KUHP Series Episode 05: Pergeseran Paradigma Pidana Mati Dalam KUHP Baru

Narasumber : Erasmus A. T. Napitupulu

Notulen: Eugenia Priska Labaran

Perdebatan pro dan kontra penerapan pidana mati dalam KUHP Baru sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Sedari awal KUHP milik Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (selanjutnya disebut WvS) yang diadopsi oleh Indonesia sudah mengalami perdebatan mengenai pidana mati. Pada tahun 1887, saat Belanda memiliki KUHP Nasional yang dibuat secara mandiri setelah sebelumnya mengadopsi KUHP dari Perancis, Belanda awalnya menghapus pidana mati dengan alasan peradaban. Kemudian pada tahun 1912, pada saat membahas KUHP untuk Indonesia, yaitu Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlanshe Indie (selanjutnya disebut KUHP Lama) terjadi pula perdebatan yang cukup sengit di Belanda. Hal ini karena pada saat itu banyak anggota parlemen dan cendekiawan Belanda yang menyatakan bahwa apabila Belanda melihat Indonesia sebagai negara bagian dari Belanda, maka sebaiknya hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah sama, termasuk hukum materiil dan formilnya. Akan tetapi, akhirnya diputuskan bahwa KUHP Lama yang berlaku di Indonesia memiliki perbedaan dengan Belanda, salah satunya adalah mengenai dikenalnya pidana mati dalam KUHP Lama yang berlaku di Indonesia. 

Terdapat beberapa alasan mengapa pidana mati pada saat itu diterapkan di Indonesia melalui KUHP Lama. Alasan pertama karena Indonesia dianggap sebagai negara yang sulit diatur, negara kelas tiga dan masyarakatnya adalah masyarakat “pribumi”, sehingga dianggap perlu menerapkan hukuman yang keras. Alasan kedua adalah Belanda menganggap bahwa pidana mati cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini karena pada masa itu Indonesia belum memiliki peradaban sebaik peradaban yang dimiliki Belanda. Dengan demikian, apabila dilihat lebih jauh, alasan penerapan pidana mati di Indonesia pada KUHP Lama di tahun 1918 adalah alasan yang bersifat rasial. Sejak tahun 1918 hingga saat ini, penerapan pidana mati dalam KUHP Lama tetap bertahan. Sekalipun di tahun 1946, saat penerapan KUHP Lama melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana mati juga tidak dihapus dan dianggap masih perlu untuk menjaga stabilitas negara. Oleh karena itu, sekalipun telah menjadi hukum Indonesia, para founding parents pada saat itu memandang bahwa pidana mati masih perlu diterapkan. 

Ketika KUHP Baru pertama kali dirancang, dimulai dari draft awal di tahun 1960 hingga draft pertama kali diberikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) di tahun 2012, bahkan hingga pembahasan pertama kali di DPR pada tahun 2015, rumusan pidana mati selalu ada. Hanya saja terdapat perdebatan bahwa pidana mati tidak dapat diterapkan dengan cara yang sama seperti yang ada di KUHP Lama. Lalu muncul istilah “Indonesia sui” yang bermakna bahwa pidana mati ketika pertama kali dijatuhkan tidak langsung dilakukan, melainkan harus terlebih dahulu terdapat masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Konteks ini juga diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) yang menyatakan bahwa ketika pidana mati dijatuhkan harus dibuka peluang untuk perbaikan, sehingga dibuat pidana percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Lamanya masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun ini diperoleh MK dari perumus KUHP Baru. Perdebatan pro dan kontra mengenai pidana mati ini sesungguhnya telah berlangsung kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun saat pembahasan di DPR. Salah satu tokoh di DPR yang pada masa itu menolak pidana mati adalah Benny K. Harman. Beberapa penolakan keras menyebabkan diaturnya konsep masa percobaan dalam KUHP Baru yang dianggap sebagai jalan tengah. 

