Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia

Narasumber: Valerianus Beatae Jehanu S.H., M.H. 

Jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih menghadapi setidaknya tiga level tantangan: konseptual, sosial dan hukum. Pada level konseptual, konsep ini dinilai sebagian masyarakat sebagai konsep yang lahir dari tradisi barat yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang religius. Konsep kebebasan beragama sering dianggap sebagai gagasan yang mengampanyekan kebebasan tanpa batas yang justru bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Pada level sosial, sebagian masyarakat sekaian tidak siap menerima dan berinteraksi dengan perbedaan agama dan keyakinan. Meskipun dalam sejarahnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, namun dalam praksisnya tidak ada jaminan bahwa penghormatan terhadap perbedaan dilakukan dengan cara yang patut dan nir kekerasan.

Berbagai peristiwa di bumi pertiwi, mulai ujaran kebencian atas nama agama, persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan beragama dan sebagainya memperlihatkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama masih terus terjadi. Pada level hukum, penegakan hukum terhadap berbagai tindakan pelanggaran KBB masih belum maksimal. Tidak jarang pula, korban yang umumnya dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena didakwa melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum. Problem penegakan hukum ini muncul karena peraturan perundang-undangan yang lebih berat menekankan pada pembatasan kemerdekaan beragama, seperti Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaaan Agama; SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan keberadaan berbagai peraturan di tingkat daerah yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas.

Berbagai peraturan tersebut dalam banyak laporan telah terbukti gagal menjamin hak atas kemerdekaan beragama. Tentu saja ini bukan hanya fenomena khas Indonesia, di tingkat global pun bisa ditemukan bagaimana kebebasan beragama, dalam pengalaman dunia barat juga terus menerus didiskusikan ulang. Kita bisa temukan dari laporan media massa yang membentuk persepsi umum bahwa konflik global berakar pada konflik yang bernuansa keagamaan, setidaknya pasca penyerangan WTC 11 September 2001 yang dilanjutkan dengan berkembangnya aksi terosisme di mana-mana. Agama pun turut mengambil peran sebagai komunitas penafsiran (communities of interpretation) dalam isu-isu publik. Bahasa keagamaan ikut mewarnai debat publik, mulai dari isu legalisasi aborsi, euthanasia sukarela, riset biogenetika yang mencuatkan debat bioetika, sampai pernikahan sejenis. Akibatnya, diskursus keagamaan makin berpengaruh pada pembentukan opini publik, bahkan dalam diri masyarakat yang sudah sangat sekular sekalipun.

Pengertian Agama

Pertama-tama untuk membahas definisi agama, yang harus kita perhatikan dari sudut pandang hukum, agama diletakkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam konteks HAM internasional, indikasi ke arah pendefinisian ini diberikan oleh Komentar Umum Dewan HAM PBB Nomor 22, Paragraf 2 atas Pasal 18 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang berupaya mendefinisikan agama secara cukup luas. Disebutkan disitu bahwa istilah kepercayaan dan agama harus dipahami secara luas, jadi mencakup kepercayaan-kepercayaan tauhid, non tauhid, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun. Pasal 18 ICCPR dalam hal ini menempatkan agama dalam konteks kebebasan untuk memiliki atau menganut agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, termasuk berpindah atau meninggalkan agama atau kepercayaan (forum internum) dan kebebasan untuk mengejawantahkan (to manifest) agama atau kepercayaannya yang dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasar Agama dan Kepercayaan (1981) mencakup menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, memiliki tempat ibadah, menggunakan/memakai simbol-simbol agama, memperingati hari besar keagamaan, menunjuk atau memilik pemimpin agama, melakukan siar keagamaan, dan sebagainya.

Apabila kita melihatnya secara sosiologis, salah satu pandangan yang bisa dirujuk adalah pendapat Emile Durkheim yang mendefinisikan agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dengan hal-hal yang kudus. Kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu sifat kudus dari agama dan praktek ritual dari agama. Dari definisi ini kita bisa lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dari substansi isinya, tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kudus dalam pengertian Durkheim bukanlah dalam artian teologis, tetapi sosiologis. Sifat kudus itu dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.

Secara etimologis, kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Karena itu, agama biasanya diartikan sebagai peraturan kehidupan agar manusia terhindar dari kekacauan. Ada pula yang mengartikan agama dari “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti “pergi” atau “berjalan”. Dari sudut ini, agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, kekal dan terwariskan, Pemaknaan demikian kerena di dalam agama ada nilai universal yang tetap, abadi dan berlaku sepanjang masa. Selain itu, dalam Bahasa Inggris yang bisa ditemukan adalah istilah religion yang berarti keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Pengertian religion juga mencakup sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu. Sedangkan religious berarti ketakwaan atau sesuatu yang sangat mendalam (Rumadi, 2016: 110-111).

