Home / Uncategorized / Kapan Penegak Hukum dapat Melakukan Penahanan?

Kapan Penegak Hukum dapat Melakukan Penahanan?

Penulis: Sarah Fortuna Mutiha Hutagaol

Penahanan adalah proses dalam sistem peradilan pidana yang bertujuan agar pelaku tindak pidana tidak melarikan diri dari tempat pelaku melakukan tindak pidana.[1] Dalam Pasal 1 Angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) menuliskan:

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Pengertian yang diberikan KUHAP menunjukan bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, atau hakim. Penahanan juga hanya dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, baik penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam melakukan penahanan harus memperhatikan atau didasarkan pada bukti yang cukup dan persyaratan lain yang diatur dalam KUHAP. KUHAP sendiri mengenal dua syarat dalam melakukan penahanan, yaitu:

1. Syarat Objektif

Syarat penahanan objektif memiliki ukuran yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat Objektif dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya bisa diberlakukan kepada tersangka maupun terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak pidana, serta pemberian bantuan dalam hal:

  1. Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau
  2. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

2. Syarat Subjektif

Syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa tidak ditahan maka terdakwa akan kabur, akan merusak atau menghilangkan bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut.[2] Pengaturan syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:

“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”

Maka dari itu, dalam melakukan penahahanan penegak hukum yang memiliki kewenangan sesuai yang diatur dalam KUHAP perlu memerhatikan kedua syarat di atas. Adapun singkatnya, syarat objektif adalah syarat yang merujuk pada ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sementara syarat subjektif merujuk pada kekuatiran pada tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau akan melakukan tindak pidana lagi.

[1]   M Hasriady K Muhammad Takdir, et. al., Problematika Proses Penahanan Dalam Sistem  Peradilan Pidana, Kalabbirang Law Journal, Volume 3-Nomor 1, April 2021, halaman 10.

[2]   Anggara, Soal Syarat Subjektif dan Syarat Obyektif dalam Penahanan, https://bahasan.id/soal-syarat-subyektif-dan-syarat-obyektif-dalam-penahanan/, (diakses pada tanggal 09 Oktober 2021)