Mengenal Jaminan Fidusia

Penulis: Tiara Nabila

Salah satu hubungan hukum antar manusia adalah perjanjian. Contoh perjanjian yang tidak asing adalah perjanjian pokok atau perjanjian pinjam meminjam atau utang piutang yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan.[1] Sehingga apabila misalnya terjadi suatu perjanjian utang piutang yang diikuti oleh perjanjian tambahan, hal tersebut membuat pihak peminjam (debitur) harus menyerahkan suatu benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan. Definisi mengenai jaminan diatur dalam Pasal 1131 KUHPER.

“Segala Kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”

Keberadaan jaminan ini ditujukan untuk memastikan agar debitur memenuhi prestasinya. Selain itu, adanya jaminan juga membuat kreditur dapat didahulukan untuk dipenuhi haknya dalam hal apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati, atau dengan kata lain debitur wanprestasi. Jaminan yang disebutkan dalam Pasal 1131 KUHPER tersebut merupakan jaminan umum, selain jaminan umum dikenal pula jaminan khusus yang terdiri dari jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan tersebut terdiri dari gadai, jaminan fidusia, resi gudang, hipotek, serta hak tanggungan. Dalam artikel ini, salah satu jaminan yang akan dibahas adalah Jaminan Fidusia.

Jaminan Fidusia ini lahir sebagai reaksi atas dinamika masyarakat yang berkembang begitu cepat. Kebutuhan akan masyarakat terhadap suatu lembaga yang memberikan ketentuan dimana benda yang dijadikan sebagai jaminan tidak berada dibawah penguasaan si pemberi utang (kreditur), artinya benda yang dijadikan jaminan tetap berada di bawah penguasaan si penerima utang (debitur). Ketika Belanda menjajah Indonesia, Belanda juga menerapkan hukumnya yang berlaku di negaranya. Salah satunya adalah hukum mengenai jaminan fidusia ini. Putusan hakim pertama di Belanda mengenai jaminan fidusia adalah putusan Hakim Hooge Raad: Bierbrouwerij Arrest pada tanggal 25 Januari 1929. [2]

Mengenal lebih jauh mengenai fidusia. Fidusia berasal dari bahasa Belanda, fiducie atau dalam literatur lain juga sering disebut dengan fiducia eigendom overdracth (FEO) merupakan penyerahan hak milik berdasarkan asas kepercayaan.[3] Definisi fidusia, juga disebut dalam dasar hukum yang mengaturnya yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Pasal 1 Angka 1 mengatakan bahwa,

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Lebih lanjut Pasal 1 Angka 2 UUJF juga memberikan definisi mengenai jaminan fidusia,

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UUJF dapat diketahui bahwa setidaknya dalam jaminan fidusia terdapat beberapa unsur yaitu terdapat peralihan hak kepemilikan; atas dasar kepercayaan; serta penguasaan benda yang dijaminkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Adapun mengenai benda apa saja yang dapat menjadi objek jaminan fidusia, disebut dalam Pasal 1 angka 2, angka 4, dan Pasal 3 UUJF. Mengacu pada pasal tersebut objek jaminan fidusia dapat berupa benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, benda bergerak maupun tidak bergerak, terdaftar ataupun tidak, dan benda tersebut tidak dibebani dengan hak tanggungan ataupun hipotek.[4] Contoh benda-benda tersebut seperti smartphone, hak cipta atas suatu merk atau brand produk, serta bangunan atau ha katas tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan (selain obyek hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan).

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 UUJF yang mengatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan. Maka, setelah adanya perjanjian pokok seperti perjanjian utang piutang disertai jaminan fidusia, maka debitur akan melakukan pembebanan terhadap benda yang dijadikannya sebagai jaminan dengan membuat akta notaris berbahasa Indonesia. Akta tersebut nantinya akan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan debitur akan mendapatkan sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat tersebut menjadi bukti kepemilikan yang akan diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan, namun benda tersebut tetap berada dalam penguasaan debitur. Pengaturan mengenai pembebanan dan pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4-18 UUJF.

Baik perseorangan, badan usaha maupun badan hukum yang hendak menggunakan jaminan fidusia sebagai perjanjian ikutan atas suatu perjanjian pokoknya, maka wajib mendaftarkan objeknya ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Namun apabila dalam pelaksanannya debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji, maka kreditur melalui permohonan permintaan kepada pengadilan negeri dapat melakukan eksekusi terhadap benda yang sudah dijaminkan dengan jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Aswanto selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyatakan bahwa melalui Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 Mahkamah menegaskan kembali bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengeadilan negeri.[5] Namun hal yang periu diingat adalah terkait beberapa macam cara pelaksanaan eksekusi yang diatur dalam Pasal 29 UUJF. Selain melalui pelaksanaan titel eksekutorial dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri, terdapat pula cara lain seperti penjualan benda melalui lelang, dan penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Namun lebih lanjut ketentuan mengenai eksekusi tersebut diatur dalam Pasal 29-34 UUJF.[6]

Dasar Hukum:

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Nomor 168 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889)

Referensi

[1] Arasy Pradana, Hak Tanggugan sebagai Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah, https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-tanggungan-sebagai-satu-satunya-hak-jaminan-atas-tanah-lt5e67122a1211f (diakses pada Selasa, 9 Agustus 2022 pukul, 20.54 WIB). 

[2] Andhika Desy, Tinjauan Sejarah Fidusia di Indonesia, Jurnal Repertorium Volume IV No. 1 Januari-Juni 2017, hal 8.

[3] Ibid.

[4] Hudiyanto, Riri, dkk. Kajian Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan: Penguatan Perlindungan Konsumen dalam Penggunaan Jaminan Fidusia, hal 31-32.

[5] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Eksekusi Jaminan Objek Fidusia Harus Melalui Pengadilan Negeri, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18015&menu=2 (diakses pada Rabu, 10 Agustus 2022, pukul 13.22 WIB).

[6] Junaidi Abdullah, Jaminan Fidusia Di Indonesia (Tata Cara Pendaftaran dan Eksekusi), BISNIS, Volume 4- Nomor 2, Desember 2016, hal 123-124.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...