Home / Uncategorized / Kedudukan Ahli dalam Hukum Acara Perdata

Kedudukan Ahli dalam Hukum Acara Perdata

Penulis : Antonio A. Bagaskara

Penggunaan kata saksi ahli sudah menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata “saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan. [1]

Apabila dilihat dari segi hukum, maka seseorang dapat dikatakan sebagai ahli bila memenuhi kriteria sebagai berikut: [2]

  1. Seseorang yang memiliki pengetahuan khusus di dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang tersebut memiliki kompeten di bidang ilmu pengetahuan tersebut;
  2. Seseorang dikatakan memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu tertentu bisa dalam bentuk keterampilan karena hasil latihan dan pengalaman; dan
  3. Keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa yang tentunya disesuaikan dengan spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, serta pengalaman.

Selain itu, perlu diketahui bahwa terdapat ketentuan seseorang tidak cakap untuk menjadi ahli. Ketentuan yang dimaksud ialah Pasal 145 HIR [3] yang dipertegas dalam Pasal 154 ayat (3) HIR. [4] Berdasarkan Pasal 154 ayat (3) HIR, seseorang tidak cakap atau dilarang menjadi saksi yang pengaturannya adai di dalam Pasal 145 HIR tentunya juga tidak cakap menjadi ahli.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai kriteria seseorang yang dapat dijadikan sebagai ahli, selanjutnya yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana kedudukan ahli di dalam pembuktian hukum acara perdata? Pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab dengan terlebih dahulu mengetahui alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) jo. Pasal 164 HIR, yaitu: [5]

  1. Surat;
  2. Saksi;
  3. Persangkaan;
  4. Pengakuan; dan
  5. Sumpah

Secara formil ketentuan di atas memperlihatkan bahwa keterangan ahli berada di luar alat bukti, maka dari itu berdasarkan hukum pembuktian, ahli tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.

Apabila melihat ketentuan Pasal 154 ayat (2) HIR dan Pasal 229 Rv yang memberi kebebasan kepada hakim untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendapat ahli, maka ada hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa pendapat ahli tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti serta kedudukan ahli hanya berfungsi memperkuat atau memperjelas permasalahan perkara. Maka dari itu, apabila di dalam suatu pembuktian tidak terdapat alat bukti yang sah memenuhi syarat formil dan materiil melainkan hanya terdapat pendapat ahli, maka tidak dapat dibenarkan bahwa pendapat ahli tersebut dijadikan sebagai alat bukti tunggal. [6]

Dengan melihat penjelasan di atas, pendapat ahli memiliki fungsi menambah alat bukti yang ada bila alat bukti sudah mencapai batas minimal pembuktian. Selain itu, perlu diketahui juga bahwa nilai kekuatan pembuktian pendapat ahli masih kurang kuat sehingga hakim hanya diperbolehkan mengambil pendapat ahli untuk menambah nilai kekuatan pembuktian yang ada. [7] Hal ini dikarenakan ahli tidak termasuk dalam macam-macam alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1899 KUHPerdata jo. Pasal 164 HIR sehingga tidak dapat berfungsi sebagai penambahan alat bukti yang tidak mencapai batas minimal pembuktian.

Dasar Hukum:

  • Herziene Inlandsch Reglement.
  • Reglement of de Rechtsvordering.
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Referensi:

[1] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan , Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cetakan kelima belas, Jakarta, Sinar Grafika, 2015, halaman 789.
[2] Ibid., halaman 790.
[3] Berdasarkan Pasal 145 HIR yang tidak dapat didengar sebagai saksi ialah:

  1. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
  2. suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun telah terjadi perceraian;
  3. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti mengenai usia yang sudah berusia 15 (lima belas) tahun atau belum berusia 15 (lima belas) tahun;
  4. orang gila, meskipun ia terkadang memiliki ingatan terang.

[4] Shanti Rachmadsyah, Tentang Saksi, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4ca20c0bc8e65/tentang-saksi/, (diakses pada tanggal 29 Oktober 2020).
[5] Albert Aries, Tentang Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51938378b81a3/tentang-pembuktian-perjanjian-tidak-tertulis/ (diakses pada tanggal 29 Oktober 2020).
[6] M. Yahya Harahap, supra note nomor 1, halaman 795.
[7] Ibid.