Penulis: Putri Salsabila Mutiara Anandiza
Produk kecantikan berupa kosmetik telah menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi kebanyakan orang, terutama wanita. Tidak heran bila permintaan produk-produk kosmetik semakin meningkat dan semakin bervariasi tiap tahunnya. Penjualan yang sangat menguntungkan dan target pasar yang luas mengakibatkan maraknya produk kecantikan yang beredar di pasar dengan berbagai fungsi dan manfaat. Namun, perlu diketahui bahwa memproduksi dan menjual produk kosmetik tidak bisa sembarangan.[1]
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat UU Kesehatan), kosmetik termasuk ke dalam jenis sediaan farmasi. Kosmetika Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan farmasi dan Alat Kesehatan adalah:
“Paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi agar tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.”
Sediaan farmasi seperti kosmetik tidak dapat diedarkan dan/atau diperdagangkan sembarangan tanpa melewati proses perizinan yang sudah ditentukan. Hal ini dikarenakan produk kosmetik umumnya mengandung bahan-bahan kimia yang harus diperiksa kandungannya sehingga hasil yang diproduksi dapat bermanfaat dan aman bagi pemakainya.[2] Maka dari itu, produk kosmetik hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU Kesehatan, yang berbunyi:
“(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Izin edar yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertujuan untuk melindungi masyarakat dari produk kosmetik berbahaya. Konsekuensi dari ketentuan administrasi tersebut adalah bahwa pemerintah berwenang untuk mencabut izin dan menarik produk dari pasar yang sebelumnya telah menerima izin. Selain itu, terdapat pula ketentuan pidana untuk menghindari pengadaan, penyalahgunaan dalam menggunakan alat kesehatan atau sediaan farmasi sehingga membahayakan masyarakat dari pihak yang tidak memiliki rasa tanggung jawab, mengedarkan kosmetik tanpa izin edar yang diatur dengan ketentuan pidana pasal 106 dan pasal 197 dalam UU Kesehatan.[3] Yang di mana Pasal 197 UU Kesehatan berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa produk kosmetik yang diproduksi dan diedarkan tanpa izin edar yang dikeluarkan oleh BPOM merupakan pelanggaran hukum. Sedangkan bagi para pelaku usaha yang mengedarkan dan/atau memproduksi produk kosmetik tanpa izin edar, dapat dipenjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).[4]
Dasar Hukum:
- Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063).
Referensi:
[1] Rizky A. Yuristyarini, “Pengawasan terhadap Peredaran Kosmetik Berbahaya Teregister Bpom yang Dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Malang Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/menkes/per/viii/2010 (Studi di Dinas Kesehatan Kota Malang)”, Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015.
[2] Asri Wakkary, “Tindak Pidana Pemalsuan Obat Dalam Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.” Lex Privatum, Volume 4-Nomor 5, 2016.
[3] Yulia Susantri, et al. “Pencantuman Informasi pada Label Produk Kosmetik oleh Pelaku Usaha Dikaitkan dengan Hak Konsumen.”, Syiah Kuala Law Journal, Volume 2-Nomor 1, 23, 2018.
[4] Elina Lestari, Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Usaha yang Menjual Kosmetik Pemutih Wajah yang Mengandung Bahan Kimia Berbahaya (Studi di Bpom Surabaya), Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015.