Sejatinya, perdebatan pidana mati dalam KUHP Baru bukan terkait dengan pro dan kontra mengenai diaturnya pidana mati atau tidak. Hal ini karena pidana mati masih dianggap perlu, baik oleh kelompok nasionalis, kelompok tengah maupun kelompok Islam. Pada masa itu, kelompok Islam menganggap bahwa pidana mati harus tetap dipertahankan karena dinilai sesuai dengan ajaran agama. Di sisi lain, salah satu bentuk penolakan terhadap pidana mati memiliki alasan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu pemasyarakatan. Hal ini karena pidana mati dianggap tidak sejalan dengan teori pemasyarakatan karena melalui pidana mati, proses pemasyarakatan tidak akan pernah muncul. Dengan begitu, secara struktur pembentukan KUHP Baru, banyak yang menganggap bahwa pidana mati dalam KUHP Baru bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh perumus KUHP Baru, yaitu dekolonisasi, modernisasi, dan harmonisasi. Dalam hal ini, pidana mati dianggap bertentangan dengan dekolonisasi karena sejatinya pidana mati adalah logika kolonial. Pidana mati juga bertentangan dengan modernisasi dan harmonisasi karena seharusnya Indonesia mencocokkan pengaturan dalam KUHP Baru dengan Hukum Internasional, di mana Hukum Internasional telah menyatakan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Maka dari itu, pengaturan pidana mati dengan masa percobaan hadir untuk menjadi jalan tengah antara kaum abolisionis dengan retensionis.  

Selanjutnya, dalam kacamata Hukum Pidana, suatu hukuman harus dilaksanakan dengan segera. Hal ini sesuai dengan konsep Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan pidana yang bersifat segera bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Indonesia sebagai salah satu negara yang hingga saat ini masih menerapkan pidana mati, memiliki aturan yang ketat terhadap eksekusi mati. Bukti aturan yang ketat ini dapat dilihat dengan adanya pengaturan mengenai grasi. Ketika eksekusi mati hendak dilaksanakan harus terlebih dahulu dipastikan bahwa sudah tidak ada upaya hukum lain yang dapat diajukan oleh terpidana, misalnya grasi yang diajukan oleh terpidana sudah ditolak. Dalam konteks eksekusi pidana mati, memang harus dikelompokkan secara berbeda. Hal ini karena nyatanya pemerintah enggan untuk melakukan eksekusi mati dengan segera, meskipun terdapat pula beberapa kasus, di mana terpidana dieksekusi mati dalam kurun waktu di bawah 5 (lima) tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Kemudian, di Indonesia memang terdapat suatu fenomena deret tunggu atau waiting list yang sejatinya berujung pada suatu fenomena yang lebih besar, yaitu death row phenomenon atau fenomena deret tunggu. Salah satu reporter Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Juan E. Méndez menyatakan bahwa death row phenomenon adalah fenomena yang terjadi ketika terpidana mati menunggu eksekusi mati dan mengalami kondisi yang tidak layak dialami oleh orang yang sedang dihukum. Death row phenomenon menyebabkan kondisi psikologis dan kondisi mental yang tidak baik bagi tubuh seorang terpidana mati. Maka dari itu, permasalahan terkait dengan death row phenomenon sejatinya bukan hanya soal menjalani 2 (dua) pidana sekaligus, melainkan juga kondisi yang buruk bagi terpidana mati itu sendiri. 

Death row phenomenon muncul sebagai fenomena yang terjadi di Indonesia karena hingga saat ini Indonesia masih kerap kali menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan data yang diperoleh oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ditemukan data bahwa terdapat terpidana mati yang harus menunggu kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun di dalam penjara untuk mendapatkan eksekusi mati. Melalui keberadaan sistem Hukum Pidana di Indonesia saat ini, tidak terdapat mekanisme yang dapat mengubah hukuman terpidana mati yang telah lama menunggu eksekusi, kecuali terpidana mati mendapatkan pengampunan/grasi dari Presiden. Oleh karena itu, dapat terlihat bahwa sekalipun terpidana mati telah berada di penjara selama bertahun-tahun untuk menunggu eksekusi yang diperparah dengan kondisi buruk yang harus dialami, dalam KUHP Lama tidak terdapat mekanisme yang dapat mengubah pidana bagi terpidana mati. 