Dalam tradisi Latin, religio berarti derivasi dari beberapa konsep seperti religare (to bind back atau mengikat kembali); relegere (to read again atau membaca ulang); atau religere or recolligere (to recollect). Ketiga konsep ini memiliki kesamaan yakni upaya reflektif yang dapat digunakan sebagai modalitas dalam bertindak. Nicolas of Cusa dan Marsilio Ficino bahkan menggunakan ketiga konsep ini secara bersamaan “nos Ipsos relegendo religantes Deo, religiosi sumus”, kita menjadi religius ketika melakukan pembacaan ulang atas teks-teks yang kudus, yang dengan itu kemudian membawa kita (manusia) kembali kepada Tuhan. Dalam konteks itu, baik Cusa maupun Ficino berargumen bahwa religion bukanlah bagian dari terms of political force (Leinkauf, 2014: 165).

Persoalannya menjadi nyata ketika gagasan tentang agama tadi didefinisikan oleh otoritas seperti negara. Thomas Leinkauf dalam The Concept of Religion in Early Modern Philosophy melihat kecenderungan ini mengarah pada penggunaan agama sebagai instrumen politik. Hal ini ditandai setidak-tidaknya sejak masa Niccolò Macchiavelli. Jika sebelumnya agama diletakkan dalam pengertiannya yang sangat humanis, pada masa Macchiavelli jejak-jejak transenden yang menjanjikan kehidupan spiritual bagi bumi manusia termasuk hukum Tuhan mulai digeser. Bagi Macchiavelli, agama tidak lain adalah sarana mempromosikan solidaritas dan kohesi sosial, yang ditinjau dari sudut pandang kekuatan politik berguna untuk membuat rakyat tetap tenang sementara para penguasa sedang mempersiapkan perang dan sebagainya (Leinkauf, 2014: 167).

Religion is in that context nothing else than a promoter of solidarity and cohesion in societies and, seen from the viewpoint of political power, a means to direct people and to keep people calm while the rulers are, for example, preparing war”.

Maka, agama perlu diatur oleh negara, bahkan dikelola sebagai bagian yang fundamental untuk mempertahankan negara. Macchiavelli melihat ada hubungan resiprokal antara agama yang hidup di masyarakat dengan cara kerja dan fungsi masyarakat untuk bersatu mempertahankan negara (Leinkauf, 2014: 167).

The leaders of a republic or of a state have to maintain the fundaments of the religion of that republic or kingdom, and it will be easy, the, by doing this, to maintain also the republic religious and, consequently, good and united”.

 Untuk konteks Indonesia, definisi agama juga tidak lepas dari politik agama dan negara yang berkembang sejak sebelum rapat BPUPK, pada masa-masa sidang di BPUPK, hingga setelahnya. Merujuk sejarahnya, Departemen Agama pada tahun 1952 mengajukan definisi agama yang mencakup tiga unsur: adanya nabi, kitab suci, dan pengakuan internasional. Usulan definisi agama yang minimal, sempit dan sektarian tersebut adalah bentuk menutup peluang bagi “kepercayaan” kelompok abangan untuk diakui sebagai agama. Usulan definisi tersebut memang mendapat penolakan, dan sekalipun tidak pernah dicatatkan dalam dokumen negara, ia telah efektif dipakai untuk mengklasifikasi dan menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dikategorikan sebagai agama, dan siapa yang dapat dan tidak dapat dianggap sebagai kelompok agama (Maarif, 2017: 25).

Negara dan Agama

Seringkali dapat ditemukan pertanyaan seperti: agama apa saja yang dilindungi oleh hak kebebasan beragama dan berkeyakinan? apakah hanya agama-agama besar dunia atau termasuk agama/kepercayaan lokal? apakah semua agama dan segala macam kepercayaan. Pertanyaan itu sebenarnya jebakan. Orang sering berasumsi bahwa hak kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi agama atau kepercayaan. Sebenarnya tidak, seperti halnya semua HAM lainnya, yang dilindungi adalah manusianya, bukan agama atau kepercayaan itu sendiri.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi orang-orang yang memeluk suatu agama, meyakini atau mempraktikan agama-agama lama, baru, agama-agama yang menyejarah di suatu negara, maupun agama-agama lainnya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan juga melindungi orang-orang dengan kepercayaan non-agama, seperti atheis, humanis, dan sebagainya dimanapun mereka berada. Bahkan juga melindungi orang-orang yang tidak peduli dengan agama atau kepercayaan sama sekali. Dengan kata lain, melindungi setiap orang.

