Home / Uncategorized / KUHP Series Episode 3: Pembaruan Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam KUHP Baru

KUHP Series Episode 3: Pembaruan Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam KUHP Baru

Narasumber: Maria Ulfah, S.H., M.Hum

Notulen: Giselle Suhendra

Menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru), tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh Peraturan Perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan. Sebelumnya, dalam Wetboek van Strafrecht 1918 (selanjutnya disebut KUHP Lama) tujuan pemidanaan hanya dikenal dalam doktrin semata. Lebih mendalam secara normatif, tidak ada pembahasan mengenai tujuan pemidanaan, padahal pemidanaan yang berorientasi pada pembalasan atau retributif dalam KUHP Lama sudah tidak lagi dikenal dan memang sudah tidak sesuai dengan hukum pidana modern. Tujuan pemidanaan sangat penting untuk dicantumkan dalam KUHP Baru sebagai pemberi arah bagi penegak hukum terutama jaksa dan hakim ketika memberikan sanksi pidana dan/atau tindakan pada pelaku tindak pidana. Selain jaksa dan hakim, tujuan pemidanaan akan menjadi sangat penting bagi masyarakat luas untuk mengetahui mengapa seseorang yang melakukan tindak pidana diberikan sanksi pidana dan/atau tindakan. Sanksi pidana dan/atau tindakan merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan pemidanaan, karena itu pemberian sanksi  pidana dan/atau tindakan yang bersifat proporsional oleh para penegak hukum sangat penting agar selaras dengan tujuan pemidanaan yang ditetapkan oleh Indonesia. Keselarasan tersebut telah diatur lebih rinci dalam pedoman pemidanaan dalam Pasal 53 – 56 KUHP Baru yang tidak hanya melihat pelaku individu, tapi juga korporasi sebagai subjek hukum yang mandiri. Maka dari itu, dalam KUHP Baru telah ada ketentuan dengan pemidanaan bagi korporasi atau dengan kata lain korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum pidana. 

Mengingat bahwa pada dasarnya hukum pidana di Indonesia sudah mulai berkembang, dalam KUHP Baru dikenal istilah pemaafan hakim, artinya hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan memberikan maaf kepada pelaku terutama untuk tindak pidana yang bersifat ringan. Dengan pemaafan hakim, tidak setiap pelaku tindak pidana serta merta akan diproses melalui proses di pengadilan yang kemudian berakhir dengan pemberian sanksi pidana. Dalam kasus tindak pidana ringan, hakim diberikan kewenangan untuk memilih antara memberikan pemaafan hakim atau tidak. Apabila diberikan pemaafan hakim, maka harus dicantumkan dalam putusan dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, tetapi hakim memberikan pemaafan dengan pertimbangan tertentu. 

Latar belakang munculnya pemaafan hakim di Indonesia adalah dari fenomena kasus pidana ringan yang meresahkan hati nurani masyarakat. Terdapat beberapa kasus di mana tindak pidana ringan seharusnya dapat diselesaikan tanpa dijatuhi pidana penjara, namun karena telah berproses di pengadilan para pelaku tindak pidana diberikan pidana penjara dalam waktu singkat. Sebagai contoh, pada tahun 2009 kasus di Indonesia yang cukup menghebohkan adalah kasus Nenek Minah. Kasus Nenek Minah adalah salah satu contoh kasus yang membuka mata masyarakat Indonesia bahwa keadilan di Indonesia sangat penting. Jika pemaafan hakim sudah berlaku pada saat kasus Nenek Minah, besar kemungkinan Nenek Minah untuk mendapatkan pemaafan hakim. Melalui adanya pemaafan hakim ini, hakim diharapkan dapat dengan bijaksana menggunakan instrumen berupa pemaafan hakim sesuai tujuan dan pedoman pemidanaan terhadap suatu kasus yang layak diberikan pemaafan hakim, terutama untuk kasus pidana ringan. Terlebih lagi, KUHP Baru menegaskan bahwa jika ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan-lah yang diutamakan. Keadilan ini sebaiknya dimaknai sebagai keadilan yang berlandaskan pada hukum agar tidak menjadi disalahgunakan dalam penerapannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa urgensi pengaturan tujuan dan pedoman pemidanaan ini erat kaitannya dengan orientasi KUHP Lama, dimana pada KUHP Lama pemidanaan bersifat sangat retributif. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam KUHP Baru ini diharapkan dapat menjadi arahan bagi para penegak hukum dalam pemberian sanksi pidana dan/atau tindakan dengan lebih proporsional. 

