengan proses pembuatan dan pengesahan suatu dokumen. Di dalam praktik pembuatan dan pengesahan dokumen ini, terdapat beberapa istilah seperti Akta Notaris, legalisasi, legalisir, dan waarmerking yang mungkin terasa asing dan membingungkan di telinga masyarakat awam. Istilah-istilah tersebut menyisakan pertanyaan bagi masyarakat dalam memilih dokumen mana yang sesuai untuk kebutuhannya. Maka, hadirnya tulisan ini akan memberikan panduan bagi masyarakat dalam mengenali serta memahami perbedaan istilah-istilah tersebut agar dokumen yang dihasilkan dapat secara tepat memenuhi kebutuhan secara spesifik.
Salah satu pihak yang berwenang membuat dan mengesahkan dokumen adalah Notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik [1]dan memberikan legalisasi dokumen.[2] Adapun kewenangan yang dimiliki oleh Notaris telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU JN). Notaris berwenang untuk membuat akta secara umum, sepanjang tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini, akta yang dibuat adalah akta autentik mencakup semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. Notaris juga harus menjelaskan untuk kepentingan siapa akta tersebut dibuat.[3] Fungsi dari dibuatkannya akta adalah untuk membuktikan bahwa memang ada hal atau peristiwa yang disebutkan dalam akta.[4] Selain itu, Notaris juga memiliki kewenangan khusus untuk melakukan tindakan seperti:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.[5]
Menilik pada beberapa perbuatan hukum yang kewenangannya diberikan kepada Notaris, terlihat bahwa Notaris memiliki kewenangan untuk membuat Akta Notaris dan melakukan legalisasi, legalisir, dan waarmerking. Keempat istilah ini serupa tapi tak sama, dimana perbedaannya akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Akta Notaris
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya yakni dalam Pasal 15 ayat (1) UU JN, seorang Notaris berwenang untuk membuat Akta Notaris. Definisi dari Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang.[6] Menurut Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) dan Pasal 165 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Akta Notaris merupakan dokumen resmi yang dibuat oleh Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat. Oleh karena itu, Akta Notaris termasuk ke dalam bentuk akta autentik. Adapun akta autentik merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan dalam Undang-Undang dan dibuat oleh pejabat umum berwenang di tempat kedudukan pejabat umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Akta Notaris merujuk pada dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh Notaris atau di hadapan Notaris, sebagaimana secara spesifik dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 UU JN.
Akta Notaris terbagi menjadi 2 (dua), yaitu akta yang dibuat oleh Notaris (akta relaas) dan akta yang dibuat di hadapan Notaris (akta pihak atau akta partij). Dalam akta relaas, Notaris menulis atau mencatatkan semua hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh Notaris yang dilakukan oleh para pihak.[7] Tindakan tersebut dilakukan dan disaksikan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Contoh dari akta relaas adalah akta berita acara atau risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) suatu Perseroan Terbatas, dan akta pencatatan budel, sedangkan, akta pihak adalah akta yang dibuat di hadapan Notaris atas permintaan para pihak. Atas hal tersebut, Notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan Notaris. Dalam akta pihak, Notaris menuangkan pernyataan atau kehendak para pihak ke dalam Akta Notaris.[8] Contoh dari akta pihak adalah perjanjian kredit, perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa.
2. Legalisasi
Menurut Pasal 1874 KUHPerdata, akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Tidak dibuatnya akta di bawah tangan oleh atau di hadapan pejabat umum menyebabkan akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktiannya tidak sekuat akta autentik. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Notaris berwenang untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus.[9] Tindakan hukum ini disebut dengan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh para pihak yang terlibat untuk kemudian disahkan di hadapan Notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Para pihak dalam membuat akta di bawah tangan tersebut melakukan penandatanganan di hadapan Notaris dengan tanggal penandatangan dokumen yang sama dengan tanggal legalisasi dari Notaris. Maka dengan adanya legalisasi, Notaris dapat pula membacakan atau menjelaskan isi dari surat tersebut atau hanya mengesahkan tanda tangan dan kepastian tanggalnya saja. Intinya tetap pada para pihak yang harus membubuhkan tanda tangannya di hadapan Notaris, untuk kemudian tanda tangan tersebut disahkan oleh Notaris. Dalam hal ini, Notaris hanya mengesahkan tanda tangan para pihak bukan memastikan apakah isi dari akta tersebut benar atau tidak. Kekuatan pembuktian legalisasi ini dipersamakan dengan alat bukti di bawah tangan yang berada di bawah akta notariil.
3. Legalisir
Apabila dilihat dari konstruksi katanya, legalisasi dan legalisir sekilas terlihat hampir sama. Namun, kedua istilah ini nyatanya memiliki makna yang berbeda. Dalam hal melakukan legalisir, Notaris berwenang memberikan cap atau stempel, paraf dan/atau tanda tangan di setiap halaman (jika halaman lebih dari 1 (satu)) fotokopi dan pada halaman paling belakang Notaris akan memberikan tanda tangan serta keterangan bahwa dokumen fotokopi yang telah dibuat sama dengan dokumen asli yang diperlihatkan di hadapan Notaris.[10] Terkait dengan kewenangan Notaris dalam melakukan pengesahan kecocokan fotokopi atau legalisir, UU JN tidak membatasi surat apa saja yang dapat dilegalisir oleh Notaris.
4. Waarmerking
Waarmerking adalah proses pendaftaran atau register dokumen bawah tangan di buku khusus (repertoriumwaarmerking) yang dibuat oleh Notaris, yang mana dokumen tersebut sudah dibuat dan ditandatangani oleh pihak atau para pihak sebelumnya.[11] Dengan kata lain, akta di bawah tangan ini tidak ditandatangani di hadapan Notaris, tetapi sudah ditandatangani sebelumnya sehingga tanggal penandatanganan dan tanggal pendaftaran berbeda. Dalam proses waarmerking Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materi atau isi, tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak, serta tanggal yang tercantum dalam surat tersebut karena Notaris hanya mendaftarkan surat di bawah tangan tersebut pada buku daftar yang ada di kantornya dan memberikan kepastian mengenai tanggal penerimaan surat itu.[12] Tujuan dilakukannya waarmerking itu sendiri hanya sebagai bukti bahwa dokumen tersebut sudah pernah dibuat oleh para pihak dan sudah pernah didaftarkan kepada Notaris dan tercantum dalam buku khusus waarmerking.
Dasar Hukum:
- Herzien Inlandsch Reglement.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tTentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).
Referensi :
[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[2] Ma’ruf, U., & Wijaya, D., Tinjauan Hukum Kedudukan dan Fungsi Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Membuat Akta Otentik (Studi Kasus di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang), Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume 2-Nomor 3, 2015, halaman 299 – 309.
[3] Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[4] M.Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta : PT. Intermasa, 1986), halaman 54.
[5] Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tTentang Jabatan Notaris.
[6] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[7] Habib Adjie, Hukum Notaris di Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2008), halaman 33.
[8] Ibid.
[9] Pasal 15 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[10] Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[11] Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[12] Ghofur, A., Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UUI Press, 2009), halaman 13.