Mengenai hubungan negara dan agama, Komentar Umum Kovenan Hak Sipil dan Politik Nomor 22 Angka 9 menyatakan persoalan bukan pada adanya agama negara, agama resmi atau agama tradisi atau agama yang dianut secara mayoritas. Hal-hal ini diperbolehkan menurut Hukum Internasional sejauh tidak mengurangi penikmatan hak atau menjadikan diskriminasi bagi penganut agama lain (yang tidak dijadikan sebagai agama resmi negara), atau mereka yang bukan pemeluk agama manapun. Diskriminasi di sini antara lain berupa larangan memberikan layanan publik kepada mereka atau memberikan pengistimewaan ekonomi atau pelarangan tertentu terkait praktik keyakinan yang lain. Demikian pula adanya ideologi resmi dalam konstitusi, hukum, atau praktik di sebuat negara. Kenyataan tersebut tidaklah boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan atau hak lain dan tidak mendiskriminasi orang yang tidak menerima atau tidak bersepakat dengan idelogi resmi tersebut (Asfinawati, 2016: 94-95).

Hak yang Dilindungi dalam Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Untuk mengetahui hak apa saja yang dilindungi dalam kebebasan beragama, kita perlu melihat Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan Pasal 18 ICCPR. Deklarasi menyatakan adanya kehendak politik, sedangkan kovenan mengikat secara hukum. Rumusan Pasal 18 ICCPR menyatakan:

  1. Setiap orang
    berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
    kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
    kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Baik di
    tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
    kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran;
  2. Tidak seorang pun
    dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan
    agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya;
  3. Kebebasan
    menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
    dibatasi
    oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk
    melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau
    hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain; dan
  4. Negara pihak dalam
    kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui
    wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi
    anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Jadi, unsur-unsur yang dilindungi pertama dan utama adalah kebebasan untuk memiliki, memilih, mengubah atau meninggalkan agama atau kepercayaaan (forum internum) dan kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan (forum eksternum). Diatas semua itu ada hak untuk mendapatkan perlindungan dari pemaksaan dan perlindungan dari diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan. Unsur berikutnya adalah hak bagi orang tua dan anak-anak menyangkut agama atau kepercayaan, dan hak atas keberatan berdasarkan hati nurani. Kewajiban negara juga dapat dilihat dalam Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama Tahun 1981. Rumusan Pasal 2 Deklarasi ini menegaskan “tidak seorang pun boleh menjadi sasaran diskriminasi oleh Negara, lembaga, kelompok atau individu atas dasar agama atau kepercayaan”.

Dalam konteks Indonesia, jaminan terhadap HAM di Konstitusi mengalami pasang surut. Sejak berlakunya UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) telah menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Amandemen UUD 1945 kemudian mengatur lebih jelas tentang kewajiban negara terhadap HAM maupun kebebasan beragama berkeyakinan. Pasal 28I ayat (4) mengatur perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal ini menjadi sumber komitmen Indonesia terhadap HAM dan juga asal usul kewajiban Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 28I ayat (5) menyatakan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah turunan dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, berjalannya negara diatur dan harus sesuai dengan hukum.

Pengaturan selanjutnya dapat ditemukan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 71 UU ini menegaskan “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”. Ketentuan ini diperkuat Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan “Ketentuan hukum Internasional yang sudah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional”. Demikian pula dengan Pasal 67 yang mengatur “setiap orang yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima Negara Republik Indonesia”. Dengan demikian jelas seluruh hukum internasional yang telah diterima Indonesia mengikat dan wjaib dipatuhi serta dilaksanakan. Terkait kewajiban itu Indonesia telah menjadikan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menjadi hukum Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Pembatasan Hak Beragama

Jika konsep kebebasan beragama dalam HAM Internasional bermaksud melindungi manusianya, termasuk kebebasan untuk tidak memilih/berafiliasi dengan agama tertentu, mengapa di Indonesia ada istilah “agama yang diakui”? Apakah hak beragama boleh dibatasi oleh negara? dalam situasi apa hak itu boleh dibatasi?

Pertama yang harus dijawab adalah apakah hak beragama bisa dibatasi. Pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik menjelaskan bahwa pembatasan harus berdasarkan hukum dan sepanjang diperlukan untuk melindungi keselamatan masyarakat (publik), ketertiban masyarakat, kesehatan masyarakat, moral masyarakat, serta hak dan kebebasan mendasar orang lain. Tetapi ingat, pembatasan itu hanya bisa diberlakukan secara terbatas pada forum eksternum, sementara untuk forum internum mengenai hak untuk memiliki, memilih, berganti atau meninggalkan suatu agama atau kepercayaan adalah hak yang mutlak. Maka tidaklah dapat dibatasi oleh negara. Salah satu titik berangkat awal untuk memperjelas makna pembatasan yang diterima cukup luas adalah Prinsip-Prinsip Sirakusa yang dirumuskan pada tahun 1984 di Sirakusa, Italia. Motivasi awal perumusan prinsip itu adalah penyalahgunaan pembolehan pembatasan oleh pemerintah. Karena kerap pembatasan ini digunakan oleh pemerintah, para ahli hukum merasa perlu melihat dasar pembatasan dengan lebih seksama agar implementasi ICCPR dapat dilaksanakan dengan baik (Bagir, 2019: 8-9). Sasaran utama prinsip ini adalah tiga hal: pembatasan yang absah, prinsip penafsiran yang menjadi kerangka penerapannya dan beberapa karakter utama dasar pembatasan.

