Konsep Bank Tanah dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Narasumber: Brian Dave – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo saat ini telah memasuki periode kedua sekaligus periode terakhir. Ketika menyampaikan pidato perdananya setelah dilantik di depan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan seluruh rakyat Indonesia, Presiden Jokowi mencetuskan gagasan pembuatan 2 (dua) omnibus law, salah satunya adalah Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.[1] Adapun omnibus law memiliki pengertian sebagai suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang subtansi pengaturannya berbeda menjadi 1 (satu) peraturan dalam 1 (satu) payung hukum.[2] Setelah melalui proses penyusunan dan pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, tanggal 2 November 2020 Presiden Joko Widodo secara resmi mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut sebagai UU Cipta Kerja). Keberadaan UU Cipta Kerja menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Salah satu klaster dalam UU Cipta Kerja yang dianggap kontroversial dan merugikan kepentingan masyarakat adalah klaster pertanahan, khususnya tentang Bank Tanah.

Keberadaan Bank Tanah diatur dalam pasal 125 sampai dengan pasal 135 UU Cipta Kerja.[3] Bank Tanah adalah badan khusus yang mengelola tanah, dan berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Himawan Arief Sugoto, Bank Tanah hadir sebagai land manager.[4] Land manager akan berfungsi membentuk strategi pengelolaan tanah untuk dapat mengembangkan penggunaan tanah yang optimal. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa dengan terbentuknya Bank Tanah dapat menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan sehingga pada akhirnya berpotensi mengganggu kepentingan masyarakat Indonesia. Adapun melalui tulisan ini, penulis mencoba menunjukan beberapa hal terkait Bank Tanah yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Diaturnya Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi berdirinya suatu lembaga negara baru di Indonesia, yaitu Bank Tanah itu sendiri. Pendirian suatu lembaga baru memerlukan berbagai sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan terlebih dahulu agar lembaga tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sarana dan prasarana, contohnya seperti gedung, peralatan kantor, alat tulis kantor, tenaga kerja, tenaga penunjang, tenaga keamanan, dan masih banyak lagi. Persiapan tersebut tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Adapun anggaran yang digunakan akan berasal dari kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menjadi bagian dari pengertian Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Selain itu, apabila dilihat dalam pasal-pasal mengenai Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja, sebagian besar tugas dan fungsi yang dijelaskan merupakan bagian dari lingkup kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut sebagai Kementerian ATR/BPN). Dalam pasal 125 ayat (4) UU Cipta Kerja, tertulis bahwa fungsi Bank Tanah adalah melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Sementara itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, pada pasal 5 dinyatakan bahwa salah satu fungsi Kementerian ATR adalah pengadaan tanah dan pengembangan pertanahan. Berdasarkan contoh tersebut, penulis berpendapat bahwa keberadaan Bank Tanah yang tugas dan fungsinya mencakup lingkup kerja Kementerian ATR/BPN menjadi tidak diperlukan. Tugas dan fungsi Bank Tanah sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN, sehingga tidak perlu menambah sarana dan prasarana baru. Oleh karena itu, keberadaan Bank Tanah tidak efektif, tidak efisien, dan hanya menghabiskan anggaran negara.

Konsep Bank Tanah sebagai penguasa dan pengelola tanah negara dinilai berpotensi menghidupkan kembali terjadinya domein verklaring yang pernah berlangsung pada zaman penjajahan Belanda. Adapun fungsi utama domein verklaring pada waktu itu adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah Belanda untuk memberikan hak-hak barat dan untuk mempermudah pemerintah Belanda mengambil tanah-tanah masyarakat berdasarkan hukum pembuktian yang legal. Isi domein verklaring pada intinya yaitu seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh pihak lain menjadi tanah domein milik negara. Saat ini, domein verklaring telah dicabut dan dihapus secara tegas dalam Undang-Undang Pokok Agraria Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut sebagai UUPA), tepatnya pada bagian “memutuskan” dalam pembukaan. Pada butir 2, huruf a sampai dengan huruf c, secara tegas menyatakan bahwa berlakunya UUPA disertai dengan pencabutan “Domeinverklaring, Algemene Domeinverklaring, Domeinverklaring untuk Sumatera, Domeinverklaring untuk keresidenan Manado, dan Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo”. Munculnya Bank Tanah, walaupun tidak sama seperti domein verklaring, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan oleh pemerintah dalam melakukan pengelolaan tanah. Berdasarkan pasal 6 UUPA, memang dinyatakan bahwa seluruh tanah yang ada di Indonesia memiliki fungsi sosial dan pemerintah berhak melakukan pengadaan tanah demi kepentingan sosial. Akan tetapi, dalam pengaturan UU Cipta Kerja, belum ada kejelasan mengenai kriteria dan persyaratan bagi Bank Tanah dalam melakukan pengadaan dan pengelolaan tanah. Jenis dan macam tanah seperti apa saja yang dapat dikelola oleh Bank Tanah juga tidak diatur dalam UU Cipta Kerja. Ketidakjelasan tersebut dikhawatirkan menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Pemerintah melalui Bank Tanah memiliki kuasa untuk dapat mengambil tanah masyarakat, dengan dalih demi pengelolaan yang lebih berkembang. Hal tersebut tentu menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia.