Berdasarkan Pasal 51 dan 52 KUHP Baru terlihat bahwa sistem pemidanaan berfokus pada pencegahan tindak pidana dan berorientasi juga pada pemasyarakatan atau rehabilitasi pelaku. Dengan ini diharapkan ada penyesalan dari terpidana atas tindak pidana yang dilakukan. Selanjutnya, hal yang menarik adalah adanya penyesuaian dengan konteks Indonesia, dimana dikenal penyelesaian konflik dengan pemulihan keseimbangan, yang dinilai mampu menciptakan kondisi aman dalam masyarakat. Kemudian, perlu diketahui bahwa dalam KUHP Baru, hak asasi pelaku sangat dijunjung. Hal ini berarti jangan sampai sistem pidana di Indonesia masih memberikan sanksi pidana yang merendahkan martabat manusia. Tak hanya itu, dalam KUHP Baru, bukan hanya pelaku yang menjadi fokus utama, tetapi juga sangat ditonjolkan keseimbangan antara kepentingan umum yang diharapkan oleh negara dan juga kepentingan individu bagi pelaku dan korban, bahkan juga untuk perlindungan dan ketertiban di masyarakat. Tujuan pemidanaan sudah dilihat secara komprehensif dalam berbagai aspek dalam tujuan pemidanaan. Lebih lanjut, individualisasi pidana bagi pelaku sangat tampak dalam tujuan pemidanaan yang diatur dalam KUHP Baru.

Dalam KUHP Baru masih terdapat sanksi pidana berupa pidana mati yang erat dengan konsep pembalasan, padahal pembalasan sudah diharapkan untuk ditinggalkan. Dalam konteks Negara Indonesia, pidana mati dirasa masih dibutuhkan walaupun penggunaannya dalam KUHP Baru sudah lebih berlapis. Hal itu berarti, pembalasan dalam pidana mati sudah tidak lagi menjadi bagian dari tujuan pemidanaan, namun lebih ditegaskan sebagai pidana khusus yang memang selalu didahului dengan penjatuhan pidana alternatif baik dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Jadi, pembalasan bukan lagi orientasi dalam pemberian sanksi pidana mati, melainkan hanya sebagai kekhususan yang selalu didahului dengan pertimbangan pidana alternatif. 

Masalah yang cukup serius dalam sistem pemidanaan di Indonesia yang diharapkan mampu diatasi dalam KUHP Baru adalah adanya overcapacity dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kehadiran KUHP Baru dianggap dapat menyelesaikan masalah overcapacity dengan berbagai instrumen yang dimiliki. Dalam KUHP Baru telah terdapat perkembangan yang lebih baik dari KUHP Lama, hal ini karena ada hal progresif dalam kaitannya dengan sanksi pidana dan/atau tindakan yang telah diatur lebih spesifik. Sanksi pidana dan/atau tindakan juga sudah dibedakan bagi masing-masing subjek hukum yang diakui, misalnya anak, orang dewasa, orang dengan disabilitas mental dan/atau intelektual, hingga korporasi. Selain itu, Indonesia juga semakin memperjelas penggunaan double track system (sanksi pidana lain selain pidana penjara) bagi terpidana, dimana sanksi pidana dan tindakan dapat digunakan secara bersamaan. Akan tetapi, jika dalam situasi tertentu dibutuhkan (misalnya untuk pelaku manusia yang mengalami disabilitas mental atau intelektual), maka dapat dipergunakan tindakan saja. Tak hanya itu, perkembangan progresif lainnya adalah bahwa sistem pidana Indonesia menjadi lebih humanis karena jenis pidana dalam KUHP Baru juga sudah mengenal alternatif pidana penjara dengan jangka waktu singkat di bawah 5 (lima) tahun. Dengan berbagai alternatif dari pidana penjara yang ada di KUHP Baru, harapannya menjadi solusi untuk permasalahan overcapacity Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Dengan adanya sanksi berupa tindakan dalam KUHP Baru, maka hal yang sangat perlu diperhatikan adalah pembentukan konkrit dari pidana pengawasan dan pidana kerja sosial karena keduanya adalah jenis pidana baru yang belum pernah ada sebelumnya dan membutuhkan keterlibatan banyak pihak dalam penerapannya. Oleh karena itu, jika pihak-pihak yang bersangkutan tidak disiapkan secara matang, muncul kekhawatiran bahwa sanksi berupa tindakan tersebut hanya sebatas aturan yang baik bukan untuk dipergunakan secara baik. 