Kedua, setelah mengenal bahwa pembatasan dapat dilakukan hanya pada wilayah forum eksternum, maka pertanyaan berikutnya tadi apa prasyarat untuk melakukan pembatasan. Dalam hukum HAM internasional, pertama, segala bentuk pembatasan harus diatur dengan hukum. Alasannya, agar negara, polisi dan pengadilan tidak melakukan pembatasan ini seenaknya dan secara inkonsisten. Kedua, pembatasan haruslah diperlukan guna melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat dan hak serta kebebasan orang lain. Hal ini penting, membatasi KBB dengan maksud melindungi hak serta kebebasan orang lain berbeda dengan melindungi kepentingan sebagian kelompok. Ketiga, pembatasan tidak boleh bersifat diskriminatif. Empat, pembatasan harus sebanding dengan permasalahan yang terjadi akibat dari pelaksanaan suatu hak. Aturan ini sangat penting, tanpanya, pemerintah bisa sesuka hati membatasi praktik beragama dari kelompok yang tidak disukainya. Pembatasan haruslah merupakan pilihan terakhir dan bukannya digunakan sebagai alat kontrol oleh negara atau pemerintah.

Mari kita gunakan contoh untuk menjelaskan keempat aturan tersebut. Bayangkan di sebuah kota ada lima kelompok agama yang berbeda, kelimanya memiliki rumah ibadah dan menimbulkan kebisingan yang tidak disukai oleh penduduk di sekitarnya, tetapi polisi hanya menerima keluhan dari salah satu kelompok saja. Kebisingan dengan level yang tinggi tentu tidak baik bagi kesehatan publik dan karenanya itu adalah alasan yang sah untuk melakukan pembatasan. Jadi, apa seharusnya yang dilakukan pemerintah setempat? pengaturan seperti apa yang diperlukan? Dalam kasus ini, suatu aturan umum yang mengatur volume suara yang diizinkan dalam pertemuan publik dapat dibuat. Suatu aturan yang berlaku setara bagi semua kelompok agama dan kelompok lainnya. Jika ada yang melebihi volume yang diizinkan, maka layak diminta untuk mengurangi atau akan dikenai sanksi. Menjadi tidak proporsional jika mereka diminta tidak menggunakan suara sama sekali atau melarang mereka untuk melaksanakan pertemuan apapun. Polisi seharusnya menerapkan ini secara merata, bahkan jika aduan itu datang dari salah satu kelompok minoritas terhadap yang mayoritas.

Ketika suatu negara melakukan pembatasan, ada beberapa pertanyaan yang harus diajukan oleh Pengadilan untuk menilai apakah ada pelanggaran atau tidak dalam pembatasan. Pertama, apakah pembatasan tersebut merintangi hak mutlak untuk memiliki atau menganut suatu agama/kepercayaan. Jika pembatasan dilakukan terhadap hak mutlak, maka pembatasan menjadi tidak sah. Namun jika yang dibatasi adalah manifestasi terhadap hak tersebut maka pertanyaannya apakah praktik keagamaan itu ada keterkaitan dengan hak mutlak tadi? atau ia termasuk sebagai perilaku biasa. Suatu perbuatan yang kita lakukan seringkali dipengaruhi oleh kepercayaan kita. Tetapi tidak semua yang kita lakukan adalah manifestasi dari ajaran agama atau kepercayaan yang dilindungi. Dalam beberapa kasus, hal ini mudah, pergi ke gereja erat kaitannya dengan Kristen, dan puasa erat kaitannya dengan Islam, tetapi tidak semua kasus semudah itu. Bagi orang Kristen, mengenakan rosario menunjukkan ekspresi dalam tentang identitas keagamaannya. Perempuan muslim juga memiliki pendapat yang berbeda tentang hijab. Bukan tugas pengadilan untuk menentukan mana yang benar, dalam memutuskan apa yang termasuk pelaksanaan dari ajaran agama, pengadilan menghadapi resiko untuk membuat putusan yang berdasar pada satu doktrin tertentu yang bisa jadi berangkat dari salah satu interpretasi keagamaan tertentu.

Selanjutnya kita perlu memeriksa apakah pembatasan diatur dengan hukum. Jika tidak ada dasar hukumnya maka pembatasan ini tidak sah. Langkah selanjutnya adalah apakah pembatasan ini diperlukan untuk alasan yang sah. Menjawab ini, kita perlu memeriksa keterkaitan antara praktik yang dibatasi dengan salah satu alasan yang sah, juga apakah pembatasan itu diperlukan. Dalam HAM internasional, alasan yang sah untuk membatasi pelaksanaan hak atas KBB adalah untuk keselamatan masyarakat, ketertiban masyarakat dan kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan orang lain. Jadi kita perlu melihat bagaimana perbuatan yang dibatasi itu mengancam hak-hak tersebut.