Presiden Jokowi secara tegas menyampaikan bahwa fokus kepemimpinannya dalam periode terakhir ini adalah mempermudah masuknya investasi ke Indonesia.[5] Hal tersebut memang tujuan yang baik, karena masuknya investasi berarti pembukaan lapangan kerja yang berlimpah. Akan tetapi, keberadaan Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja menimbulkan dugaan bahwa pemerintah akan mengupayakan segala cara demi investasi, termasuk mengorbankan kepentingan dan keadilan masyarakat. Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattof, keberadaan Bank Tanah membuka ruang bagi sektor swasta untuk memperoleh tanah dengan harga murah.[6] Tentu apabila sektor swasta diberikan keringanan harga untuk membeli tanah, maka akan menarik minat investasi. Apabila terdapat proyek pembangunan nasional yang dikerjakan oleh swasta, maka tentu negara akan berupaya mempermudah proses penyediaan tanah. Selama ini, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah yang dilakukan pemerintah disertai dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Sementara itu, pengaturan dalam UU Cipta Kerja tidak menyebutkan bahwa akan terjadi ganti kerugian kepada pihak yang berhak dalam mekanisme kerja Bank Tanah. Kekosongan hukum seperti demikian dikhawatirkan menjadi celah bagi negara untuk merugikan masyarakat. Masyarakat dirugikan karena tanahnya dapat diambil alih oleh pemerintah dengan dalih kepentingan umum, tanpa ada kejelasan mengenai adanya atau tidaknya ganti kerugian. Ketidakadilan ini berpotensi tercipta dengan adanya Bank Tanah sebagai bagian dari pemerintah.

Kesimpulannya, dalam UU Cipta Kerja diatur mengenai munculnya suatu lembaga baru yang bertugas mengelola tanah bernama Bank Tanah. Akan tetapi, penulis berpendapat keberadaan Bank Tanah dapat merugikan masyarakat. Adapun sejak awal penulis menilai tidak perlu ada Bank Tanah, karena tugas dan fungsinya dapat dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Penjelasan-penjelasan yang ada juga menimbulkan opini bahwa Bank Tanah menjadi alat negara untuk dapat menguasai dan mengambil tanah masyarakat, semacam menghidupkan kembali domein verklaring seperti zaman penjajahan Belanda. Bank Tanah juga dianggap hanya ditujukan untuk mempermudah masuknya investasi dan mengesampingkan kepentingan rakyat Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya Bank Tanah tidak diperlukan dan sebaiknya dihapuskan.

Dasar Hukum:

  • Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 245 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
  • Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Referensi:

[1] Ihsanuddin, Pidato Pertama Jokowi Sebagai Presiden 2019-2024, Ini Isi Lengkapnya, https://nasional.kompas.com/read/2019/10/20/17412951/pidato-pertama-jokowi-sebagai-presiden-2019-2024-ini-isi-lengkapnya?page=all (diakses pada 18 Januari 2021).

[2] Muhammad Idris, Masih Bingung Apa Itu Omnibus Law?, https://money.kompas.com/read/2020/02/18/160300026/masih-bingung-apa-itu-omnibus-law?page=all (diakses pada 22 Maret 2021).

[3] Suhaiela Bahfein, Mengenal Bank Tanah Versi UU Cipta Kerja, Apa Fungsi dan Perannya?, https://properti.kompas.com/read/2020/10/06/105518921/mengenal-bank-tanah-versi-uu-cipta-kerja-apa-fungsi-dan-perannya?page=all (diakses pada 18 Januari 2021).

[4] Vendy Yhulia Susanto, Pembentukan Bank Tanah Diklaim Mampu Meningkatkan Investasi, https://nasional.kontan.co.id/news/pembentukan-bank-tanah-diklaim-mampu-meningkatkan-investasi (diakses 19 Januari 2021).

[5] Dani Prabowo, Ingin Tingkatkan Kemudahan Investasi, Presiden Fokuskan Perizinan di BKPM, https://nasional.kompas.com/read/2019/11/22/06210491/ingin-tingkatkan-kemudahan-investasi-presiden-fokuskan-perizinan-di-bkpm?page=all (diakses 20 Januari 2021).

[6] Jaffry Prabu Prakoso, Bank Tanah di Omnibus Law, Pengamat : Hati-Hati Dikeruk Keuntungan Oligarki, https://ekonomi.bisnis.com/read/20201103/47/1313085/bank-tanah-di-omnibus-law-pengamat-hati-hati-dikeruk-keuntungan-oligarki (diakses 20 Januari 2021).

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...