Mengenal Cek Kosong: Salah Satu Permasalahan dalam Penggunaan Surat Berharga

Penulis: Febri Patricia Margareth Simanjuntak

Dalam perkembangan kegiatan ekonomi, penggunaan surat berharga sebagai instrumen pembayaran bukanlah hal yang baru lagi. Penggunaan surat berharga sebagai alat pembayaran dinilai lebih aman dan efisien dibandingkan dengan penggunaan uang tunai, terutama ketika mendapati transaksi yang bernilai besar sebab cukup dengan mengantongi surat berharga saja, maka para pelaku dalam kegiatan ekonomi sudah dapat membawa mata uang dengan jumlah besar untuk digunakan sebagai alat pembayaran. Salah satu bentuk surat berharga yang masih digunakan sampai saat ini adalah cek. Adapun dalam dunia perbankan dikenal beberapa istilah untuk para pihak yang terlibat dalam penggunaan cek sebagai surat berharga di antaranya adalah:[1]a. Penarik atau penerbit, yaitu pihak yang mengeluarkan surat berharga;b. Tertarik atau tersangkut, yaitu pihak yang memiliki kewajiban untuk membayar surat berharga;c. Akseptan, yaitu pihak yang mengakseptasi atau menyetujui surat berharga; dand. Pemegang, yaitu pihak yang menguasai surat berharga.

Definisi dari cek itu sendiri merupakan perintah tak bersyarat dari pemegang rekening giro kepada bank untuk membayar sejumlah uang tertentu.[2] Akan tetapi apabila seseorang ingin menerbitkan cek, maka sebelumnya ia harus membuka rekening giro terlebih dahulu di bank. Kemudian, si penerbit cek harus sudah menyiapkan dana yang cukup dalam rekening gironya sehingga saat cek tersebut diunjukkankepada bank, maka bank akan membayar sesuai nominal yang tertera dalam cek tersebut. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa adanya dana yang cukup dalam rekening merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh penerbit cek. Kewajiban penerbit untuk menyediakan dana yang cukup dalam rekeningnya ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/43/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (selanjutnya disebut PBI 18/2016). Kewajiban menyediakan dana sekiranya dilakukan oleh penerbit cek pada saat cek diunjukkan kepada bank tertarik.[3] Kewajiban menyediakan dana yang cukup pada bank tertarik juga termasuk penyediaan dana atas pengunjukan yang dilakukan sebelum tanggal penarikan atau dengan kata lain sebelum tanggal penarikan yang tercantum dalam cek tersebut.[4] Pengaturan kewajiban yang dibebankan kepada penerbit cek ini merupakan salah satu upaya preventif agar kejadian penarikan cek kosong di Indonesia berkurang. 

Adapun dalam Pasal 1 angka 27 PBI 18/2016 cek kosong didefinisikan sebagai:

Cek dan/atau bilyet giro kosong adalah cek dan/atau bilyet giro yang ditolak pembayaran atau pemindahbukuannya oleh bank tertarik dengan alasan penolakan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.”

Berdasarkan definisi cek kosong, perlu diketahui alasan bank selaku tertarik menolak pembayaran. Alasan-alasan ditolaknya pembayaran cek kosong diatur dalam Pasal 11 PBI 18/2016, yaitu: tidak adanya dana yang cukup, rekening giro atau rekening khusus milik penerbit cek yang telah ditutup, maupun alasan-alasan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kehadiran cek kosong ini perlu diminimalisir karena cek kosong menimbulkan kerugian bagi penerima cek itu sendiri, masyarakat, bank selaku pihak tertarik, dan juga negara.[5] Kerugian bagi penerima cek adalah kerugian materi karena pembayaran yang gagal dan mengganggu kepercayaan mitra bisnis.[6] Akibat dari penarikan cek kosong yang sering terjadi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat luas terhadap cek sebagai alat pembayaran.[7] Bank juga dapat terpengaruh karena penarikan cek kosong tentunya akan merusak reputasi bank dan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank sebagai lembaga keuangan hilang.[8]

Apabila penerbitan cek kosong dilakukan terus menerus akan terdapat sanksi yang diberikan bagi si penerbit cek kosong tersebut. Berdasarkan Pasal 11 ayat (5) PBI 18/2016, bank tertarik yang menolak pembayaran cek harus mempertanggungjawabkan penolakan cek tersebut dan melapor kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, langkah pertama yang akan bank lakukan ketika menemukan penerbitan cek kosong yang memenuhi kriteria dalam Pasal 15 ayat (1) PBI 18/2016 adalah mencantumkan identitas pemilik rekening yang melakukan penerbitan cek kosong tersebut dalam Daftar Hitam Individual Bank (selanjutnya disebut DHIB). DHIB sendiri merupakan daftar penerbit cek dan/atau bilyet giro kosong yang dibuat oleh bank selaku tertarik. Adapun kriteria penarikan cek kosong yang akan dicantumkan dalam DHIB adalah:[9]a. melakukan penarikan cek kosong yang berbeda sebanyak 3 (tiga) lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing di bawah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada bank tertarik yang sama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; ataub. melakukan penarikan cek kosong 1 (satu) lembar dengan nilai nominal Rp500.000.000,00 (lima ratus juta) atau lebih.

