Narasumber : Alexius Marvel Sasrawan
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (selanjutnya disebut ICW), sepanjang tahun 2021 pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi masih sangat minim.[1] ICW mencatat bahwa jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang melibatkan 1.404 terdakwa mencapai Rp62.900.000.000.000 (enam puluh dua triliun sembilan ratus miliar rupiah), namun jumlah pengembalian kerugian negara yang dijatuhkan majelis hakim dalam pembayaran uang pengganti hanya sekitar 2,2% (dua koma dua persen) atau setara dengan Rp1.400.000.000.000 (satu triliun empat ratus miliar rupiah).[2] Pada bulan Maret tahun 2022, terdapat wacana penyelesaian tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut tipikor) dengan pendekatan keadilan restoratif atau biasa dikenal dengan istilah restorative justice yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Penyelesaian perkara tipikor melalui keadilan restoratif dapat diartikan bahwa para koruptor akan berpeluang dibebaskan dari segala bentuk pidana penjara hanya dengan mengembalikan kerugian negara akibat tipikor yang telah dilakukan. Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin (selanjutnya disebut Burhanudin) dalam webinar yang dilaksanakan tanggal 8 Maret 2022 bertajuk “Keadilan Restoratif: Apakah Kasus Korupsi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Perlu Dipenjara” berpendapat bahwa dalam konteks pemberantasan tipikor kasus tipikor yang merugikan keuangan negara dengan nominal kerugian yang kecil dimungkinkan untuk diterapkan keadilan restoratif bagi pelaku dengan tujuan pengembalian keuangan negara.[3] Hal ini dikarenakan menurut Burhanudin biaya yang dikeluarkan negara dalam penanganan perkara itu dapat lebih besar daripada jumlah uang yang dikorupsi, sehingga secara tidak langsung kerugian negara akan bertambah dengan biaya-biaya penanganan perkara yang dilakukan aparat penegak hukum. Selaras dengan Pendapat Jaksa Agung pada 8 Maret 2022 lalu, mantan Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Johanis Tanak, sesaat setelah dilantik menjadi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK) menyampaikan gagasan penerapan keadilan restoratif tak hanya untuk kasus tindak pidana umum, tetapi juga untuk tipikor.[4] Gagasan Johanis Tanak tersebut didukung oleh KPK, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan bahwa KPK sedang mengkaji tentang penerapan keadilan restoratif dalam penanganan tipikor.[5]
Keadilan restoratif dapat didefinisikan sebagai “keadilan yang bersifat memulihkan”.[6] Tujuan dari keadilan restoratif adalah untuk memulihkan (restorasi) berbagai dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana atau kejahatan agar tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar di kemudian hari.[7] Pemulihan yang dimaksud dalam keadilan restoratif diperuntukan tidak hanya bagi mereka yang menjadi korban, namun juga terhadap lingkungan masyarakat tempat suatu tindak pidana terjadi.[8] Dalam pendekatan keadilan restoratif, pelaku, korban, dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang paling berkepentingan dalam penyelesaian perkara atau tindak pidana.[9] Sehingga, dalam keadilan restoratif, pemulihan juga berlaku bagi pelaku tindak pidana.[10] Proses penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif dilakukan melalui mediasi di luar pengadilan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat untuk bersama-sama menemukan penyelesaian yang adil dan paling menguntungkan bagi para pihak atau win-win solution dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengedepankan pola hubungan baik dalam masyarakat. Pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan sebagai prinsip dasar keadilan restoratif dilakukan dengan memberikan ganti rugi pada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.[11] Ganti rugi oleh pelaku terhadap korban harus berdasarkan asas kewajaran, kepatutan, dan kelayakan.[12]
Sistem penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif bukan merupakan suatu hal yang baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Eva Achjani Zulfa selaku staf pengajar di Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang berargumen bahwa keadilan restoratif bukanlah suatu konsep yang baru, keberadaan dari keadilan restoratif barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.[13] Konsep keadilan restoratif sendiri sejatinya serupa dengan sistem musyawarah mufakat yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam proses penyelesaian suatu masalah. Musyawarah mufakat adalah perundingan bersama untuk memecahkan masalah, sehingga tercapai keputusan bulat yang akan dilaksanakan bersama.[14] Dalam hal penyelesaian suatu tindak pidana, musyawarah mufakat biasanya dilakukan oleh perangkat desa, seperti kepala desa, kepala rukun tetangga (RT), kepala rukun warga (RW) dengan mempertemukan pelaku dan korban beserta keluarga dari kedua belah pihak untuk membahas ganti kerugian sebagai tanggung jawab pelaku dari pelaku sehingga perkara pidana tersebut tidak dilaporkan kepada pihak kepolisian. Akan tetapi, penerapan keadilan restoratif dengan melibatkan penegak-penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan merupakan hal yang baru dilakukan.