Apabila dilihat dari pengaturan pidana mati dalam KUHP Baru, dapat terlihat bahwa terdapat perubahan arah kebijakan pidana di Indonesia, yaitu penghapusan pidana mati. Hal ini dapat terlihat apabila dipahami bahwa pidana mati sejatinya merupakan bagian dari teori absolute atau teori pembalasan, karena dalam hal ini nyawa diganti dengan nyawa. Selain itu, teori absolute menyatakan bahwa satu-satunya alasan seseorang dapat dipidana mati adalah orang tersebut telah melakukan perbuatan yang jahat, sehingga menjadi layaklah nyawanya dicabut. Dalam konteks KUHP Baru, paradigma ini telah bergeser menjadi seseorang tidak hanya dieksekusi mati karena perbuatan yang jahat, melainkan seseorang dieksekusi mati selain karena perbuatannya jahat, tetapi juga karena gagal dalam menjalani masa percobaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP Baru. Oleh karena itu, dapat terlihat bahwa perumus KUHP Baru memposisikan eksekusi mati dalam 2 (dua) beban yang terpisah. Beban pertama adalah seseorang melakukan tindak pidana, yang mana hal ini merupakan bagian dari teori itu absolute. Beban kedua adalah periode kemanfaatan atau dalam kontes ini restoratif ketika seseorang dapat memperbaiki diri dalam waktu 10 (sepuluh) tahun, maka terhadap orang tersebut diberikan pengampunan. Arah dari perubahan pidana mati ini juga dapat dianggap sebagai jalan tengah bagi kelompok retensionis, di mana dalam KUHP Baru masih terdapat pidana mati dan di sisi lain juga jalan tengah bagi kaum abolisionis yang menentang pidana mati. 

Apabila berbicara mengenai negara lain, sebagian besar negara di dunia telah menghapuskan pidana mati dengan berbagai alasan/kondisi. Salah satu kondisi yang mendorong penghapusan pidana mati adalah ketika negara yang bersangkutan mengadopsi atau meratifikasi perjanjian internasional yang mengarah pada penghapusan pidana mati, misalnya ketika negara menjadi negara pihak dalam Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights. Selain itu, terdapat pula beberapa negara yang menghapuskan pidana mati dengan alasan perubahan paradigma kebijakan, misalnya yang terjadi di Filipina. Dalam hal ini, Filipina menghapuskan pidana mati karena menilai bahwa pidana mati bertentangan dengan nilai-nilai di Filipina yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Perubahan paradigma ini juga didukung oleh Paus yang merupakan tokoh besar dalam agama Katolik, yang pada saat itu mendorong Filipina untuk menghapus pidana mati. Selain kedua alasan di atas, ada pula beberapa negara yang menghapus pidana mati karena secara de facto negara tersebut tidak lagi melakukan eksekusi mati. Australia adalah salah satu negara yang dalam kurun waktu tertentu tidak melakukan eksekusi mati sebelum akhirnya memutuskan untuk menghapuskan pidana mati secara total. Dalam konteks KUHP Baru ini terlihat bahwa arah yang hendak dituju adalah mendorong eksekusi mati semakin sulit untuk dilakukan, maka harapan ke depannya Indonesia secara de facto menghapuskan pidana mati. 

Lebih lanjut, dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP Baru terlihat bahwa seorang terpidana mati dapat memperoleh masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Kemunculan durasi masa percobaan selam 10 (sepuluh) tahun ini didasarkan pada putusan MK. Hal ini dikarenakan MK pernah memutuskan bahwa pidana mati harus dijadikan satu kesatuan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun agar memberikan kesempatan pada terpidana mati untuk dapat mengubah perilakunya menjadi lebih baik. Menurut MK, angka 10 (sepuluh) tahun ini diperoleh dari keterangan yang dibuat oleh tim perumus KUHP Baru yang pada saat proses persidangan di MK diundang untuk hadir guna menyampaikan pandangannya. Akan tetapi, apabila ditanyakan lebih jauh kepada perumus KUHP Baru, angka 10 (sepuluh) tahun ini tidak jelas datangnya dari mana. 

Dalam beberapa pembahasan, sistem eksekusi mati di Indonesia memiliki kemiripan dengan sistem eksekusi mati yang ada di China. Sistem eksekusi mati di China mengenal istilah immediate execution (eksekusi segera) dan delay execution (eksekusi yang ditunda). Immediate execution terjadi ketika hakim merasa bahwa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terpidana mati merupakan perbuatan yang sangat jahat, maka terhadap orang tersebut pidana mati dijatuhkan dengan segera setelah mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Agung (MA). Hal ini berbeda dengan mekanisme delay execution yang memiliki masa percobaan tertentu, yang mana jika berbicara mengenai sistem di China, maka masa percobaan yang diberikan adalah 5 (lima) tahun. Konsep delay execution di China ini memiliki kemiripan dengan konsep yang ada di Indonesia. Salah satu penyebab kemiripan sistem ini karena pada saat proses pembentukan pengaturan mengenai pidana mati, China menggunakan beberapa konsultan asal Amerika Serikat yang sebenarnya juga digunakan oleh perumus KUHP Baru. Diskusi panjang terkait dengan pidana mati dalam KUHP Baru ini terlihat dalam buku-buku karangan Prof. Mardjono Reksodiputro atau buku yang telah dipublikasikan oleh ICJR. 

Selanjutnya, apabila melihat rumusan Pasal 100 ayat (2) KUHP Baru tertulis bahwa: 

Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.” 

Berdasarkan rumusan pasal di atas, terkesan bahwa masa percobaan bagi terpidana mati hanya dapat diberikan jika masa percobaan tersebut dicantumkan dalam putusan pengadilan. Akan tetapi, dalam memaknai apa yang dimaksud dengan ‘harus dicantumkan dalam putusan pengadilan’ perlu melihat lebih jauh pada proses rapat terakhir di DPR saat pengambilan keputusan KUHP Baru. Dalam rapat tersebut, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun ini bersifat wajib, sehingga selalu dijatuhkan oleh hakim ketika memberikan pidana mati. Apabila merujuk pada sejarah, alasan mengapa dalam Pasal 100 ayat (2) KUHP Baru merumuskan “harus dicantumkan dalam putusan pengadilan” adalah untuk memastikan bahwa masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun itu menjadi bagian dari putusan hakim. Konteks serupa juga terjadi ketika hakim menjatuhkan pidana penjara, di mana hakim juga wajib untuk menentukan berapa lama hakim menjatuhkan masa pidana penjara tersebut. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHP Baru tidak dapat dimaknai bahwa hakim boleh untuk tidak memberikan masa percobaan saat menjatuhkan pidana mati. 

Berikutnya, dalam Pasal 100 ayat (4) KUHP Baru menegaskan bahwa: 

Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.” 

Ketentuan di atas sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia karena mekanisme ini sudah dikenal dengan mekanisme grasi. Berkaitan dengan perubahan paradigma dari teori absolute yang sebelumnya telah dibahas, mengakibatkan konsekuensi bahwa alasan seorang terpidana mati tidak dieksekusi adalah bukan semata-mata karena adanya grasi sebagai hak prerogatif Presiden semata, melainkan juga karena terpidana mati telah melewati masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dan berkelakuan baik. Apabila berbicara mengenai pihak yang berhak untuk menentukan penilaian sikap terpuji terhadap terpidana mati, maka berdasarkan Pasal 100 ayat (4) KUHP Baru yang menggunakan logika pemasyarakatan, pihak yang berhak adalah Lembaga Pemasyarakatan. Melihat pentingnya penilaian dalam masa percobaan ini, maka terdapat kepentingan untuk mengatur lebih lanjut dalam aturan internal atau setidaknya dalam peraturan perundang-undangan pelaksana dari KUHP Baru mengenai mekanisme penilaian tersebut. 