Seringkali, alasan yang sah untuk pembatasan KBB bersinggungan dengan ketertiban masyarakat. Ada kasus-kasus dimana orang tersinggung karena ekspresi keagamaan yang dilakukan secara damai dianggap sebagai bentuk penodaan agama, ancaman atau hasutan sehingga menimbulkan respons kekerasan. Beberapa negara mengatur larangan terhadap ekspresi keagamana yang dilakukan secara damai, mereka berpendapat bahwa terdapat alasan yang sah karena terkait dengan ketertiban masyarakat, untuk menghindari kerusuhan massa. Indonesia misalnya, melarang ekspresi kepercayaan Ahmadiyah dan Ateisme dengan dasar ini. Akibatnya, korban kekerasan seringkali dijatuhi hukuman karena penodaan agama, sementara pelaku kekerasaannya tidak dihukum karena penyerangan yang dilakukannya. Hukum seperti ini tidak mengurangi kekerasan, justru memperkuat pandangan adanya kepercayaan yang salah dan harus dihukum.

Secara teoritik, istilah penodaan agama padanannya adalah blasphemy, ada istilah lain yaitu penistaan agama yang padanannya adalah defamation of religion dan pernyataan kebencian atau hated speech. Ketiga konsep tersebut agak sulit dibedakan dalam bahasa Indonesia.

 Jika dikaitkan dengan delik pidana yang diatur dalam hukum pidana Indonesia, menurut Barda Nawari Arief, delik harus dibedakan antara delik agama dan delik terhadap agama. Membunuh, mencuri, dan sebagainya adalah perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan oleh agama dan hukum nasional. Sementara pindah agama (murtad) misalnya, meskipun oleh Islam dianggap sebagai tindak pidana, namun KUHP tidak menjadikan pindah agama sebagai kejahatan. Delik terhadap agama terkait dengan perbuatan-perbuatan yang dianggap menghina atau menistakan terhadap agama atau hal-hal yang disakralkan agama. Dengan demikian, delik ini dimaksudkan untuk melindungi “agama” dari perbuatan yang menghinakan Tuhan dan agama. Ada satu kelompok lagi yang disebut dengan delik terhadap kehidupan beragama. Delik ini terkait dengan perbuatan yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan agama, tetapi menyangkut kehidupan keagamaan masyarakat, seperti merintangi pertemuan atau upacara keagamaan, penguburan jenazah, menghina benda-benda yang digunakan untuk ibadah, dan mengganggu orang yang sedang beribadah (Arief, 2007: 1-2).

Berdasarkan klasifikasi tersebut, delik yang justru banyak diakomodasi dalam KUHP adalah delik yang “terkait dengan keagamaan masyarakat” atau delik terhadap kehidupan beragama. Sedangkan jenis delik terhadap agama, pada awalnya tidak dikenal dalam KUHP. Delik terhadap agama baru dimasukkan dalam KUHP (bandingkan Pasal 156a KUHP) melalui UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama (Rumadi, 2012: 250).

Rumusan Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 :

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Rumusan Pasal 156a KUH Pidana :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar upaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pembatasan Hak Beragama dalam Hukum di Indonesia

Bagaimana penerapan pembatasan hak beragama tadi dalam hukum di Indonesia? termasuk bagaimana prinsip tersebut diterjemahkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas yang berwenang menafsirkan maksud dan tujuan pembatasan hak di Pasal 28J UUD NRI 1945?

Ada beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji konstitusionalitas norma UU Nomor 1/PNPS/1965. Satu diantara yang bisa disebutkan adalah Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU Penodaan Agama meski dibuat dalam situasi darurat pada tahun 1965, masih dianggap relevan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang terkait dengan HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Alih-alih mencabut, MK justru berkeyakinan jika UU Penodaan Agama dicabut, akan muncul anarki dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan hukum. UU Penodaan Agama dianggap tidak terkait dengan kebebasan beragama, tetapi hanya terkait dengan penodaan agama.

Mahkamah berpendapat bahwa untuk kepentingan perlindungan umum dan antisipasi terjadinya konflik di tengah masyarakat, baik horizontal maupun vertikal, maka adanya UU Penodaan Agama dinilai sangat penting. Artinya, dasar pertimbangan yang dijadikan argumen MK untuk mengambil keputusan ini tidak semata terkait dengan konstitusi, tetapi juga ada pertimbangan sosiologis-politis. Pertimbangan sosiologis antara lain tampak dalam argumen kekhawatiran akan timbul kekacauan tadi. Meski dalam putusan itu disebut-sebut kategori forum internum dan forum eksternum namun hal tersebut nyaris tidak menjadi rujukan argumen. Kata kunci pembatasan yang digunakan adalah Pasal 28J UUD 1945, yang membatasi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama melalui pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. MK dalam hal ini juga berpegang pada kedudukannya sebagai negative legislator (Rumadi, 2012: 246-248).

Pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 menjadi beralasan karena telah merugikan hak konstitusional beberapa kelompok warganegara. Zainal Abidin Bagir dalam Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia pada Desember 2017 menulis setidaknya  empat tipe kasus yang dikenai sanksi pidana oleh kedua UU tersebut (Bagir, 2017: 4-7).

  1. Mazhab/kelompok internal dalam suatu agama, yang termasuk
    dalam kasus ini adalah Syiah dan Ahmadiyah (sebagai bagian dari Islam) dan
    Baha’i yang masing-masing mengalami nasib berbeda. Terkait Syiah, pada tahun
    2012, Tajul Muluk, seorang pemimpin lokal Syiah di Sampang Madura diputus
    bersalah oleh Pengadilan. Setelah Tajul Muluk dipenjaran, para pengikutnya
    diungsikan ke GOR di Sampang lalu dipindah ke Rusun di Sidoarjo atas dasar
    keamanan dan kekhawatiran akan terjadinya konflik sosial apabila mereka
    (pengikut Tajul Muluk) tetap bertahan di kampung halamannya. Berbeda dengan
    Syiah, anggota atau pimpinan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) belum pernah ada
    yang diadili dengan menggunakan pasal penodaan agama. Meskipun demikian, atas
    dasar UU itu, pada tahun 2008 ada restriksi yang dituangkan Menteri Agama,
    Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung yang membatasi ajaran Ahmadiyah yang
    dianggap menyimpang. Menyusul SKB, di beberapa daerah dikeluarkan restriksi
    yang lebih ketat hingga melarang keberadaan JAI.
  2. Sekte atau Gerakan Keagamaan Baru, dalam tipe ini
    sebetulnya dari segi perlakuannya oleh negara tidak banyak berbeda dengan tipe
    sebelumnya. Secara normatif, dalam kacamata UU Nomor 1/PNPS/1965, keduanya
    masuk dalam kategori penyimpangan. Kelompok dalam tipe ini, seperti Gafatar dan
    Salamullah/Lia Eden, memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit, dan ia berkembang
    hanya di satu atau beberapa wilayah di Indonesia dan bukan bagian dari kelompok
    internasional, dan karena itu cenderung lebih rentan dari serangan. Kasus
    Gafatar misalnya, pada tahun 2017 menyeret ketiga pimpinannya: Mahful Muis
    Tumanurung, Ahmad Mussadeq, dan Andri Cahya. Mirip dengan kasus Tajul Muluk,
    ketiga orang ini diadili dan divonis bersalah melakukan penodaan agama, justru
    setelah komunitasnya diserang (sekitar 800 orang terusir dari Mempawah,
    Kalimantan Barat pada Januari 2016).
  3. Ujaran Publik (atau tindakan) yang menyinggung kelompok
    tertentu, yang termasuk dalam tipe ini adalah tindakan individu yang dirasakan
    menyinggung kelompok keagamaan tertentu, atau kritis terhadap agama (agama
    sendiri atau orang lain). Dalam bagian penjelasan dari UU Nomor 1/PNPS/1965,
    kelompok keagamaan yang dilindungi adalah enam agama: Islam, Kristen, Katolik,
    Hindu, Buddha, dan Konghucu. Satu unsur penting di sini, yang akan dibedakan
    dari jenis berikutnya adalah niat pelakunya yang sesungguhnya tidak terlalu
    jelas (tanpa keraguan) untuk memusuhi, menyalahgunakan atau menodai agama,
    namun dirasakan atau dipersepsi demikian oleh kelompok tertentu. Contoh kasus
    terkait tipe ini adalah Basuki Tjahaja Purnama, yang diputus bersalah dalam
    kasus penodaan agama. Sementara Basuki menjadi sasaran demonstrasi yang
    menuntutnya dipenjara, Imam Besar Front Pembela Islam, Rizieh Shihab, yang
    diadukan ke polisi oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
    (PMKRI) karena pernyataannya yang mengkritik kepercayaan Kristen: “Kalau Tuhan
    beranak, terus bidannya siapa?” justru tidak berlanjut kasusnya.
  4. Ujaran kebencian, provokasi atau hasutan untuk kekerasan,
    yang termasuk dalam tipe ini adalah ujaran atau tindakan langsung atau melalui
    media, yang dimaksudkan untuk merendahkan, mendiskriminasi atau mengundang
    kekerasan. Contoh dalam kasus ini adalah Shobri Lubis, Sekjen FPI, yang pada
    2008 secara terbuka dalam sebuah ceramah menyerukan eksplisit untuk “bunuh
    Ahmadiyah dimanapun mereka berasa”. Peristiwa yang terjadi tiga tahun sebelum
    tiga orang Ahmadiyah dibunuh di Cikeusik itu pernah dilaporkan ke polisi, namun
    tampaknya tidak diproses lebih lanjut.