Penyelesaian perkara pidana dengan keadilan restoratif telah terlebih dahulu diterapkan bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Menurut Pasal 5 ayat (1) UU SPPA dirumuskan bahwa:
“Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.”
Dalam suatu kasus tindak pidana, di mana anak menjadi pelaku tindak pidana, sebelum dilaksanakannya peradilan pidana wajib dilakukan diversi yang berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Menurut Pasal 1 angka 6 UU SPPA, definisi keadilan restoratif dirumuskan sebagai:
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Selain penggunaan keadilan restoratif bagi anak yang berhadapan dengan hukum, keadilan restoratif juga telah mulai diterapkan oleh para penegak hukum sebagai alternatif mekanisme penyelesaian perkara pidana untuk pelaku tindak pidana dewasa. Ketentuan keberlakuan keadilan restoratif bagi pelaku tindak pidana dewasa diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Perpol 8/2021) dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Perja 15/2020) telah menjadi dasar hukum bagi para penegak hukum untuk menerapkan keadilan restoratif sebagai mekanisme penyelesaian perkara dari suatu tindak pidana.
Perpol 8/2021 menjadi legitimasi bagi aparat kepolisian agar dapat menyelesaikan suatu perkara pidana yang memenuhi syarat tertentu untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif pada tahap penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan. Sementara itu, Perja 15/2020 menjadi legitimasi bagi jaksa penuntut umum agar dapat menyelesaikan suatu perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif pada tahap penuntutan oleh penuntut umum. Berdasarkan Pasal 3 Perpol 8/2021, mensyaratkan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan umum dan/atau khusus. Pasal 4 Perpol 8/2021 membagi persyaratan umum menjadi 2 (dua), yaitu persyaratan materiil dan formil sehingga penerapan keadilan restoratif untuk penyelesaian perkara tindak pidana harus memenuhi kedua syarat tersebut. Menurut Pasal 5 Perpol 8/2021 persyaratan materiil suatu perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
“Persyaratan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
- tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
- tidak berdampak konflik sosial;
- tidak berpotensi memecah belah bangsa;
- tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
- bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan
- Bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa orang.”
Adapun persyaratan formil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Perpol 8/2021 yang merumuskan:
“Persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:
- perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak Pidana Narkoba; dan
- pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk Tindak Pidana Narkoba.”
Pemenuhan hak korban sebagai bentuk tanggung jawab pelaku dan pemulihan korban diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Perpol 8/2021 dapat berupa: mengembalikan barang, mengganti kerugian, menggantikan biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Selanjutnya, menurut Pasal 7 Perpol 8/2021 persyaratan khusus merupakan persyaratan tambahan yang berlaku dalam penerapan keadilan restoratif sebagai mekanisme penyelesaian untuk perkara tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, narkoba, dan lalu lintas. Berdasarkan ketentuan dari pasal-pasal tersebut, penyelesaian suatu perkara pidana menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang diprakarsai oleh pihak kepolisian pada tahap fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan harus memenuhi syarat formil dan materiil tersebut, serta memperhatikan persyaratan khusus untuk tindak pidana yang memiliki persyaratan tambahan dalam penerapan keadilan restoratif sebagai mekanisme penyelesaian perkara.
Sementara itu, syarat penerapan penyelesaian perkara pidana dengan keadilan restoratif pada tahap penuntutan diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Perja 15/2020 yang menyatakan bahwa:
“Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
- tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
- tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
- tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).”