Selain pengaturan jenis pidana yang dapat mengurangi masalah overcapicity, dalam sistem pidana Indonesia yang mengenal istilah pemaafan hakim juga dapat menjadi solusi atas overcapacity. Apabila pemaafan hakim sangat layak diberikan untuk kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, sebaiknya dipergunakan untuk mengurangi keberadaan terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Lebih lanjut, Pasal 70 KUHP Baru berbicara mengenai terdakwa yang sedapat mungkin tidak diberikan pidana penjara, salah satunya adalah anak-anak. Ketika berbicara mengenai anak memang pada dasarnya lebih baik tidak diberikan sanksi pidana penjara. Selain anak, juga disebutkan mengenai mereka yang berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun ke atas yang juga sebaiknya dihindari dari pidana penjara. Sehingga dalam KUHP Baru akan terdapat klasifikasi dalam Pasal 70 KUHP Baru agar tidak semua terdakwa diberikan pidana penjara. Selain itu, Indonesia juga harus membangun beberapa Lembaga pemasyarakatan untuk mengatasi permasalahan overcapacity juga demi kehidupan yang layak bagi Narapidana. Terakhir, dalam mengurangi masalah overcapacity, KUHP Baru telah menghapus pidana kurungan. Hal itu juga didorong karena pidana kurungan memang memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya selama ini, salah satunya adalah pengaturan pidana kurungan yang diatur berbeda dengan penjara. Pidana kurungan mempunyai kekhasan lebih ringan daripada penjara, namun pada prakteknya dilakukan sama dengan penjara sehingga pelaksanaan kurungan ini terkesan tidak terdapat perbedaan dengan pidana penjara. Oleh karena itu, ketika pidana kurungan dihapuskan ini menjadi hal yang dapat dimaklumi.

Selanjutnya, mengenai sanksi pidana denda dalam KUHP Baru, dapat dilakukan secara mengangsur. Selain itu, dalam Pasal 81 KUHP Baru menyatakan bahwa kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita atau dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dapat dibayar. Dengan 2 (dua) kelebihan tersebut diharapkan dapat memaksimalkan pidana denda dalam KUHP Baru. Terkait pilihan atau opsi antara pidana denda dan pidana penjara pengganti, seharusnya pilihan tersebut berada di tangan hakim yang memberikan putusan. Hal itu karena hakim dalam KUHP Baru harus memperhatikan pedoman pemidanaan, salah satu yang relevan apakah pidana denda bisa dipilih oleh terpidana atau tidak, yaitu dengan memperhatikan Pasal 54 ayat (1) huruf g KUHP Baru yang relevan dengan memperhatikan riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana. Akan tetapi, jika dilihat dalam situasinya ternyata ada banyak hal yang bermasalah dan terpidana tidak dimungkinkan untuk membayar pidana denda, dimungkinkan untuk membuka opsi terkait dengan pidana penjara pengganti. Pada intinya, KUHP Baru telah memaksimalkan penggunaan pidana denda dengan:

  1. Melalui adanya sistem mekanisme cicilan, penyitaan atau pelelangan harta pelaku tindak pidana oleh jaksa; dan
  2. Opsi lain yang dimuat dalam putusan hakim.