Selanjutnya, bank sebagai pihak tertarik memiliki kewajiban untuk menyampaikan identitas pemilik rekening yang tercatat dalam DHIB kepada Bank Indonesia untuk dicantumkan dalam Daftar Hitam Nasional (selanjutnya disebut sebagai DHN).[10] Penerbit cek kosong yang memenuhi kriteria Pasal 15 ayat (1) PBI 18/2016 akan dikenakan sanksi berupa pembekuan hak penggunaan cek maupun penutupan rekening giro seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. Akan tetapi, Bank Indonesia masih memberikan kesempatan bagi pemilik rekening yang hak penggunaan ceknya dibekukan karena sanksi identitasnya yang tercantum dalam DHN untuk membuka rekening giro baru.[11] Kesempatan tersebut diberikan dengan syarat bank tidak diperbolehkan mengeluarkan layanan cek bagi pemilik rekening tersebut selama identitasnya tercantum dalam DHN.[12] Akan tetapi, kesempatan membuka rekening giro baru tidak diberikan terhadap pemilik rekening yang ditutup karena sanksi DHN, kecuali pembukaan rekening giro tersebut bertujuan untuk menampung kredit atau pinjaman dari bank tertarik.[13] Langkah-langkah pencantuman identitas dalam DHIB sampai pemberian sanksi ini dilakukan demi menghindari penggunaan cek yang disalahgunakan oleh pihaktidak bertanggung jawab dan demi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank.

Selain dicatat dalam DHN, pemberi cek kosong juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila cek kosong tersebut digunakan untuk penipuan. Hal ini diperkuat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 133 K/Kr./1973 yang berisi: [14]

Seseorang yang memakai cek yang diketahuinya/disadarinya bahwa cek itu tidak ada dananya di Bank merupakan kejahatan penipuan.” 

Pemberian sanksi pidana terhadap penerbitan cek kosong ini dapat terjadi apabila memenuhi unsur penipuan dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[15] Selain itu, penerima cek kosong sebagai kreditur juga dapat menggugat penerbit cek kosong sebagai debitur dengan gugatan wanprestasi.[16] Hal tersebut dimungkinkan sebab penerbit cek kosong yang gagal atau ingkar janji memenuhi prestasinya untuk membayar sejumlah uang yang dicantumkan dalam cek tersebut. [17] 

Terlepas dari alasan-alasan penerbit cek kosong yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah timbulnya kerugian bagi pihak yang terkait. Kehadiran cek kosong tentunya menjadi suatu permasalahan yang perlu untuk dicegah agar lalu lintas perekonomian di Indonesia berjalan dengan baik. Bank Indonesia melalui PBI 18/2016 telah mengatur tahapan yang akan dilakukan apabila terjadi penerbitan cek kosong dalam lalu lintas perekonomian Indonesia. Tahapan ini dilakukan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap usaha bank dan menghindari terjadinya penerbitan cek kosong dalam lalu sistem pembayaran. Apabila tahapan tersebut diterapkan dengan baik oleh penerbit dan bank tertarik diharapkan akan memberikan rasa aman kepada pengguna surat berharga khususnya cek yang pada akhirnya akan meningkatkan penggunaan surat berharga untuk memperlancar sistem pembayaran.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/43/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 296, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5986).
  • Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4669).

Referensi:

[1] Sentosa Sembiring, Hukum Surat Berharga (Edisi Revisi)(Bandung: Nuansa Aulia, 2019), halaman 18. 

[2] Pasal 178 KUHD.

[3] Surat Edaran Bank Indonesia  Nomor 18/39/DPSP Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.

[4] Surat Edaran Bank Indonesia  Nomor 18/39/DPSP Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.

[5] Monica Sri Astuti Agustina, 2021, “Tinjauan Hukum Terhadap Penerbitan Cek Kosong” dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulungagung Vol 7-1, Tulungagung: Jurnal Hukum-Yustutiabelen, hlm.23.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid., halaman 24.

[9] Pasal 15 ayat (1) PBI 8/2006.

[10] Pasal 16 ayat (1) PBI 8/2006.

[11] Pasal 21 ayat (1) PBI 8/2006.

[12] Ibid.

[13] Pasal 21 ayat (2) PBI 8/2006.

[14] Monica Sri Astuti Agustina, Op.Cit. halaman 46.

[15] Ibid.

[16] Saufa Ata Taqiyya, Apa yang Dimaksud dengan Cek Kosong dan Cek Bertanggal Mundur?https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-yang-dimaksud-dengan-cek-kosong-dan-cek-bertanggal-mundur-lt4bf682661596a/ (diakses pada 12 September 2023).

[17] Ibid.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...