Akan tetapi, terdapat perkara pidana yang tidak dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (8) Perja 15/2020 yang menyatakan bahwa:
“Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
- tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
- tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
- tindak pidana narkotika;
- tindak pidana lingkungan hidup; dan
- tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.”
Selain pasal yang disebutkan dalam hal penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu pemulihan bagi pelaku, korban serta keluarga pelaku/korban yang diatur dalam Pasal 5 ayat (6) Perja 15/2020 yang menyatakan bahwa:
“Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
- telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
- mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
- mengganti kerugian Korban;
- mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
- memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
- telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
- masyarakat merespon positif.”
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dimengerti bahwa terdapat beberapa kriteria tindak pidana yang dapat diselesaikan dan yang tidak dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif pada tahap penuntutan. Selain itu, telah diatur juga mengenai mekanisme pemulihan yang harus dilakukan dalam penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif. Mahkamah Agung (yang selanjutnya disebut MA) saat ini tengah mematangkan rancangan Peraturan MA tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang akan membatasi penerapan keadilan restoratif untuk tindak pidana tertentu di luar korupsi, pelanggaran hak asasi atau HAM berat, dan terorisme.[15]
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif merupakan sebuah cara yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pemidanaan dan pemenjaraan, penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif merupakan salah satu penerapan dari asas ultimum remedium dalam hukum pidana. Menurut para sarjana, hukum pidana hendaknya dipandang sebagai ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia.[16] Pemidanaan seringkali membawa permasalahan lanjutan bagi mantan narapidana karena setelah menjalankan pidana penjara mantan narapidana akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang menimbulkan penolakan di masyarakat. Penolakan di masyarakat akan membuat pelaku kesulitan untuk bersosialisasi dan kesulitan mendapat pekerjaan yang membuat mantan narapidana cenderung mengulangi tindak pidana. Selain itu, bagi korban proses formal peradilan pidana terlalu lama, mahal, dan tidak pasti.[17] Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan terhadap pelaku, korban, dan masyarakat pada tahap penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, penyidikan atau penuntutan akan lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Apabila terjadi ketidakberhasilan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif pada tahap sebelum peradilan, maka penyelesaian perkara tersebut akan dilanjutkan ke peradilan pidana.
Meskipun penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif merupakan cara penyelesaian yang lebih baik untuk beberapa kasus tindak pidana, namun penulis berpendapat bahwa penerapan keadilan restoratif bagi tipikor yang sedang dikaji KPK kurang tepat. Konvensi Internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Vienna, tanggal 7 Oktober 2013 telah menetapkan korupsi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).[18] Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena dampak dari korupsi berpengaruh pada kehidupan ekonomi berujung pada pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.[19] Masyarakat maupun negara sangat tidak menyukai tipikor karena dampak dari korupsi yang begitu besar bagi perekonomian negara serta merusak perkembangan dari good governance.[20] Lebih lanjut, korban dari tipikor dibagi menjadi 2 (dua), yaitu korban langsung dan korban tidak langsung. Merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Pemberantasan Tipikor) secara tegas menentukan bahwa korban langsung dari tipikor adalah negara.[21] Sementara itu, korban tidak langsung dari tipikor adalah masyarakat karena kerugian keuangan atau perekonomian negara secara tidak langsung akan merugikan kepentingan masyarakat.[22]