Menurut Narasumber, apabila berbicara mengenai Pasal 99 ayat (1) KUHP Baru dan dihubungkan dengan Pasal 101 KUHP Baru, terlihat adanya kesalahan. Kesalahan ini muncul karena bagi Narasumber, keberadaan dari Pasal 101 KUHP Baru hanya relevan ketika rumusan dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP Baru masih menggunakan kata “dapat” yang berujung pada hakim diperbolehkan memberikan atau tidak memberikan masa percobaan saat menjatuhkan pidana mati. Menjadi relevan karena ketika hakim diperbolehkan menjatuhkan immediate execution tanpa masa percobaan, kemudian terhadap terpidana ini tidak dilakukan eksekusi oleh pemerintah selama 10 (sepuluh) tahun, maka berlakulah Pasal 101 KUHP Baru. Akan tetapi, permasalahan muncul ketika Pasal 100 ayat (1) KUHP Baru yang kini ada telah menutup kemungkinan terhadap immediate execution, sehingga wajib dilakukan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Melihat kenyataan bahwa eksekusi hanya dilakukan selama masa percobaan, maka sebenarnya keberadaan Pasal 101 KUHP Baru menjadi tidak relevan karena harusnya eksekusi dijatuhkan ketika masa percobaan gagal, bukan ketika grasi ditolak.

Akan tetapi, jika berbicara mengenai mengapa perlu ada Pasal 101 KUHP Baru, maka tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum ini adalah ketika terpidana mati yang pengajuan grasinya ditolak oleh Presiden dan selama 10 (sepuluh) tahun tidak dieksekusi mati, maka terhadap terpidana ini tidak boleh dieksekusi mati atau pidananya dapat diubah. Lebih lanjut, dalam Hukum Pidana dikenal asas lex favor reo yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (7) KUHP Baru. Asas lex favor reo memiliki makna bahwa ketika terjadi suatu perubahan peraturan perundang-undangan, maka dipakailah aturan yang paling menguntungkan. Asas lex favor reo ini juga seharusnya berlaku bagi terpidana mati yang saat ini sedang berada di Lembaga Pemasyarakatan dan grasinya ditolak oleh Presiden. 

Terkait dengan keberadaan Pasal 99 ayat (1) KUHP Baru, kehadiran pasal ini tidak dapat ditafsirkan bahwa seseorang harus dieksekusi ketika grasinya ditolak. Pasal 99 ayat (1) KUHP Baru muncul untuk memberikan jaminan bahwa seseorang hanya boleh dieksekusi ketika permohonan grasinya telah ditolak oleh Presiden. Dengan kata lain, apabila belum adanya penolakan grasi dari Presiden, maka orang tersebut tidak dapat dieksekusi. Sekalipun, di Indonesia secara de facto eksekusi mati tidak pernah lagi dilakukan dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, eksekusi mati terakhir dilakukan pada tahun 2016. Maka dari itu, nantinya keberadaan Pasal 99 ayat (1) KUHP Baru ini dapat memberikan kepastian hukum bagi terpidana mati yang berada di Lembaga Pemasyarakatan yang permohonan grasinya telah ditolak, tetapi belum dilakukan eksekusi selagi berada dalam masa percobaan. Terhadap terpidana mati tersebut dapat diberikan eksekusi mati selama masa percobaan. Menjadi lain hal ketika terpidana mati telah ditolak grasinya, namun setelah 10 (sepuluh) tahun masa percobaan tidak dilakukan eksekusi, maka terhadapnya harus dilakukan perubahan hukuman.

Terakhir, bagi Narasumber dalam membaca rumusan Pasal 100 ayat (4) KUHP Baru harus dilekatkan dengan Pasal 101 KUHP Baru. Hal ini karena apabila dibaca secara terpisah, maka orang beranggapan bahwa setelah menjalani masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dan terpidana mati menunjukkan perubahan sikap yang terpuji, terhadap terpidana tersebut pidananya boleh diubah atau boleh pula tidak diubah. Hal ini adalah kekeliruan, karena sejatinya apabila seseorang berhasil melalui masa percobaannya dan dinyatakan berkelakuan baik, maka konsekuensinya adalah pidana mati yang sebelumnya diberikan kepadanya harus diubah.

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...