Notulensi Siaran Radio “Podjok Hukum”
Rabu, 8 Juni 2016
Tema:
“Kekerasan Seksual dan Sanksi Kebiri dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia”
Oleh:
Dr. Niken Savitri, S.H., MCL.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Hukum tentunya harus selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Masyarakat Indonesia sekarang ini sudah semakin kompleks, namun fenomena perkembangan masyarakat ini tidak diimbangi perkembangan peradaban dan moralitas sehingga menyebabkan tingginya pelanggaran atas moral dan hukum. Angka kejahatan kekerasan yang meningkat, termasuk di dalamnya kekerasan seksual dan kekerasan terhadap anak adalah suatu fenomena yang disebabkan antara lain karena kurangnya pengaturan hukum yang komprehensif.
Kita dapat melihat di berbagai media sedang banyak disiarkan berita terkait kejahatan kekerasan seksual, baik pada perempuan maupun anak. Peristiwa ini kembali membuat banyak orang mengangkat urgensi undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Pengaturan terkait kejahatan kekerasan seksual tidak dapat kita temukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena di dalam KUHP hanya mengenal istilah perbuataan cabul atau kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP. Secara sistematis, pengaturan ini tidak dimaksudkan untuk melindungi perempuan ataupun anak dari kekerasan, tapi lebih pada perlindungan atas kesusilaan dan kesopanan sebagai suatu bentuk ketertiban umum.
Undang-undang penghapusan kekerasan seksual sangat dibutuhkan di Indonesia karena adanya kekosongan hukum. Namun undang-undang tersebut tidak cukup hanya disusun dan diberlakukan, terdapat faktor-faktor lainnya yang terkait dengan efektivitas penegakkan undang-undang tersebut yang masih harus dikembangkan. Faktor budaya, masyarakat dan terutama paradigma penegak hukum harus diubah bersamaan dengan pemberlakuan undang-undang tersebut dikarenakan pemberian sanksi tidak esensial untuk pencegahan pengulangan tindak pidana tersebut bila tidak dibarengi dengan adanya kesadaran hukum masyarakat.
Selain pembahasan mengenai urgensi undang-undang penghapusan kekerasan seksual, saat ini juga sedang banyak dibahas mengenai pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri). Di dalam Perppu ini diatur mengenai penambahan pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selain itu, diatur juga ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi (chip) elektronik, dan rehabilitasi.
Sanksi kebiri merupakan suatu bentuk sanksi yang sangat kontroversial. Dalam Perppu Kebiri, diatur mengenai kebiri dengan pemberian suntikan zat anti-androgen untuk memberhentikan produksi mani dan menurunkan libido lelaki atau dikenal juga sebagai kebiri kimia. Efek dari pemberian suntikan adalah untuk membuat hormon seseorang tidak normal. Namun ada beberapa dampak dari pemberian suntikan tersebut yaitu hormonal tidak seimbang, kerja otak terganggu dan kerja tubuh juga terganggu. Di samping itu kebiri kimia tidak bersifat permanen, sehingga apabila pemberian zat anti-androgen dihentikan, efeknya juga akan berhenti dan pemerkosa dapat mengaktifkan kembali fungsi seksualnya, baik berupa hasrat seksual maupun kemampuan ereksi.
Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan terdapat setidaknya 15 (lima belas) bentuk atau wujud kekerasan seksual secara umum yang terjadi di sekitar kita. Di antara kelima belas bentuk kekerasan seksual tersebut hanya beberapa yang berkaitan dengan kelamin dan hormon, kekerasan seksual tidak terbatas pada kemampuan lelaki memproduksi mani. Sehingga efektivitas penambahan sanksi dalam Perppu Kebiri perlu dikaji kembali. Solusi untuk memberantas kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak terbatas pada penambahan sanksi saja.
- Sumber gambar: www.csustan.edu