Secara umum, masyarakat sepakat bahwa pelaku tipikor harus dipidana seberat-beratnya agar timbul efek jera kepada pelaku tipikor. Efek jera ini ditujukan agar masyarakat secara individu maupun kolektif tidak melakukan tipikor.[23] Berdasarkan UU Tipikor penjatuhan pidana terhadap pelaku sebagai pembalasan atas perbuatannya yang dijatuhkan oleh hakim untuk menimbulkan efek jera dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan. Pada dasarnya esensi dari hukum dari hukum tidak hanya pada berat sanksi pidana yang diberikan, melainkan bagaimana sanksi pidana yang dijatuhkan dapat memberikan efek jera.[24] Dapat dilihat bahwa sanksi pidana yang diatur dalam UU Tipikor sudah cukup maksimal, namun kasus korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Pada faktanya, penegakan hukum terhadap pelaku tipikor seringkali membuat masyarakat kecewa.[25] Hal ini dikarenakan, banyaknya terpidana korupsi yang lolos dari jeratan hukum justru setelah berkutat dengan hukum, dan jumlah terpidana korupsi yang divonis bersalah relatif sedikit.[26] Lebih lanjut, sanksi pidana yang diberikan juga dinilai relatif sangat ringan, dan tidak setimpal atau tidak sesuai dengan perbuatan kejahatannya.[27] Pola penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia masih belum dapat terlaksana dengan optimal karena masih terdapat beberapa kelemahan serta permasalahan. Hal ini dikarenakan, terdapat tumpang tindih regulasi dalam pengaturannya, kualitas peradilan masih belum maksimal, sistem pengawasan kinerja para penegak hukum untuk memberantas tipikor belum terintegrasi dengan baik, dan penjatuhan sanksi pidana untuk para koruptor tidak tegas, sehingga hal ini tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku tipikor. [28]
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Masruchin Ruba’i, keberatan atas penerapan keadilan restoratif dalam perkara tipikor karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan pelakunya sebagian besar merupakan pengambil keputusan pada tingkat daerah.[29] Tidak melanjutkan perkara ke pengadilan sama saja membuka peluang atau membiarkan pelaku melakukan tindakan serupa di kemudian hari.[30] Ketentuan dalam UU Pemberantasan Tipikor sendiri tidak memungkinkan bagi pelaku tipikor untuk menyelesaikan perkara dengan keadilan restoratif. Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor telah mengatur bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Dapat dilihat bahwa pasal tersebut bertentangan dengan konsep dari keadilan restoratif, dikarenakan apabila mengacu pada konsep dari keadilan restoratif yang memulihkan hak korban dalam hal ini negara sebagai korban langsung dari tipikor, cara untuk memulihkan hak korban adalah dengan mengembalikan kerugian yang telah dialami oleh negara. Akan tetapi, pasal tersebut telah menegaskan bahwa pengembalian kerugian atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tipikor.
Melihat adanya permasalahan terhadap wacana penerapan keadilan restoratif dalam tipikor, maka salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah peningkatan kualitas penegakan hukum oleh para penegak hukum. Peningkatan kualitas penegakan hukum terhadap kasus korupsi perlu agar pemberantasan tipikor dapat berjalan secara optimal sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tipikor. Hal ini karena seperti yang telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya, bahwa sejatinya sanksi pidana yang ada dalam UU Tipikor dapat dianggap sebagai sanksi yang cukup maksimal/berat, sehingga langkah selanjutnya yang perlu dimaksimalkan adalah penegakan hukum. Kemudian, menurut pendapat penulis penggunaan keadilan restoratif sebagai mekanisme penyelesaian perkara tipikor justru harus dihindari karena akan menjadi celah baru bagi para pelaku tipikor dan mampu melemahkan penegakan hukum tipikor yang akan berujung dengan peningkatan kasus tipikor di Indonesia.
Menurut pendapat penulis, tidak seharusnya mekanisme penyelesaian melalui keadilan restoratif digunakan sebagai penyelesaian dari tipikor. Hal ini dikarenakan, penyelesaian tipikor dengan menggunakan mekanisme keadilan restoratif bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Pertama, penerapan keadilan restoratif sebagai penyelesaian suatu tipikor bertentangan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor dan tidak dapat dilakukan karena pemulihan yang dilakukan pelaku terhadap korban langsung tidak dapat menghapus pidana pelaku. Kedua, Penerapan keadilan restoratif sebagai penyelesaian suatu tipikor juga bertentangan Perpol 8/2021 dan Perja 15/2020 yang menjadi dasar hukum pemberlakuan keadilan restoratif sebagai penyelesaian tindak pidana, mensyaratkan bahwa keadilan restoratif dikecualikan bagi tipikor dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Lebih lanjut, dalam konsep keadilan restoratif menekankan adanya pemulihan bagi pelaku, korban dan masyarakat. Konsep dari keadilan restoratif tersebut menjadi salah satu syarat untuk menggunakan mekanisme keadilan restoratif untuk menyelesaikan perkara pidana sebagaimana diatur dalam Perpol 8/2021 dan Peraturan Perja 15/2020, bahwa masyarakat merespon positif dan tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan. Akan tetapi, masyarakat umum telah merespon negatif atas gagasan atau wacana KPK dalam penerapan keadilan restoratif sebagai penyelesaian tipikor dan justru menginginkan koruptor dihukum seberat mungkin. Oleh karena itu, penyelesaian tipikor dengan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan konsep pemulihan dari keadilan restoratif itu sendiri, dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).
- Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 947).
- Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 811).
Referensi:
[1] Susana Rita Kumalasari, ICW Sebut Hanya 2,2 Persen Kerugian Negara Berhasil Dikembalikan, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/05/22/icw-sebut-hanya-22-persen-kerugian-negara-berhasil-dikembalikan (diakses pada 12 Februari 2024).
[2] Ibid.
[3] Yulida Medistiara, Jaksa Agung Ingin Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Tak Dipidana, Ini Alasannya, https://news.detik.com/berita/d-5973554/jaksa-agung-ingin-korupsi-di-bawah-rp-50-juta-tak-dipidana-ini-alasannya (diakses pada tanggal 25 Mei 2023).
[4] CNN Indonesia, Johanis Tanak Bicara Restorative Justice Kasus Korupsi Usai Dilantik, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221028115429-12-866529/johanis-tanak-bicara-restorative-justice-kasus-korupsi-usai-dilantik (diakses pada tanggal 25 Mei 2023).
[5] Liputan6.com, KPK Kaji Penerapan Restorative Justice pada Tindak Pidana Korupsi, https://www.liputan6.com/news/read/5110567/kpk-kaji-penerapan-restorative-justice-pada-tindak-pidana-korupsi (diakses pada tanggal 25 Mei 2023).
[6] Ade Mulyadi, dkk., Membangun Institusi Masyarakat Mendorong Keadilan Restoratif (Bandung: Lembaga Advokasi Hak Anak, 2018), halaman 1.
[7] Ibid.
[8] Ibid., halaman 2.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan Restoratif Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
[12] Ibid., halaman 6.
[13] T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi (Yogyakarta: Gentra Press, 2015), halaman 103.
[14]Yopi Nadia, Musyawarah Mufakat: Pengertian, Nilai, Ciri-Ciri, dan Pelaksanaanya, https://www.kompas.com/skola/read/2022/07/14/170000169/musyawarah-mufakat-pengertian-nilai-ciri-ciri-dan-pelaksanaanya?page=all (diakses pada tanggal 7 Februari 2024).
[15] Susana Rita Kumalasanti dan Yosepha Debrina Ratih Pusparisa, MA Tegaskan Keadilan Restoratif Tak Berlaku bagi Kasus Korupsi, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/01/ma-tegaskan-keadilan-restoratif-tak-berlaku-bagi-kasus-korupsi (diakses pada tanggal 29 Mei 2023).
[16] Ibid.
[17] Ade Mulyadi, dkk., supra note nomor 5, halaman 6.
[18] Wessy Trisna dan Ridho Mubarak, Kedudukan Korban dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Administrasi Publik, Volume 7-Nomor 2, Desember 2017, halaman 118.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid., halaman 119.
[22] Ibid., halaman 118.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Pitriyah dan Rani Apriani, Penegakan Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Volume 9-Nomor 3, 2022, halaman 1192.
[26] Ibid., halaman 1193.
[27] Ibid.
[28] Ibid., halaman 1194.
[29] Willa Wahyuni, Keadilan Restoratif untuk Perkara Korupsi Perlu Dilakukan Hati-Hati, https://www.hukumonline.com/berita/a/keadilan-restoratif-untuk-perkara-korupsi-perlu-dilakukan-hati-hati-lt6288dde69c7ff/?page=1 (diakses pada tanggal 30 Mei 2023).
[30] Ibid.
Tersedia di: