Penulis: Sisilia Maria Fransiska
Perjanjian merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain atau antara kedua belah pihak atau lebih untuk saling mengikatkan diri.[1] Perjanjian juga tunduk pada asas-asas hukum yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata). Dari banyaknya asas dalam KUHPerdata, sekurang-kurangnya terdapat 4 (empat) asas yang fundamental, yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas mengikat sebagai undang-undang, dan asas kepribadian.[2]
Di dalam perjanjian berlaku asas konsensualisme. Kata konsensualisme berasal dari Bahasa Latin, yaitu consensus yang berarti sepakat.[3] Asas ini disimpulkan dari butir 1 Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri. Berdasarkan asas ini, perjanjian timbul sejak detik kata sepakat tercapai di antara para pihak.[4] Dengan kata lain, setiap hak dan kewajiban serta akibat hukum dari suatu perjanjian akan mengikat bagi para pihak sejak dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian.[5]
Selanjutnya, asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Kata “semua” di dalam pasal tersebut mengindikasikan bahwa setiap orang bebas untuk membuat perjanjian. Secara historis, asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan untuk:[6]
Kebebasan dalam membuat suatu perjanjian tidak mutlak, melainkan terdapat batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Para pihak tetap memiliki batasan sebagaimana diatur di dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu untuk tetap memperhatikan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata juga mengandung asas mengikat sebagai undang-undang. Makna kalimat “berlaku sebagai undang-undang” dalam ketentuan tersebut bukan berarti perjanjian mengikat secara umum. Akan tetapi, perjanjian akan mengikat bagi para pihak yang membuatnya layaknya sebuah undang-undang. Hal ini berarti setiap orang bebas membuat perjanjian apa saja, tetapi para pihak yang membuatnya harus menaatinya seperti sebuah undang-undang.[7]
Terakhir adalah asas kepribadian. Asas ini berarti perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya.[8] Hal ini diatur di dalam Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Namun, asas ini memiliki pengecualian, yaitu dalam Pasal 1316 KUHPerdata tentang perjanjian garansi dan di dalam Pasal 1317 KUHPerdata tentang derden beding.[9]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam membuat suatu perjanjian maka para pihak harus memperhatikan sekurang-kurangnya 4 (empat) asas fundamental yang bersumber dari KUHPerdata. Keempat asas tersebut adalah asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas mengikat sebagai undang-undang, dan asas kepribadian. Asas-asas tersebut yang akan melandasi setiap perjanjian yang dibuat di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Referensi:
[1] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), halaman 1.
[2] Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo, Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi, (Jakarta: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Januari 2021), halaman 4-6.
[3] Subekti, supra note nomor 1, halaman 15.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo, supra note nomor 2, halaman 5.
[7] Subekti, supra note nomor 1, halaman 14.
[8] Subekti, supra note nomor 1, halaman 29.
[9] Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo, supra note nomor 2, halaman 6.