Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sektor Perbankan
Penulis: Putri Salsabila Mutiara Anandiza
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjelaskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sistem perbankan memiliki peran sentral dan strategis dalam perekonomian negara. Berbagai penelitian menyimpulkan adanya hubungan timbal balik antara sistem perbankan yang sehat dengan kondisi dan kebijakan ekonomi makro. Kesehatan sistem perbankan itu sendiri ditentukan oleh ekonomi makro yang memadai (appropriate) dan kondusif; serta pengawasan bank yang efektif.[1]
Kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap sektor perbankan sebelumnya dilimpahkan pada Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.[2] Namun, sesuai ketentuan Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK). OJK merupakan sebuah lembaga independen yang berada di luar pemerintahan, yang berarti OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan atau eksekutif.[3] Hal tersebut dirancang agar pengawasan dan pengaturan yang dilakukan OJK bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak manapun, melindungi kepentingan masyarakat, dan mencapai tujuan stabilitas keuangan.[4]
Pasal 1 angka 1 UU OJK mengatur bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU OJK. Lembaga ini secara keseluruhan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, baik lembaga keuangan bank maupun non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang dimaksud adalah seperti Asuransi, Dana Pensiun, dan Bursa Efek/Pasar Modal.[5]
Berdasarkan Pasal 7 UU OJK mengatur tentang kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan yaitu:
“a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
- perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
- kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
- likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
- laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
- sistem informasi debitur;
- pengujian kredit (credit testing); dan
- standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
- manajemen risiko;
- tata kelola bank;
- prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
- pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. pemeriksaan bank.”
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa OJK merupakan lembaga independen yang mempunyai fungsi penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan segala kegiatan jasa keuangan, baik lembaga keuangan bank maupun non-bank. OJK memiliki kewenangan dalam sektor perbankan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank. Wewenang ini terdiri atas:
- Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi perizinan untuk pendirian bank dan kegiatan usaha bank.
- Pengaturan dan pengawasan tentang kesehatan bank yang meliputi laporan bank yang berhubungan dengan kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitur, pengujian kredit, dan standar akuntansi bank.
- Pengaturan dan pengawasan tentang aspek kehati-hatian bank yang meliputi manajemen risiko, tata kelola bank, pemeriksaan bank, dan prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang.[5]
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembar Negara RI No.111 Tahun 2011, tambahan Lembar Negara RI No. 525
Referensi:
[1] Sri Adiningsih, Satu Dekade Pasca–Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu?, (Yogyakarta: Kanisius, 2008).
[2] Heri Juniarto, “Analisis Yuridis terhadap Independensi Otoritas Jasa Keuangan sebagai Pengawas Sektor Perbankan.” Jurnal Nestor Magister Hukum, vol. 1, no. 1, 2016, halaman 2.
[3] ibid, halaman 25.
[4] Ucu Supriatna,“Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Di Bidang Perbankan Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum” Jurnal Ilmu Keuangan dan Perbankan, vol. 7, no. 2, 2018 halaman 9.
[5] https://www.ojk.go.id/id/tentang-ojk/pages/tugas-dan-fungsi.aspx (diakses pada 25 Juli 2021)
[6] Totok Budisantoso Nuritmo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta: Salemba Empat, 2013).