Berdasarkan varian tipe kasus di atas, maka dapat dibedakan yang pertama terkait “penyimpangan”, dan dua terakhir terkait “penodaan”, terlepas dari adanya niat penghinaan atau permusuhan. Kasus-kasus tersebut mengantar kita pada sebuah pertanyaan kritis: apakah benar ketentuan mengenai penodaan agama diperlukan untuk memastikan kerukunan sebagaimana dipahami oleh Hakim Konstitusi? konsep kerukunan sendiri tidak memiliki definisi yang tegas, namun biasanya dipahami sebagai situasi di mana tidak ada konflik, atau konflik dapat diselesaikan dengan cara beradab. Dalam contoh kasus di atas, tipe pertama dan kedua menunjukkan bagaimana legislasi penodaan agama justru dikenakan pada mereka yang memiliki perbedaan penafsiran atas agama, dan bukan sesuatu yang bersifat permusuhan atau penghinaan yang disengaja. Permusuhan, secara ironis, justru dilakukan oleh kelompok yang menentangnya, yang tidak terkena pasal penodaan. Dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah, hukum justru tidak mampu berbicara banyak untuk menindak mereka yang melakukan penyerangan atau pengerusakan. Jelas ini bukan situasi ideal kerukunan, seperti apapun konsep ini didefinisikan. Dalam logika legislasi penodaan agama dan implementasinya, ketidakrukunan dilakukan bukan oleh kelompok yang menyerang, tetapi oleh korbannya (Bagir, 2017: 8).

Mengenai Agama dan (Penghayat) Kepercayaan

Hal berikutnya yang perlu disinggung ketika mendiskusikan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia adalah keberadaan penghayat kepercayaan atau penganut agama-agama lokal di Indonesia. Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Carlim dan Arnol Purba, yang keempatnya adalah penghayat kepercayaan yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia mengajukan uji materiil terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) ke Mahkamah Konstitusi. Para memohon mengartikulasikan kerugian konstitusionalnya dan meminta MK memutus kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai kata “agama” tersebut termasuk juga “kepercayaan”. Sebagai konsekuensi atas permohonan itu, para pemohon juga mengajukan permohonan agar MK menyatakan Pasal 62 ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) bertentangan dengan konstitusi. Berikut bunyi kedua pasal tersebut selengkapnya:

Pasal 61 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006

KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.

Pasal 64 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006

KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tanda tangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

Pasal 61 ayat (2) UU No 23 Tahun 2006

Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Pasal 64 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2013

Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Pengujian atas kata agama, di kedua pasal pertama oleh para pemohon tidak dimaksudkan untuk menghapus kolom agama dalam KK dan KTP, namun menghendaki agar  dalam KK dan KTP dicantumkan juga Penghayat atau Kepercayaan. Hal ini disebabkan oleh karena selama ini berdasarkan Pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (2) kolom agama di KK dan KTP wajib dikosongkan bagi kaum penghayat kepercayaan. Pengosongan kolom agama tersebut merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap penganut kepercayaan, serta dalam kenyataannya mereka pun mengalami perlakuan yang diskriminatif baik dari aparat pemerintahan maupun masyarakat.

Dalam menjawab permohonan para pemohon di atas terdapat dua permasalahan yang dibahas terlebih dahulu oleh MK dalam pertimbangannya. Permasalahan pertama yaitu apakah UUD NRI 1945 mengakui keberadaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang setara dengan agama atau tidak. Permasalahan pertama ini dipandang penting untuk menjawab permasalahan kedua, yaitu apakah dengan dikosongkannya kolom agama bagi penganut kepercayaan ketentuan yang mewajibkan pengosongan kolom tersebut, yaitu pasal-pasal yang sedang diuji ini bersifat diskriminatif atau tidak sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi.

Atas permasalahan pertama, MK berpendapat bahwa konstitusi pada dasarnya telah mengakui keberadaan aliran kepercayaan di samping pengakuan terhadap agama. MK menggunakan tafsir leksikal sebagai dasar awal untuk memahami posisi dan hubungan “agama” dan “kepercayaan”. Untuk memperjelas, MK juga memeriksa semangat yang ada di balik perumusan norma Pasal 29 dan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945.

Menurut MK dari proses perumusan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 frasa kepercayaan tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. Pencantuman kata “kepercayaan” bertujuan agar pemeluk agama selain Islam tetap dijamin haknya untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya. Artinya, warga negara yang tidak beragama Islam, kepercayaannya tetap dilindungi sesuai ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945.

Menggunakan tiga asas dalam penafsiran kontekstual yaitu noscitur e socilis (suatu kata harus dikaitkan dengan rangkaiannya), asas ejusdem generis (suatu kata atau istilah dibatasi secara khusus dalam kelompoknya), dan expressio unius exclusion alterius (suatu konsep digunakan untuk satu hal maka ia tidak berlaku untuk hal lain) MK menyimpulkan bahwa in casu Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Adminduk berpegang pada pendirian bahwa “agama” yang dimaksud adalah agama yang diakui sesuai peraturan perundang-undangan. Atau dengan kata lain hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama dibatasi pada agama yang diakui secara peraturan perundang-undangan.

Hal inilah yang tidak sejalan dengan jiwa UUD NRI 1945 yang secara tegas menjamin bahwa tiap-tiap warga negara merdeka untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan itu. Dari pandangan di atas MK kemudian menjawab permasalahan kedua, yaitu jika kedudukan Kepercayaan setara dengan agama, maka pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan bersifat diskriminatif atau tidak.

Dalam menjawab permasalahan ini, sebelumnya MK membahas terlebih dahulu batasan tentang diskriminasi. Dalam memberikan batasan terkait diskriminasi MK merujuk pada batasan-batasan yang telah dibuat MK sebelumnya dalam putusan nomor 070/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005, 024/PUU-III/2005 tanggal 29 Maret 2009 dan nomor 27/PUU-V/2007 tanggal 22 Februari 2008. Dari ketiga putusan tersebut MK memberikan batasan terkait diskriminasi yaitu suatu perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan tersebut.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut MK menyimpulkan bahwa pencantuman kolom agama dalam KK dan KTP bertentangan dengan konstitusi sepanjang yang dimaksud “agama” tidak termasuk “kepercayaan”. MK memulai pertimbangannya dengan memandang bahwa hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kelompok hak-hak sipil dan politik. Hak tersebut merupakan hak alamiah (natural rights) yang dimiliki oleh setiap manusia, bukan pemberian negara. Pada posisi ini MK menegaskan kembali apa yang telah diatur dalam Pasal 28E ayat (1) jo. Pasal 28I ayat (1) jo. Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa penghayat kepercayaan adalah pengemban hak (rights holder) dan negara adalah pengemban tanggung jawab (duty bearer) untuk menghormati, melindungi serta memenuhi hak tersebut. Dengan pernyataan ini, MK juga ingin menegaskan bahwa pelayanan dan pencatatan tanpa pencantuman kepercayaan dalam KTP dan KK tidaklah cukup. Pelayanan dan pencatatan hanyalah penegasan tentang kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada setiap warga negara. Negara sebagai duty bearer juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan bagi pemenuhan hak penghayat kepercayaan.

Berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan “agama” dan “kepercayaan” adalah dua genus yang berbeda namun setara, maka Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia kemudian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 471.14/10666/Dukcapil tentang Penerbitan Kartu Keluarga (KK) bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tertanggal 25 Juni 2018 yang merupakan aturan turunan dari Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blanko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Catatan Sipil membedakan nomenklatur bagi pencantuman Kepercayaan dengan Agama. Dalam Surat Edaran tersebut dipertegas bahwa untuk penulisan kepercayaan, kolom kepercayaan pada KK akan diisi dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Hakim di Putusan MK Nomor97/PUU-XIV/2016 :

Bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK maupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain (hlm. 153)”.

Tindak lanjut Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 perlu dilandasi dengan kesadaran bahwa aspek kesempatan (opportunity) dan aspek proses (process) dalam diskursus kebebasan beragama dan berkeyakinan perlu dipisahkan. Perlakuan setara, yang secara normatif diberikan melalui pencantuman kepercayaan dalam KTP dan KK adalah kebebasan yang sifatnya prosedural. Akan tetapi, kesetaraan dalam proses belum tentu menjamin kesempatan yang substantif bagi penghayat kepercayaan, seperti misalnya kebebasan dalam ekspresi spiritual, mengakses pendidikan dan pekerjaan serta mendapat pelayanan publik. Aspek yang terakhir adalah bagian yang lebih fundamental dalam konteks kebebasan beragama.

Daftar Pustaka

Buku

Arief, Barda Nawawi, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Semarang: Universitas Diponegoro, 2007.

Bagir, Zainal Abidin, Kerukunan dan Penodaan Agama: Alternatif Penanganan Masalah, Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2017.

______________________, Pembatasan Hak untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia, Yogyakarta, Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2019.

Dja’far, Alamsyah M., ed., Buku Sumber Hak Atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia, Jakarta: Wahid Foundation, 2016.

Maarif, Samsul, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies,Universitas Gadjah Mada, 2017.

Jurnal

Rumadi, “Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah” Mahkamah Konstitusi RI”, Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1 No. 2, 2012/1433.

Thomas Leinkauf, “The Concept of Religion in Early Modern Philosophy – Three Examples: Machiavelli, Cardano and Bruno”, Problemata: Revista Internacional de Filosofia, v.5 n.1, 2014.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 140/PUU-VII/2009.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 97/PUU-XIV/2016.

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...