Kemudian, mengenai sanksi pidana kerja sosial dan pidana pengawasan dalam KUHP Baru memang memerlukan peran besar dari jaksa dan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Akan tetapi, cara pengawasan jaksa dan Bapas atas sanksi tersebut belum diatur dalam KUHP Baru. Hal ini berarti pemerintah harus segera memikirkan dari sisi aturan dan sisi pelaksanaan dari sanksi pidana kerja sosial dan pidana pengawasan. Perlu disadari bahwa pelaksanaan tindak pidana pengawasan membutuhkan banyak sumber daya, sehingga terdapat tugas baru yang harus segera dipikirkan oleh pemerintah.  

Salah satu jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHP Baru adalah sanksi pidana tutupan. Dalam sejarah di Indonesia, sanksi pidana tutupan hanya pernah diterapkan satu kali, yaitu pada peristiwa 3 Juli 1946. Kriteria sanksi pidana tutupan sendiri didasarkan atas motif pelaku tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati dan harus tercantum dalam putusan hakim. Dalam penjelasan KUHP Baru, tindakan yang dapat dimasukkan pada dasarnya adalah tindak pidana politik. Akan tetapi, kriteria pidana politik seperti apa yang masuk ke dalam klasifikasi ‘karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati’ juga menjadi sebuah pertanyaan yang sampai sekarang masih tidak jelas pengaturannya. Tindak politik yang dimaksud tidak jelas, sedangkan sejauh ini banyak sekali tindak pidana politik tetapi tidak ada satupun yang diberikan sanksi berupa sanksi pidana tutupan. Maka dari itu, kriteria tindak pidana politik dalam sanksi pidana tutupan ini masih membingungkan karena tidak ada penjelasan tentang kriteria tindak pidana politik yang dimaksud. 

Dalam penerapan sanksi pidana adat juga terdapat permasalahan tersendiri mengenai bagaimana penjatuhan sanksi pidana adat oleh hakim yang tidak mengenal hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari adanya ilustrasi ketika seorang hakim asal Papua yang ditugaskan di Bali, kemudian suatu saat hakim harus merujuk pada hukum adat yang ada di Bali. Akan tetapi, mengingat bahwa di Indonesia terdapat banyak sekali hukum adat dan seorang hakim bisa dipindah tugaskan ke berbagai daerah, maka menjadi pertanyaan tersendiri bagaimana jika hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan hukum adat dimana wilayah dirinya bekerja? Dalam kasus seperti ini, hakim dapat mengetahui adat setempat dengan menghadirkan ahli dalam hal adat di wilayah tersebut. Sehingga, hakim dalam kasus tertentu dimungkinkan untuk menghadirkan ketua adat setempat, akademisi atau peneliti yang meneliti tentang hukum adat di wilayah setempat. Selain keterangan ahli dapat juga dilihat dalam Pasal 2 KUHP Baru bahwa semua hukum adat yang masih berlaku harus dituliskan pada Peraturan Daerah (selanjutnya disebut PERDA) setempat. Sehingga, PERDA tersebut bisa menjadi sarana hukum formal untuk mengetahui ketentuan hukum adat setempat. Dengan itu, seorang hakim yang menangani kasus dapat melihat dari PERDA setempat yang mengatur mengenai isu kewajiban adat atau tindak pidana sampai hal yang terkait dengan pelanggaran konteks adat. Lebih lanjut, dalam KUHP Baru diatur bahwa sanksi adat dianggap sebanding atau sama dengan pidana denda kategori II. Dalam hal ini, lembaga yang berwenang dalam menetapkan suatu sanksi tambahan berupa kewajiban adat dianggap yang sebanding pidana denda kategori 2 (dua) adalah hakim, namun tetap harus memperhatikan PERDA yang relevan serta pendapat ahli. 

Tersedia di: