Meterai Dalam Perjanjian, Syarat Sah Atau Tidak?

Penulis : Gaol Lando Marpaung

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebiasaan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dalam suatu masyrakat. Hal ini yang membuat manusia semakin berkembang dalam pergaulannya di dalam masyarakat. Meluasnya pergaulan manusia itu membuat manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya tidak dapat berperilaku sebebasnya meskipun setiap manusia memiliki kehendak bebas masing-masing. [1]

Dalam pergaulannya, manusia melakukan berbagai hubungan yang tentu melibatkan orang lain, seperti hubungan perdata. Hubungan perdata bisa diwujudkan melalui perbuatan hukum yaitu dengan adanya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering menggunakan meterai dalam membuat perjanjian. Paradigma yang sering muncul di masyarakat adalah meterai merupakan syarat sah dari suatu perjanjian. Lantas, apakah paradigma ini dapat dibenarkan?

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:

  1. Adanya kata sepakat;
  2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
  3. Adanya suatu hal tertentu; dan
  4. Adanya kausa yang halal.

Apabila melihat ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka sangat jelas bahwa meterai bukan syarat sah dalam suatu perjanjian. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat yang sering menggunakan meterai dalam perjanjian. Perlu diketahui, perjanjian yang dibuat di hadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Jurus Sita) berbeda dengan perjanjian yang dibuat di bawah tangan (seperti surat perjanjian jual beli, perjanjian kerja sama, perjanjian sewa menyewa). Perbedaan kedua hal ini berdampak pada fungsinya sebagai alat pembuktian.[2] Perjanjian yang dibuat di hadapan pegawai umum (akta otentik) merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak yang membuatnya serta ahli waris yang akan mendapatkan hak darinya. Adapun yang dimaksud dengan alat pembuktian sempurna adalah akta tersebut tidak dapat dipungkiri kekuatan pembuktiannya kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.[3] Sementara, akta di bawah tangan dianggap sebagai alat pembuktian yang sempurna apabila pihak yang menandatangani perjanjian tersebut tidak menyangkal tanda tangannya, yang berarti tidak menyangkal kebenaran yang tertulis dalam perjanjian.[4]

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dijelaskan bahwa terhadap perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis, baik di bawah tangan maupun akta autentik dikenakan bea meterai dengan tujuan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata. Dari ketentuan tersebut tampak jelas bahwa bea meterai yang dikenakan pada perjanjian difungsikan sebagai alat bukti yang sempurna. Maka dari itu, dengan tiadanya meterai dalam suatu perjanjian bukan berarti perbuatan hukumnya menjadi tidak sah. Apabila perjanjian tersebut semula tidak diberi meterai dan akan dipergunakan sebagai alat bukti, maka pencantuman meterai dapat dilakukan belakangan.[5] Hal ini berarti meterai tersebut dikenakan apabila perjanjian tersebut menimbulkan sengketa dan hendak digunakan sebagai alat bukti ke pengadilan.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3313).

Referensi:

[1] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: CV Rajawali, 1980), halaman 90.
[2] Bung Pokrol, sahnya perjanjian yang tanpa dibubuhi materai, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl374/sahnya-perjanjian-yang-tanpa-dibubuhi-materai/ (diakses pada 18 Oktober 2020).
[3] Asri Diamitri, Jurnal: Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Pembuktian Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Sleman, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014), halaman 5.
[4] Elly Ermawati, Lukman Santoso, Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Tanpa Bea Materai, https://www.researchgate.net/publication/342672160 (diakses pada 18 Oktober 2020).
[5] Si Pokrol, supra note nomor 2.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...